PBB: Krisis Iklim Ancam 41 Juta Penduduk di Karibia dan Amerika Latin
Cuaca ekstrem di Amerika Latin dan Karibia yang mematikan akibat krisis iklim.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Puluhan juta orang yang tinggal di daerah pesisir Karibia dan Amerika Latin berisiko menghadapi peristiwa cuaca ekstrem yang mematikan akibat krisis iklim. Hal ini diungkap oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sebuah laporan baru.
Laporan Dana Kependudukan PBB (UNFPA) yang dirilis pada Selasa, menemukan bahwa 41 juta orang - sekitar 6 persen dari populasi di seluruh wilayah tersebut - terekspos pada ancaman badai dan banjir. Selain itu, hampir 1.450 rumah sakit di seluruh wilayah itu terletak di kawasan pesisir dataran rendah yang lebih rentan terhadap bencana alam.
Badan tersebut mengatakan bahwa lebih dari 80 persen rumah sakit di Aruba dan Kepulauan Cayman, Suriname, Bahama, dan Guyana berada di daerah pesisir dataran rendah yang rentan terhadap badai yang mematikan. Di Ekuador, hampir 12 persen dari fasilitas kesehatan di negara tersebut berada di daerah-daerah ini, dibandingkan dengan 10 persen rumah sakit di Haiti dan 7 persen rumah sakit di Brasil.
Temuan ini muncul ketika para pemimpin regional mengadakan pertemuan pekan ini di Antigua dan Barbuda, untuk menghadiri konferensi Negara-Negara Kepulauan Kecil (Small Island Developing States) guna membahas krisis iklim, di antara isu-isu lainnya.
Negara-negara kepulauan kecil di Pasifik, Atlantik dan Karibia, yang tidak menghasilkan emisi signifikan, sangat rentan terhadap krisis ekonomi dan kenaikan suhu karena terpapar oleh bencana alam.
“Tidaklah cukup bagi negara-negara untuk hanya membuat komitmen kosong dan sangat tidak memadai di bawah Perjanjian Paris,” kata Perdana Menteri Antigua dan Barbuda, Gaston Browne.
Browne juga mendesak negara-negara kaya untuk memenuhi janji mereka untuk mengirimkan hibah sebesar 100 miliar dolar AS per tahun kepada negara-negara miskin guna membantu mengurangi emisi dan memitigasi cuaca ekstrem.
Direktur Eksekutif UNFPA, Natalia Kanem menambahkan bahwa perubahan iklim berdampak paling besar pada perempuan dan anak perempuan dan memperburuk ketidaksetaraan yang sudah ada.
“Jutaan perempuan dan anak perempuan yang miskin dan rentan, yang paling tidak bertanggung jawab atas krisis iklim, harus menanggung beban berat saat bencana terkait iklim melanda dan mengganggu layanan kesehatan dan perlindungan yang esensial serta mata pencaharian mereka,” tambah Kanem seperti dilansir Al Jazeera, Rabu (29/5/2024).
Di bawah Perjanjian Paris 2015, negara-negara sepakat untuk membatasi emisi dan mencegah kenaikan suhu lebih dari 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri. Para ahli mengatakan bahwa krisis iklim memicu terjadinya badai yang lebih dahsyat di seluruh dunia, termasuk kekeringan, kebakaran hutan, banjir, dan angin topan.
Sumber: