Serikat Buruh NU: Tapera Kubur Mimpi Buruh Punya Rumah   

Irham mengatakan, beban pengeluaran buruh besar.

Republika/Rahmat Fajar
Presiden DPP Sarbumusi PBNU, Irham Ali Saifuddin.
Rep: Eva Rianti Red: Ahmad Fikri Noor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) menanggapi soal Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang sedang berpolemik saat ini. Presiden Konfederasi Sarbumusi Irham Ali Saifuddin menilai Tapera dapat semakin menjauhkan mimpi buruh untuk memiliki rumah.

Baca Juga


Irham mengatakan, beban pengeluaran buruh besar, dan tidak sebanding dengan kenaikan upah tahunan. Hal itu akan bertambah berat dengan adanya iuran program Tapera. 

"Program Tapera ini baik dari sisi normatif, tetapi membebani buruh dalam praktik pelaksanaannya nanti. Kenaikan upah minimum tidak sebanding dengan kebutuhan hidup layak buruh saat ini. Selain itu, kebutuhan buruh akan rumah adalah kebutuhan saat ini, bukan kebutuhan untuk 20 atau 30 tahun mendatang ketika iuran Tapera mereka bisa diambil," ujar Irham dalam keterangan resmi, Jumat (31/5/2024).

Irham menuturkan, dalam beleid yang mengatur Tapera yakni PP Nomor 21 tahun 2024 juga belum mengatur mengenai penghitungan nominal yang akan didapatkan buruh nantinya. Itu menjadi persoalan tersendiri menurutnya.

"PP baru tentang Tapera ini tidak menjelaskan entitlements (hak) apa saja yang akan didapatkan buruh nantinya. Apakah hanya akumulasi 3 persen dari kontribusi buruh dan pemberi kerja, atau ada penyertaan dari pemerintah dan/atau dana tambahan dari pengelolaan BP Tapera. Hal ini tentu dapat berpotensi adanya misconduct (pelanggaran) dalam pelaksanaan program ini," tuturnya. 

Dia menilai, penghitungan yang ada di dalam peraturan pemerintah tersebut tidak jelas dasarnya. Secara nominal tidak dijelaskan secara rinci rumah seperti apa yang akan didapatkan pekerja nantinya. Menurutnya skema menyediakan rumah melalui skenario hipotek konvensional atau penyediaan rumah bersubsidi jauh lebih baik dan masuk akal karena bisa langsung dinikmati oleh pekerja. 

Irham menjelaskan, menanggapi polemik Tapera, serikat buruh yang merupakan badan otonom Nahdlatul Ulama (NU) itu menyampaikan dua saran strategi. Di antaranya kaitannya dengan pemaksimalan BPJS Ketenagakerjaan. 

"Pertama, optimalisasi fungsi BPJS Ketenagakerjaan melalui program manfaat layanan tambahan (MLT) yang di dalamnya mencakup rumah buruh serta perluasan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan yang inklusif, termasuk bagi buruh informal," ujarnya. 

Kedua, melalui penguatan program perumahan rakyat oleh negara melalui skema pembiayaan khusus atau skema khusus untuk buruh dengan penghasilan rendah. 

"Hal ini lebih visible (bisa dilihat) dibanding dengan mengumpulkan dana dari buruh di depan dan baru akan diambil setelah sekian tahun. Ini belum lagi mempertimbangkan kenaikan lahan dan bahan bangunan dalam 10-30 tahun mendatang, sehingga bisa jadi dana iuran buruh melalui Tapera tidak akan ada nilainya," tuturnya. 

Irham melanjutkan, jika pemerintah nekat memberlakukan PP Tapera ini, Konfederasi Sarbumusi mengingatkan adanya risiko instabilitas ekonomi di masa depan dan adanya ketidakpercayaan publik terhadap pengelolaan dana publik.

"Kondisi ekonomi global saat ini penuh ketidakpastian dan fragile (rentan). Globalisasi, perubahan iklim, postur demografi, dan situasi geopolitik, serta keamanan global akan membuat dana yang diiur buruh ini akan berada dalam situasi ketidakpastian dan rentan," kata dia. 

"Belum lagi masyarakat masih trauma terhadap isu korupsi dan hilangnya dana publik yang dikelola oleh beberapa lembaga publik seperti Asabri beberapa tahun lalu," terangnya menambahkan. 

Irham menambahkan, pihaknya juga menyayangkan tidak adanya transparansi proses pembuatan aturan PP Tapera ini. Dia menyebut, Sarbumusi selalu mengingatkan pemerintah mengenai pentingnya dialog sosial dan konsultasi tripartit yang intens, transparan, dan konstruktif dalam setiap proses pembuatan regulasi ketenagakerjaan. 

"Jangan di-bypass terus seperti ini. Belum lagi di BP Tapera sama sekali tidak ada unsur buruh. Tentu tidak akan pernah benar-benar memahami situasi buruh dan apa yang diinginkan buruh. Kebutuhan buruh akan hunian adalah kebutuhan saat ini, bukan kebutuhan yang bisa ditunda 20-30 tahun lagi. Mimpi buruh punya rumah jangan semakin dikubur," tutupnya. 

Diketahui, Pemerintah Joko Widodo mengeluarkan PP Nomor 21 tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). PP ini mengatur agar pekerja membayar iuran untuk perumahan dengan ketentuan iuran  sebesar 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja dan 2,5 persen ditanggung oleh pekerja. Sementara untuk pekerja mandiri mengiur sebesar 3 persen dan ditanggung sendiri. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler