Pakar: RUU Penyiaran Rawan Multi Tafsir
DPR diminta perjelas maksud dari larangan konten eksklusif jurnalisme investigasi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktisi Hukum, Deolipa Yumara, mengungkapkan pengaturan jurnalistik investigasi eksklusif di Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran perlu diperjelas. Deolipa merasa klausul itu wajib dipertegas agar tidak menimbulkan multi tafsir.
Hal itu disampaikan Deolipa dalam Diskusi Ikatan Wartawan Hukum berjudul "Menakar Urgensi RUU Penyiaran" di Grownd Cafe, Jakarta Selatan pada Jumat (14/6/2024). Deolipa mengingatkan konsep dalam RUU Penyiaran masih dipertanyakan.
"Soalnya masyarakat beda persepsi tentang kata-kata, kalimat-kalimat, yang kemudian dipahami terbeda dengan maksudnya yang diupayakan oleh DPR," kata Deolipa dalam diskusi itu.
Salah satunya ada larangan untuk menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi sebagaimana dimuat pada Pasal 50 B Ayat 2 RUU Penyiaran tertanggal 27 Maret. Padahal pasal itu tak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Menyangkut hal ini, Deolipa meminta DPR memperjelas maksud dari konten eksklusif jurnalisme investigasi.
"DPR maksudnya begini, masyarakat nggak bisa menangkap. Kenapa? Karena penjelasannya nggak ada. Eksklusif itu apa? Investigasi itu bagaimana? Itu nggak tampak," ujar Deolipa.
Deolipa juga mempertanyakan penyematan kata "eksklusif" dalam konten investigasi jurnalistik.
"Ini apa nih? Kok nggak boleh jurnalistik investigasi eksklusif, kan gitu. Nah ternyata ada kata-kata eksklusif, tapi eksklusifnya juga nggak bisa dibahas, gimana kalau kita nggak tau, apa tidak eksklusif atau eksklusif," ujar Deolipa.
Oleh karena itu, Deolipa memandang pasal tersebut cenderung rawan disalahtafsirkan. "Jadi ini adalah kata-kata yang kemudian sangat-sangat multitafsir," ujar Deolipa.
Padahal kerja jurnalisme menurut Deolipa erat dengan investigasi. "Jadi hati-hati dengan kata, investigasi eksklusif atau melarang investigasi. Karena 90 persen kerja pers adalah menginvestigasi," ucap Deolipa.