Penghasilan Konten Kreator Bisa Jadi Haram, Begini Penjelasan Ijtima Ulama
Penghasilan dari konten yang bertentangan dengan ketentuan syariat dinilai haram.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Tahun 2024 menyebutkan,tingkat penetrasi internet di Indonesia meningkat menjadi 79,5%.
Dengan demikian terdapat 221,563,479 jiwa penduduk terkoneksi dari total populasi 278,6 juta jiwa. Media sosial yang paling banyak digunakan oleh pengguna internet berusia 16-64 tahun adalah WhatsApp (90,9%), lalu disusul Instagram (85,3%), Facebook (81,6%), TikTok (73,5%), dan Telegram (61,3%).
Media sosial yang awalnya digunakan memudahkan menjalin silaturrahim, kini fungsinya semakin bertambah seperti menjadikannya sebagai cara mendatangkan penghasilan, seperti
yang dilakukan oleh para youtuber, tiktoker dan pengguna aplikasi media sosial lainnya. Uang penghasilan dari Youtuber atau tiktoker bisa mencapai puluhan juta hingga miliaran rupiah.
Berdasarkan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2024 yang berlangsung di Bangka, 28-31 Mei 2024, mengungkapkan, kemudahan berselancar membuat terjadinya fenomena pengabaian syariah di tengah mereka.
Hanya untuk sekedar kepentingan mencari atau menambah penghasilan, konten kreator mengabaikan prinsip syariah cara interaksi (muamalah) di sosial media. Sebagai contoh, mereka menjadikan sarana untuk penyebaran informasi yang tidak benar, hoax¸ fitnah, ghibah, namimah, gosip, pemutarbalikan fakta, ujaran kebencian, permusuhan, kesimpangsiuran, informasi palsu, dan hal terlarang lainnya yang menyebabkan disharmoni sosial.
Ijtima Ulama memutuskan...
Ijtima Ulama memutuskan, penghasilan pelaku ekonomi kreatif digital
Karena itu, Ijtima Ulama memutuskan, penghasilan dari youtuber, tiktoker dan pelaku ekonomi kreatif digital lainnya yang kontennya bertentangan dengan ketentuan syariat dinilai haram. Sementara itu, penghasilannya tidak boleh dibayarkan untuk zakat.
Beberapa dalil menjadi dasar putusan Ijtima Ulama tersebut, diantaranya yakni firman Allah SWT yang melarang untuk menyebarkan praduga dan kecurigaan, mencari keburukan orang, serta menggunjing, antara lain: ِDan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bo- hong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar”. (QS. An-Nur: 16)
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat: 12)
“Hai orang yang beriman! Nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu …” (QS. al-Baqarah: 267).