Hutan Papua, Benteng Krisis Iklim yang Harus Dijaga 

Hutan Papua terus dihadapkan dengan persoalan deforestasi.

ANTARA/Olha Mulalinda
Anak-anak berjalan di jembatan sepanjang 3.250 meter di kawasan Hutan Klaso menuju Kampung Klagufuk Malaumkarta, Kabupaten Sorong, Papua Barat, Selasa (16/3/2021).
Rep: Lintar Satria Red: Satria K Yudha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hutan Papua memegang berperan penting dalam menghadapi krisis iklim. Sebagai salah satu hutan tropis terbesar di dunia, hutan Papua menjadi penyerap karbon, mendinginkan iklim, dan berperan sebagai pencegah bencana alam. 

Akan tetapi, hutan Papua terus dihadapkan dengan persoalan deforestasi. Luas hutan Papua terus berkurang akibat pembalakan liar maupun pengalihfungsian menjadi lahan perkebunan sawit. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, deforestasi terus terjadi setiap tahunnya di Papua, meskipun angkanya cenderung menurun. Pada 2018-2019, BPS mencatat terjadi deforestasi sebesar 11.212 hektare. Adapun pada periode 2021-2022, deforestasi sebesar 4.531 hektare. 

Greenpeace Indonesia menyatakan, hutan Papua adalah benteng Indonesia maupun dunia untuk melawan perubahan iklim. Oleh karena itu, hutan Papua harus terus dijaga keberadaannya. 

Baca Juga


Poster All Eyes on Papua. Sejumlah selebritas Indonesia juga ikut mengunggah postingan bertulisan All Eyes on Papua di akun media sosial mereka. - (Dok. Instagram All Eyes on Papua)

Greenpeace pun menyoroti pemberian izin konsensi sawit di Papua. Menurut Greenpeace, hal itu tidak sejalan dengan komitmen pemerintah mengatasi perubahan iklim.  

"Dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), pemerintah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional pada 2030," kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Sekar Banjaran Aji, Selasa (4/6/2/2024

Sekar menilai, pembukaan lahan untuk sawit akan memicu deforestasi. Menurut dia, kondisi deforestasi di Papua sangat menyedihkan. 

Ia mengatakan, Greenpeace mencatat sejak tahun 2011, deforestasi di Provinsi Papua (termasuk pemekarannya) terus meningkat sampai tahun 2015 dengan rata-rata deforestasi seluas 35.824 hektare atau setengah luas DKI.

Sedangkan dari tahun 2016-2021 terlihat menurun tetapi rata-rata deforestasi tahunannya seluas 27.320 hektar atau berkurang 8.000 hektare per tahun atau 24 persen.

"Dan jika dilihat dari 4 provinsi pemekarannya, masing-masing provinsi mengalami potensi deforestasi seluas 4.000 hektare atau 50 kali luas Monas. Namun, kondisi deforestasi ini belum dianggap sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan padahal hutan Papua adalah benteng terakhir kita dari krisis iklim," tambahnya.

Saat ini, masyarakat adat suku Awyu diketahui sedang memperjuangkan hutan mereka dari alih fungsi lahan. Pemerintah Provinsi Papua mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL. PT IAL mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta.

Sekar mengatakan, dari satu izin lingkungan PT IAL untuk membangun lahan sawit, diperkirakan akan memicu deforestasi di area yang mayoritas lahan hutan kering primer seluas 26.326 hektare.

"Potensi emisi karbon yang lepas jika deforestasi itu terjadi yakni setidaknya sebesar 23 juta ton CO2. Ini akan menyumbang lima persen dari tingkat emisi karbon pada 2030. Jika deforestasi terus dilakukan, maka kita jelas tidak akan mampu mencapai target iklim dan semakin dekat ke kepunahan," kata Sekar. 

Isu deforestasi yang dipicu pembukaan lahan sawit di Papua mencuat setelah masyarakat suku Awyu dan suku Mo mendatangi gedung Mahkamah Agung pada Senin (27/5/2024). Dan sampai saat ini, tagar "All Eyes on Papua" masih mewarnai jagad media sosial. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler