SYL Minta Bos Pakaian Dalam Dihadirkan di Persidangan, Ini Alasannya

Hanan Supangkat sudah memberikan keterangan sebagai saksi di KPK untuk SYL.

Republika/Thoudy Badai
Terdakwa kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi Syahrul Yasin Limpo berjalan usai mendengarkan keterangan saksi saat sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (3/6/2024).
Rep: Rizky Suryarandika Red: Mas Alamil Huda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan menteri pertanian (mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) meminta supaya bos perusahaan pakaian dalam PT Mulia Knitting Factory (Rider), Hanan Supangkat dihadirkan sebagai saksi. Permintaan tersebut dikatakan SYL lewat tim kuasa hukumnya dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi di lingkungan Kementan pada Rabu (12/6/2024), di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Baca Juga


"Namanya Hanan Supangkat. Mohon berkenan melalui Yang Mulia, bila berkenan mungkin, meminta ke Majelis menghadirkan Hanan Supangkat," kata ketua tim penasihat hukum SYL, Djamaluddin Koedoeboen dalam persidangan tersebut.

Permintaan itu dilayangkan lantaran Hanan Supangkat sudah memberikan keterangan sebagai saksi kepada KPK dalam penyidikan kasus yang menjerat SYL. "Saksi yang menurut hemat kami, dalam memberikan keterangan pada bulan Maret kemarin itu juga berkaitan dengan Pak SYL," ujar Koedoeboen.

Adapun pihak jaksa penuntut umum KPK mengonfirmasi bahwa Hanan memang pernah diperiksa menyangkut perkara SYL. Tapi Hanan bukan diperiksa soal perkara tipikor yang saat ini sedang disidangkan, melainkan perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU) SYL.

"Dapat kami sampaikan untuk saksi Hanan Supangkat tidak menjadi saksi di dalam berkas perkara tindak pidana korupsi ini Yang Mulia, tidak ada di berkas perkara. Memang kami mendapat info di media kami pun mendengar dari media, pernah di BAP tapi di TPPU," ujar JPU KPK ketika merespons permintaan penasihat hukum SYL.

Majelis Hakim mengambil sikap tak akan mengeluarkan penetapan untuk menghadirkan Hanan Supangkat sebagai saksi dalam persidangan perkara ini. Walau demikian, pihak SYL diperkenankan untuk menghadirkan Hanan sebagai saksi a de charge atau meringankan.

"Kalau saudara menganggap penting untuk dihadirkan Hanan Supangkat, silakan saudara yang menghadirkan dalam persidangan. Tapi untuk kami memerintahkan penuntut umum untuk menghadirkan Hanan Supangkat itu tentu karena sudah disampaikan penuntut umum, Hanan Supangkat ini tidak menjadi saksi dalam perkara ini, tapi dia menjadi saksi untuk TPPU-nya," ujar Hakim Ketua, Rianto Adam Pontoh.

Permintaan buka blokir rekening. Baca selengkapnya di halaman selanjutnya.

Kontroversi Firli Bahuri - (Infografis Republika)

SYL juga memohon kembali kepada majelis hakim agar pemblokiran terhadap rekeningnya dicabut. SYL menjamin rekening yang dimaksud tidak ada kaitannya dengan perkara dugaan korupsi yang menjeratnya. Hal itu disampaikan ketua tim kuasa hukum SYL, Djamaludin Koedoeboen dalam sidang lanjutan di pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada Rabu (12/6/2024).

"Yang Mulia, mohon izin, terkait dengan apa yang pernah dimohonkan oleh klien kami, soal pembukaan rekening untuk menafkahi kehidupan keluarga. Maka, mohon berkenan kami akan menyampaikan suratnya kepada yang mulia untuk dipertimbangkan," kata Koedoeboen dalam sidang tersebut.

Atas permintaan itu, hakim ketua Rianto Adam Pontoh menyebut, jadwal persidangan masih berlangsung. Sehingga majelis hakim masih membutuhkan barang bukti. "Tapi kalau memang sudah tidak ada relevansinya dengan pemeriksaan perkara ini dalam hal pembuktian, tentunya kami akan ambil sikap," ujar Rianto.

Rianto juga berpesan supaya Jaksa KPK memperhatikan permintaan kubu SYL itu. Dengan demikian nantinya dapat dicek apakah rekening yang diajukan pencabutan blokirnya ini merupakan barang bukti yang diajukan oleh penuntut umum dalam persidangan atau bukan.

"Kalau masih barang bukti dan dalam sitaan, dalam pemblokiran, masih dibutuhkan untuk pemeriksaan perkara ini. Tentunya lain ceritanya, kan gitu. Kalau nggak dibutuhkan lagi, kami akan ambil sikap, begitu ya," ujar Rianto.

Cerita SYL melarang kakaknya main proyek. Baca selengkapnya di halaman selanjutnya.

 

SYL disebut melarang keras keluarganya "main proyek" atau memanfaatkan jabatan untuk kepentingan sendiri. Hal tersebut dikatakan oleh Abdul Malik Faisal sebagai mantan anak buah SYL saat menjabat sebagai Bupati Gowa hingga gubernur Sulawesi Selatan.

Malik dihadirkan sebagai saksi meringankan atau a de charge dalam kasus dugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi yang menjerat SYL pada Senin (10/6/2024). Awalnya, Malik menjelaskan soal karakter SYL saat menjadi pejabat negara. Malik mengingat mantan Bupati Gowa itu jarang berada di kantor.

"Pak Syahrul itu kalau saya lihat bekerja 80 persen di lapangan cuma 20 persen di kantor. Semua kecamatan didatangi," kata Malik dalam persidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin (10/6/2024).

Selain itu, SYL disebut Malik tidak pernah membicarakan soal uang atau proyek di pemerintahan. Apalagi saat menjabat sebagai bupati Gowa, kakak dari SYL yang merupakan anggota DPR disebut sempat marah lantaran dilarang mendapat proyek.

"Sampai saudaranya sendiri yang pada saat itu anggota DPR marah, dia bilang 'kenapa saya dilarang dapat proyek di Gowa. Saya ini juga pengusaha meskipun saya anggota DPR'. Saudara kakaknya sendiri pada saat itu marah," kata Malik menjelaskan.

Oleh karena itu, Malik menganggap kalau mantan atasannya itu merupakan pejabat bersih. Malik mengatakan, SYL marah jika masalah proyek sampai di provinsi.

Sebelumnya, JPU KPK mendakwa SYL melakukan pemerasan hingga Rp 44,5 miliar. Sejak menjabat Mentan RI pada awal 2020, SYL disebut mengumpulkan Staf Khusus Mentan RI Bidang Kebijakan Imam Mujahidin Fahmid, mantan Sekjen Kementan Kasdi Subagyono, mantan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan Muhammad Hatta dan ajudannya, Panji Harjanto.

Mereka lantas diminta melakukan pengumpulan uang "patungan" dari semua pejabat eselon I di Kementan untuk keperluan SYL. Perkara ini menjerat Syahrul Yasin Limpo, Kasdi Subagyono, dan Muhammad Hatta.

Atas perbuatannya, SYL didakwa melanggar Pasal 12 huruf e, atau Pasal 12 Huruf F, atau Pasal 12 huruf B juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler