Ini yang Perlu Diketahui Terkait Bakteri Pemakan Daging yang Memicu Korban Jiwa di Jepang
Para ahli belum memahami mengapa infeksi STSS meluas dengan cepat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekhawatiran mulai merebak menyusul pemberitaan terkait kasus bakteri pemakan daging yang bisa mematikan manusia. Penyakit yang bernama streptococcal toxic shock syndrome (STSS) ini terpantau di Jepang, dan sudah ada lonjakan infeksi kasus hingga berujung pada korban meninggal.
Kasus STSS di Jepang telah mencapai 977 kasus per tanggal 2 Juni 2024. Angka ini telah melampaui total 941 kasus tahun lalu, menurut Institut Nasional Penyakit Menular Amerika Serikat (CDC). Untuk Indonesia, memang belum ada pernyataan dari Kemenkes terkait kasus tersebut. Namun untuk berhati-hati, berikut sejumlah hal yang wajib diketahui publik terkait STSS:
Apa itu streptococcal toxic shock syndrome (STSS)?
STSS adalah infeksi bakteri yang "jarang terjadi, tetapi berdampak serius" yang dapat "berkembang sangat cepat menjadi keadaan darurat yang mengancam jiwa," menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention - CDC).
Apa yang menyebabkan STSS?
STSS disebabkan oleh racun yang dilepaskan oleh Streptococcus pyogenes, juga dikenal sebagai Group A Streptococcus (GAS), yang umumnya menyebabkan sakit tenggorokan dan infeksi kulit, jelas dr Céline Gounder, pakar penyakit menular dan pengasuh konten kesehatan di KFF Health News, seperti dikutip dari CBS kemarin.
"Lebih jarang, GAS menyebabkan infeksi pada darah, paru-paru, serta infeksi 'pemakan daging'," Gounder menjelaskan. "Sekitar 30 hingga 60 persen orang yang mengalami infeksi paling serius ini akan meninggal karenanya."
Siapa yang paling berpotensi terkena STSS?
Siapa pun bisa terkena STSS, kata CDC, tetapi faktor risiko tertentu dapat meningkatkan risiko warga, termasuk:
Usia - paling sering terjadi pada orang dewasa berusia 65 tahun ke atas. Infeksi atau cedera yang merusak kulit, faktor kesehatan lainnya, termasuk diabetes dan gangguan penggunaan alkohol.
Faktor risiko untuk infeksi Streptococcus Grup A yang parah, kata Gounder, termasuk trauma, operasi, luka bakar, imunosupresi, kehamilan, diabetes, penggunaan narkoba suntikan, tunawisma, dan infeksi cacar air atau influenza.
Apa yang bisa membantu menghambat penularan?
Para ahli belum memahami mengapa infeksi parah ini menjadi lebih umum, tetapi ada cara untuk membantu mencegah infeksi.
"Karena cacar air dan influenza merupakan faktor risiko untuk infeksi GAS berat, vaksinasi terhadap virus varicella zoster dan influenza dapat mengurangi risiko infeksi GAS berat," kata Gounder. "Orang yang pernah kontak dekat dengan seseorang dengan infeksi GAS berat dan yang mengalami gangguan kekebalan tubuh, hamil, atau memiliki luka terbuka harus diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi."
Bagaimana gejala awal STSS?
Gejala awal sering kali termasuk demam, kedinginan, nyeri otot, mual, dan muntah, demikian CDC. Kementerian kesehatan Jepang menambahkan orang juga mengalami rasa sakit dan pembengkakan pada lengan dan kaki.
Setelah 24 hingga 48 jam, tekanan darah rendah biasanya berkembang dan dapat menyebabkan masalah yang lebih serius, termasuk gagal organ, peningkatan denyut jantung, dan pernapasan cepat.
"Bahkan dengan pengobatan, STSS bisa mematikan. Dari 10 orang dengan STSS, sebanyak 3 orang akan meninggal karena infeksi," kata CDC.
Di mana SSTS ditemukan?
Sejak akhir 2022, beberapa negara mengalami peningkatan kasus GAS, termasuk Inggris, Irlandia, Prancis, Belanda, dan Swedia.
"Wabah seperti ini menunjukkan perlunya pengawasan dan pengendalian penyakit menular secara berkelanjutan, tidak hanya di Amerika Serikat, tetapi juga di seluruh dunia," kata Gounder.