Masih Ingin Berangkat Haji tanpa Visa Resmi?

Berangkat haji tanpa visa resmi termasuk perbuatan mencaplok hak jamaah haji resmi.

ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho
Petugas memberikan dokumen kepada jamaah calon haji saat tiba di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (13/5/2024). Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi Solo menerapkan layanan terpadu satu atap atau one stop service untuk jamaah calon haji saat masuk asrama dan langsung dilakukan pengecekan kesehatan, pemberian gelang, uang saku, dokumen visa dan paspor sehingga lebih ringkas dan jamaah calon haji dapat fokus istrahat saat di asrama.
Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhyiddin, Karta Raharja Ucu, Fuji Eka Permana, Antara

Dua ormas Islam besar di Indonesia telah mengeluarkan sikapnya soal WNI yang ingin menunaikan ibadah haji tapi tanpa menggunakan visa resmi khusus haji. Ibadah yang dilakukan dengan cara seperti ini tergolong cacat, berdosa, dan tidak berpahala karena ada unsur mencaplok hak jamaah haji yang mengikuti aturan.

Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Bidang Tabligh, Dakwah Komunitas, Kepesantrenan, dan Pembinaan Haji-Umrah M Saad Ibrahim mengingatkan para jamaah calon haji asal Indonesia agar memenuhi aturan yang telah ditetapkan, termasuk soal penggunaan visa khusus haji agar ibadah haji berpahala.

Saad menegaskan pelaksanaan ibadah haji tersebut jelas ada aturannya sehingga calon haji tidak serta merta menghalalkan berbagai cara untuk melaksanakan ibadah haji.

Oleh karena itu, ia menilai pelaksanaan ibadah haji tanpa visa haji sama saja tidak mendapatkan pahala meskipun syarat-syarat dan rukun-rukun hajinya terpenuhi.

 “Ibadahnya itu sebagai tujuan sehingga tidak lalu menghalalkan segala cara. Kami lihat dalam konteks syarat dan rukunnya itu bisa terpenuhi, dapat kami katakan itu ibadahnya sah, namun tidak dapat pahala, bahkan kemudian akan mendapatkan dosa terkait dengan aturan yang dilanggar,” kata Saad dalam sesi konferensi pers “Edukasi Jamaah Menyambut Transformasi Haji; Sistem Pelayanan Modern Arab Saudi Wujudkan Impian lbadah Nyaman dan Aman” di Gedung PP Muhammadiyah Menteng, Jakarta Pusat, Selasa.

Saad menjelaskan ibadah haji yang dilakukan oleh jemaah dengan menggunakan visa non-haji memang dapat menggugurkan kewajibannya. Akan tetapi, ibadah tersebut tidak diterima karena adanya pelanggaran.

"Hampir pasti itu kemudian tidak diterima dan bahkan kemudian mendapatkan teguran-teguran karena akan masuk pada ruang pelanggaran," ujarnya.

Ia menambahkan bahwa jamaah Indonesia yang datang ke Arab Saudi sejatinya adalah seorang tamu sehingga haruslah menghormati peraturan yang telah ditetapkan oleh tuan rumah.

"Oleh karena itu, hal inilah yang perlu kami lakukan edukasi-edukasi agar kemudian umrah tidak kemudian dilanjutkan bagi yang tidak memiliki visa haji itu dengan ibadah haji. Termasuk juga kemudian ketika menggunakan visa-visa yang tidak resmi, visa-visa yang 'palsu',” ujarnya.

M. Saad Ibrahim mengingatkan para jamaah calon haji asal Indonesia agar mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh Arab Saudi mengenai kewajiban penggunaan visa haji.

 "Apabila ada jamaah Indonesia yang hendak berangkat haji maka sudah seharusnya mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia maupun Arab Saudi karena tujuannya ialah ibadah,' kata Saad.

 Selain itu, jamaah Indonesia yang datang ke Arab Saudi sejatinya adalah seorang tamu sehingga harus menghormati peraturan yang telah ditetapkan oleh tuan rumah.

"Karena itu sekali lagi inilah yang perlunya kita melakukan edukasi-edukasi agar kemudian ya umrah, tidak kemudian dilanjutkan yang tidak memiliki tadi visa haji itu dengan ibadah haji. Termasuk juga ketika menggunakan visa-visa yang tidak resmi atau palsu dan seperti itu ya,” katanya.

Oleh sebab itu, pihaknya menghormati sekaligus menilai tepat langkah pemerintah Arab Saudi yang menindak tegas jamaah calon haji asal Indonesia yang kedapatan tidak memiliki visa haji.

“Karena itu kalau kemudian pemerintah Saudi Arabia memulangkan, saya kira sudah dalam konteks secara khusus pun yang punya basis dalam arti secara dalil pun sudah punya basis terkait dengan itu semuanya, dan kita menghormati yang seperti itu," katanya.

Ia mengingatkan seluruh anggota Muhammadiyah untuk ikut ambil bagian dalam mengedukasi masyarakat yang dapat dimulai dari anggota keluarga terdekat mengenai aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh setiap jamaah calon haji.

 

Sementara, Pengurus Besar Harian Syuriyah Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan haji dengan visa non haji atau tidak prosedural sah, tetapi cacat dan pelakunya berdosa.

Baca Juga


Musyawarah dipimpin oleh Rais ‘Aam KH Miftachul Akhyar dan Katib Aam KH Ahmad Said Asrori. Musyawarah berlangsung secara hybrid, daring dan luring, diikuti KH. Afifuddin Muhajir, KH. Musthofa Aqiel Siraj, KH. Masdar F Masudi, KH. Sadid Jauhari, KH. Abd Wahid Zamas, KH. Kafabihi Mahrus, KH. M Cholil Nafis, KH. Muhibbul Aman Aly, KH. Nurul Yaqin, KH. Faiz Syukron Makmun, KH. Sarmidi Husna, KH. Aunullah A’la Habib, KH. Muhyiddin Thohir, KH. Moqsith Ghozalie, KH. Reza A Zahid, KH. Tajul Mafakhir, Habib Luthfi Al-Athas, dan KH. Abd Lathif Malik. Sementara hadir dalam musyawarah perwakilan dari Kementerian Agama RI, Staf Khusus Menteri Agama RI Ishfah Abidal Aziz, dan Direktur Bina Haji Arsad Hidayat

“Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah memutuskan bahwa haji dengan visa non haji (tidak prosedural) adalah sah akan tetapi cacat dan yang bersangkutan berdosa,” demikian dikutip dari Lampiran Keputusan Pengurus Besar Harian Syuriyah NU, Kamis (30/5/2024).

Pertama, syarat utama dari ibadah haji adalah istitha'ah (memiliki kemampuan) dalam berbagai aspeknya, mulai mampu secara materi untuk biaya haji dan biaya keluarga yang ditinggalkan, mampu fisik dengan kesehatan yang baik untuk mendukung pelaksanaan ibadah haji hingga mampu untuk menghadirkan rasa aman selama berada di Tanah Suci.
Secara umum, kemampuan fisik (badan), bekal dan transportasi menjadi hal yang paling utama dalam istitha'ah seseorang dalam ibadah haji maupun umroh.

Ketiga, syarat istitha'ah ini telah diatur dengan baik oleh otoritas lembaga pelaksana ibadah haji, baik pemerintah atau negara yang memberangkatkan jemaah haji (termasuk Indonesia) maupun pemerintah yang menjadi penguasa wilayah sebagai lokus pelaksanaan ibadah haji (Kerajaan Arab Saudi). Pengaturan tersebut, salah satunya adalah pembatasan kuota haji.

Kedua, di Indonesia, berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, terdapat dua jenis visa haji indonesia yang legal, yaitu visa haji kuota Indonesia (kuota haji reguler dan haji khusus) dan visa haji mujamalah (undangan pemerintah Kerajaan Arab Saudi).

Haji dengan visa mujamalah ini populer dengan sebutan haji furoda, yakni haji yang menggunakan visa undangan dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Jemaah yang menggunakan visa ini wajib berangkat melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).

Secara umum, kemampuan fisik (badan), bekal dan transportasi menjadi hal yang paling utama dalam istitha'ah seseorang dalam ibadah haji maupun umroh.

 

Ketiga, syarat istitha'ah ini telah diatur dengan baik oleh otoritas lembaga pelaksana ibadah haji, baik pemerintah atau negara yang memberangkatkan jemaah haji (termasuk Indonesia) maupun pemerintah yang menjadi penguasa wilayah sebagai lokus pelaksanaan ibadah haji (Kerajaan Arab Saudi). Pengaturan tersebut, salah satunya adalah pembatasan kuota haji.

 

Kedua, di Indonesia, berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, terdapat dua jenis visa haji indonesia yang legal, yaitu visa haji kuota Indonesia (kuota haji reguler dan haji khusus) dan visa haji mujamalah (undangan pemerintah Kerajaan Arab Saudi).

Haji dengan visa mujamalah ini populer dengan sebutan haji furoda, yakni haji yang menggunakan visa undangan dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Jemaah yang menggunakan visa ini wajib berangkat melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).

 

Ketiga, banyak oknum yang memanfaatkan situasi antrean panjang beribadah haji dengan melakukan penawaran haji menggunakan visa non haji (bukan visa haji). Banyak penawaran berhaji tanpa antre dengan visa ziarah multiple (kunjungan berulang), visa ummal (pekerja), visa turis, visa umroh, dan jenis visa lainnya. Praktik haji seperti ini adalah praktik haji non prosedural karena haji non kuota.


Keempat, banyak masyarakat yang tergiur haji menggunakan berbagai jenis visa tersebut. Haji non prosedural dianggap menjadi solusi bagi masyarakat yang tidak sabar menunggu antrean haji yang cukup lama.

Namun, banyak masyarakat yang tidak mempertimbangkan berbagai faktor sebagai akibat dari haji non prosedural. Mereka tidak memahami regulasi, tidak mengetahui hak-haknya, dan tidak mengutamakan sisi perlindungan sebagai WNI di luar negeri.
Berbagai faktor tersebut yang sering tidak terinformasikan dan tidak dipertimbangkan masyarakat secara matang sebelum memilih haji non prosedural.

Kelima, keberadaan jamaah haji non prosedural menjadi persoalan dalam penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya. Karena mereka haji tanpa visa haji, maka kehadiran mereka di Tanah Suci menjadi ilegal.

Mereka tidak tercatat secara resmi sebagai jamaah, baik menurut negara asal maupun bagi negara tujuan. Saat mereka hadir di Padang Arafah untuk wukuf, mereka tidak memiliki kuota lokasi tempat atau maktab sehingga mereka kadang mencaplok  tenda maktab bagi jamaah haji resmi.

Pencaplokan tenda merupakan bentuk kezaliman kepada pihak lain dan tidak layak dilakukan hanya untuk egoisme pribadi dalam menunaikan ibadah. Selain itu, jika mereka bermasalah hukum, dampaknya bukan mereka sendiri yang dijatuhi hukuman oleh pemerintah Arab Saudi, akan tetapi juga tentu mereka merepotkan pemerintah Indonesia karena mereka adalah Warga Negara Indonesia.

Menurut keputusan musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah NU, haji visa non haji (tidak prosedural) sah, karena visa haji bukan bagian dari syarat-syarat haji dan rukun-rukun haji dan larangan agama yang berwujud dalam larangan pemerintah Arab Saudi bersifat eksternal (راجع إلى أمر خارج).

Cacat dan berdosa:

 

1. Melanggar aturan syari'at yang mewjibkan menaati perintah ulil amri dan mematuhi perjanjian (يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود)

2. Praktik haji dengan visa non haji bertentangan dengan syariat. Orang yang haji dengan menggunakan visa non haji (tidak sesuai prosedur/ilegal) bertentangan dengan substansi syariat Islam karena praktik haji tidak prosedural ini berpotensi membahayakan dirinya sendiri dan juga jamaah haji lainnya.

Praktik haji ilegal selain telah mencaplok (ghashab) tempat yang menjadi hak tempat yang disediakan untuk jamaah haji resmi, mereka juga memperparah kepadatan jamaah di Armuzna maupun di  Makkah. Ini berpotensi mempersempit ruang gerak jamaah haji resmi sehingga dapat menimbulkan madharat bagi diri sendiri dan juga jamaah lain.

Kementerian Agama (Kemenag) memaparkan tiga landasan ketentuan yang menegaskan bahwa berhaji harus menggunakan visa haji, bukan visa ziarah atau visa lainnya.

"Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, terdapat dua jenis visa haji yang legal, yaitu visa haji kuota Indonesia (kuota haji reguler dan haji khusus) dan visa haji mujamalah (undangan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi)," kata Petugas Media Center Haji (MCH), Kemenag Widi Dwinanda dalam konferensi pers penyelenggaraan ibadah haji yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.

Penggunaan visa mujamalah untuk berhaji, ujar dia, populer di kalangan masyarakat Indonesia dengan sebutan haji furoda, yang menggunakan visa undangan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.

Ia juga menekankan jamaah calon haji yang menggunakan visa tersebut wajib berangkat melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).

"Kedua, fatwa Haiah Kibaril Ulama (Perkumpulan Ulama Besar) Arab Saudi yang mewajibkan adanya izin haji bagi siapa pun yang ingin menunaikan haji," ujarnya.

Ia menyebut terdapat empat alasan yang disampaikan pada fatwa tersebut, yakni pertama, kewajiban memperoleh izin haji didasarkan pada apa yang diatur dalam syariat Islam dan kedua, kewajiban untuk mendapatkan izin haji sesuai kepentingan yang disyaratkan syariat yang akan menjamin kualitas pelayanan yang diberikan kepada jamaah haji.

Ketiga, katanya, kewajiban memperoleh izin haji bagian dari ketaatan kepada pemerintah serta keempat, haji tanpa izin tidak diperbolehkan sebab kerugian yang diakibatkan hal itu tidak terbatas pada jamaah, tetapi meluas pada jamaah lain.

Menurut fatwa tersebut, ujarnya, tidak boleh berangkat haji tanpa mendapat izin dan berdosa bagi yang melakukannya karena melanggar perintah pemerintah.

"Pemerintah (Arab) Saudi telah menetapkan sanksi berhaji tanpa visa dan tasreh resmi," ucapnya.

Landasan terakhir, kata Widi, keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Pengurus Syuriyah Nahdlatul Ulama digelar pada 28 Mei 2024 yang memutuskan bahwa haji dengan visa non-haji atau tidak prosedural itu sah, tetapi cacat, sedangkan pelaku berdosa.

 

 

Sementara, Ketua Komisi VIII DPR Ashabul Kahfi mengusulkan visa umroh yang awalnya berlaku selama tiga bulan sejak penerbitannya agar diubah menjadi satu bulan untuk mencegah penyalahgunaan visa tersebut.

"Masa berlaku visa umrah itu idealnya, kalau (menurut) saya, dari tiga bulan diganti satu bulan saja. Kalau tiga bulan itulah kesempatan mereka memanfaatkan mereka untuk tinggal lebih lama (melaksanakan haji)," kata Kahfi kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.

Menurut dia, pembatasan masa berlaku visa umrah itu penting dilakukan untuk mencegah jumlah jamaah haji membeludak.

"Kalau jumlah jamaah haji membeludak sudah di luar kapasitas daya tampung khususnya di Armuzna itu kan bisa menimbulkan masalah besar utamanya keselamatan jamaah," ujar dia.

Meskipun demikian, Kahfi memahami banyaknya jamaah umrah yang melaksanakan ibadah haji menggunakan visa non-haji terjadi sebagai bentuk euforia melaksanakan rukun Islam kelima itu.

"Animo yang begitu besar ini menimbulkan masalah. Masalahnya apa? Terjadilah antrean yang begitu panjang. Hari ini saja ada kurang lebih 5,3 juta calon haji yang sudah mendaftar. Nah, antrean panjang ini berefek pada lamanya mereka harus menunggu," ujar dia.

Sebelumnya, otoritas keamanan Arab Saudi kembali menahan 37 WNI yang kedapatan hanya memiliki visa ziarah tetapi diduga nekat untuk berhaji.

Dari hasil pemeriksaan aparat keamanan, puluhan WNI tersebut menggunakan atribut haji palsu yang selama ini dipakai oleh jamaah calon haji Indonesia resmi.

Pada Senin (3/6), Konsul Jenderal RI Yusron B Ambary di Jeddah, Arab Saudi, telah menyampaikan bahwa sebanyak 34 dari 37 Warga Negara Indonesia (WNI) yang ditangkap aparat keamanan Arab Saudi karena kedapatan menggunakan visa non-haji dipulangkan ke tanah air, sementara tiga orang lainnya akan diproses secara hukum.

"Alhamdulillah, dalam pendampingan tersebut, 34 orang dinyatakan bebas dan pagi ini telah kembali ke Indonesia dengan penerbangan Qatar Airways yang akan tiba di Jakarta pukul 21.30 WIB," ujar dia.

Yusron mengatakan KJRI Jeddah akan memastikan hak-hak hukum 3 WNI yang diproses hukum tersebut terpenuhi.

Di sisi lain, berdasarkan pengakuan 34 orang yang sudah pulang mereka menyampaikan bahwa datang ke Arab Saudi dengan visa ziarah bukan visa haji.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menyatakan pihaknya mendukung penindakan tegas yang berupa deportasi dari Pemerintah Arab Saudi terhadap WNI yang berniat melakukan ibadah haji menggunakan visa non-haji.

"Kami mendukung kebijakan tersebut karena haji hanya bisa diikuti oleh WNI yang memiliki visa haji resmi, baik itu visa regular, haji khusus, maupun visa Furoda," kata Ace kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.

Ia menekankan bahwa penindakan tegas itu memang harus dilakukan karena penggunaan visa di luar ketentuan merupakan tindakan ilegal dan berdampak negatif pada penyelenggaraan ibadah haji yang telah terkoordinasi dengan baik.

Ia menambahkan bahwa jamaah haji yang tidak terdaftar secara resmi dapat mengganggu hak-hak jemaah haji reguler. Pemerintah Arab Saudi telah menetapkan aturan ketat mengenai akomodasi, tenda, dan makanan bagi jemaah haji yang terdaftar. Dengan demikian, kehadiran jamaah dengan visa non-haji dapat mengancam hak-hak jamaah yang telah membayar secara resmi.

"Dikhawatirkan jemaah haji tidak resmi akan mengambil hak-hak jemaah haji Indonesia yang regular saat puncak ibadah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina," ujarnya.

Ace juga mengimbau masyarakat untuk lebih waspada terhadap pihak-pihak yang menawarkan penyelenggaraan ibadah haji dengan visa tidak resmi.

"Masyarakat harus hati-hati dan memastikan visa yang digunakan adalah visa haji yang resmi," kata dia.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler