Bukan Soal Baru: Marginalisasi Islam di Tajikistan

Islam di Tajikistan mengalami pasang-surut.

ANTARA FOTO
ILUSTRASI Marginalisasi Islam di Tajikistan bukan hal baru. Foto - Seorang wanita di depan benteng kota tua Hissor, Tajikistan.
Red: Hasanul Rizqa

Baru-baru ini, Tajikistan mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) yang melarang hijab, sebuah busana yang menutup aurat seorang Muslimah. Pengesahan beleid ini agak mengherankan. Sebab, mayoritas penduduk negara Asia tengah itu adalah umat Islam.

Baca Juga


Dalam teks kebijakan tersebut, kain khas Muslimah itu bahkan diistilahkan sebagai "pakaian asing." Lebih lanjut, aturan ini juga ikut melarang “idieh”, yakni kebiasaan bahwa anak-anak diberi uang pada saat maupun menjelang dua hari raya Islam yang paling penting—Idul Fitri dan Idul Adha.

Siapapun warga Tajikistan yang melanggarnya dapat dikenakan denda, mulai dari 7.920 somoni (sekitar Rp 12 juta) untuk pelanggar individu hingga 39.500 somoni (Rp 61 juta). Demikian dilansir Layanan Tajik Radio Liberty.

"Terkekangnya" praktik-praktik keislaman di ranah publik bukanlah perkara baru di Tajikistan. Harian Republika dalam edisi 27 Agustus 2004 pernah mengulas kuatnya sekularisme di sana. Berikut petikan laporan tersebut.

Sama-sama sebagai umat mayoritas, namun 'nasib' Muslimah di Tajikistan berbeda dengan kita. Jika Muslimah Indonesia sudah bebas memasuki ranah publik dengan busana Muslimnya, tidak demikian di negeri ini.

Muslimah memang diperkenankan mengenakan jilbab. Namun, jangan harap dalam dokumen resmi, foto diri dengan jilbab diperkenankan. Hingga kini, mereka masih berjuang agar pemerintah melegalkan foto berjilbab dalam identitas resmi mereka.

"Kita masih berupaya meyakinkan mereka bahwa pelarangan foto berjilbab sama dengan mengabaian hak azasinya," ujar Abdusator Boboyev di Distrik Isfara. Ia merupakan pimpinan Islamic Revival Party, partai Islam terbesar di Tajikistan.

Lebih mencengangkan lagi, sekitar 90 persen kaum wanita, khususnya Muslimah, tidak mempunyai dokumen identitas, bahkan kartu tanda penduduk Tajikistan sekalipun. Sebab, para Muslimah ini menolak untuk difoto dengan melepas jilbabnya.

Kalau pun ada identitas, bentuknya adalah paspor perjalanan luar negeri. Sebab, untuk paspor ini ada pengecualian, yakni mereka boleh tetap berjilbab.

Isfara adalah distrik dengan jumlah penganut Muslim terbanyak. Hampir seluruh Muslimah di wilayah ini mengenakan jilbab.

"Inilah ironisnya. Di Rusia yang Muslimnya hanya 20 persen dari populasi, kaum Muslimah bebas berfoto untuk dokumen resmi dengan tetap berjilbab. Sementara di sini, di mana Islam adalah 99 persen, kondisinya malah sebaliknya," tambah Boboyev lagi.

Dalam hal ibadah, Muslimah juga mengalami pembatasan. Komite Ilmuwan Islamic Center di Tajikistan baru-baru ini mengeluarkan pernyataan yang melarang Muslimah yang ada di negara tersebut datang ke masjid-masjid untuk beribadah atau mengikuti pelajaran agama.

Kebijakan ini kontan menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat dan juga para tokoh agama. Ketua Komite, Khudayberdi Egamberdiev, mengatakan bahwa akan lebih baik bagi para Muslimah untuk melaksanakan shalat lima waktu di rumah daripada di masjid. Alasan pihaknya mengeluarkan kebijakan itu, lanjut dia, lantaran adanya kekhawatiran apabila kaum perempuan hadir di masjid, akan menimbulkan simpang siur dengan jamaah pria. Sebab, sebagian besar masjid di negara Asia Tengah tersebut tidak memiliki area khusus untuk wudhu dan shalat bagi jamaah perempuan.

Saidumar Mohammad Nazar, anggota senior dari Islamic Revival Party, menyatakan keputusan tadi sangat tidak adil dan bertentangan dengan syariat Islam. "Ini juga tidak selaras dengan undang-undang negara yang melindungi kebebasan menjalankan agama bagi setiap warga negara," tegasnya lagi.

Menurutnya, Muslimah berdasarkan syariat Islam diperbolehkan untuk melaksanakan ibadah di masjid. Sepengetahuannya, agama Islam, pada kenyataannya, tidak melarang bagi para Muslimah untuk mengerjakan shalat di masjid bersama-sama dengan kaum pria.

"Bahkan pada zaman Nabi Muhammad SAW, Muslimah selalu turut hadir di masjid dan melaksanakan shalat lima waktu berjamaah," imbuh dia.

Setiap saat, para Muslimah juga hadir dalam majelis Rasulullah SAW yang dilangsungkan di kediaman istri beliau. Pada kesempatan tersebut, mereka bahkan dapat bertanya langsung kepada beliau berkaitan dengan masalah-masalah seputar kehidupan rumah tangga dan sosial. ''Jadi, larangan itu sebetulnya merupakan kemunduran,'' tambahnya.

 

Murtad demi setengah karung gandum?

 

Perang sipil di Tajikistan (Februari 1990) menghasilkan dua hal yang saling berlawanan. Di satu sisi, negara ini menjadi republik mandiri yang merdeka (proklamasi pada 24 Agustus 1990). Namun di sisi lain, kemiskinan menyelimuti negeri dengan mayoritas penduduk beragama Islam ini.

Dan, persoalan klasik pun muncul. Kemiskinan dijadikan 'senjata' untuk mengeluarkan seorang Muslim dari agamanya. Para misionaris dengan didanai lembaga misi internasional menyebar diri ke berbagai wilayah untuk menawarkan doktrin agamanya. Imbalannya pun "menggiurkan", yakni keterbebasan dari lilitan kemiskinan.

"Bagi mereka yang keimanannya tidak kuat, maka demi setengah karung gandum, dia akan rela menjual agamanya. Dan demi sekarung gandum, bisa saja besok hari dia pindah agama," ujar tokoh Muslim Tajikistan, Abdullo Hakim Rahnamo.

Sejak beberapa tahun belakangan, kegiatan misionaris makin menggeliat. Mereka misalnya, datang dari organisasi Kristen yang berbasis di Korea, Amerika Serikat dan negara lainnya.

"Hal itu memang menjadi masalah besar bagi masyarakat kami," keluh profesor ilmu sosial di Universitas Nasional Tajikistan ini.

Lebih jauh dikatakannya, dalam menghadapi persoalan itu, umat Islam setempat menemui dilema. Di satu sisi, mereka harus menjunjung tinggi azas kebebasan menjalankan agama. Namun, di sisi lain, ada keinginan untuk memelihara stabilitas dan keamanan nasional.

Negara Tajikistan, secara langsung atau tidak, kini bergantung pada negara-negara asal para misionaris itu. Sehingga, meski ada 'payung' hukum yang melarang penyebaran agama pada masyarakat yang sudah beragama, gerakan misionaris ini tetap tak tersentuh.

Biasanya pada waktu malam, orang-orang dari kelompok itu tanpa basa-basi menempelkan selebaran dan poster di sekeliling kota. Masyarakat tidak bisa melarang 'aktvitas keagamaan' mereka itu. "Namun diharapkan semenjak masalah ini telah dibahas di tingkat yang lebih tinggi, mudah-mudahan dapat diperoleh solusi terbaik bagi pemecahannya," ujarnya lagi.

Ghirah tinggi saat perang sipil

Menurut Abdullo Hakim Rahnamo, sebetulnya usai pertikaian sipil 1990, umat Islam mempunyai 'modal' untuk berkembang lebih baik. Saat itu, umat sangat solid dan tumbuh pesat.

Indikator terbaik untuk mengetahui bagaimana Islam telah bertumbuh pesat di negara itu adalah keterkaitan kaum muda dengan agama mereka. Rahnamo melihat, pada antara tahun 1980 sampai 1990-an, ghirah (semangat keagamaan) kaum muda yang berada di kota Dushanbe, Khojand, dan Kurgan Tyube terhadap syiar Islam, amatlah tinggi.

"Sebelum perang sipil meletus, kami sudah merasakan bahwa terhadap keterkaitan erat antara para pemuda dan Islam. Mereka sangat bersemangat menggali nilai-nilai keislaman dalam kegiatan pengajian yang kerap mengundang tokoh agama untuk memberikan ceramah," ujarnya.

Akan tetapi, Rahnamo justru menilai, jika dibandingkan periode tadi dengan sekarang awal abad ke-21, perhatian kaum muda pada agama sudah berkurang. Ada tiga faktor ditengarai menjadi penyebab.

Selanjutnya...

Faktor Penyebab Berkurangnya Minat Terhadap Agama

Pertama, selama perang sipil 1990, orang Islam terlibat dalam konflik bersenjata. Ini jelas membawa efek negatif secara psikologis. Faktor kedua, kondisi sosial perekonomian saat ini yang kurang menggembirakan. Masyarakat pada akhirnya akan lebih berkonsentrasi pada cara-cara agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan mengakibatkan agama sedikit terabaikan.

Adapun faktor ketiga berhubungan dengan peran para tokoh dan cendekiawan Muslim. "Ketika umat tidak memiliki cendekiawan Muslim dan tokoh berpendidikan yang memahami perkembangan modern, maka akan sulitlah untuk memenuhi harapan kaum muda yang selalu ingin mengembangkan pemikiran keagamaan mereka," tutur Rahnamo.

Meski begitu, bukan berarti pengajaran agama Islam di Tajikistan lantas meredup sama sekali. Berdasarkan hasil penelitiannya, Rahnamo melihat fenomena tumbuhnya pusat-pusat pembelajaran agama di beberapa wilayah. Misalnya, di kawasan utara Tajikistan, tepatnya di Kota Isfara. Demikian pula dengan Mastchah.

Sementara di tenggara, yakni kota Duchanbe, Kofarnikhon (Vahdat), Qarotegin, Fayzabad. Di selatan adalah kota Kulyab dan Kurgan-Tyube. Sebagian besar pusat-pusat pengajaran tersebut dilaksanakan secara tradisional.

Sejarah Ringkas Islam di Tajikistan

Islam memiliki sejarah panjang di kawasan Asia Tengah, termasuk Tajikistan. Agama yang disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW ini telah hadir di Tajikistan sejak abad ketujuh melalui syiar yang dilakukan para pedagang Arab.

Pada 2021, Tajikistan memiliki populasi sebanyak lebih dari 9,7 juta jiwa. Menurut Pew Research Center, sekira 98 persen penduduk setempat adalah Muslim. Dari jumlah itu, nyaris seluruhnya berhaluan Sunni.

Meski berbeda aliran, antara penganut Sunni dan Syiah tidak pernah terjadi pertentangan. Keduanya hidup berdampingan secara damai serta kerap mengadakan kegiatan keagamaan bersama.

Tercatat, ada sekitar tiga ribu unit masjid di seantero Tajikistan. Jumlah ini belum terhitung dari masjid yang dikelola oleh muslim Syiah.

Perkembangan Islam di Tajikistan pun mengalami pasang surut. Masa paling suram terjadi selama hampir 70 tahun ketika rezim komunis Uni Soviet menguasai sebagian besar wilayah Asia Tengah, termasuk Tajikistan.

Kampanye anti-agama mengemuka dari tahun 1920 hingga akhir 1930-an sebagai bagian propaganda komunisme secara keseluruhan. Saat itu, ribuan pemuka Muslim terbunuh dan kehidupan beragama diawasi dengan ketat oleh pemerintah.

Namun setelah invasi Jerman ke Uni Soviet tahun 1941, kebijakan terhadap Islam menjadi lebih moderat. Salah satu perubahan itu yakni diaktifkannya lagi Dewan Muslim Asia Tengah setelah lembaga ini sebelumnya dibekukan oleh Kremlin. Pada awal tahun 60-an, rezim Nikita Khrushchev kembali meningkatkan eskalasi propaganda anti Islam.

Hal itu kemudian berlanjut hingga tahun 1970-an dan 1980-an. Para pemimpin Kremlin silih berganti menyerukan perlunya pembaruan upaya untuk memerangi agama, khususnya Islam. Upaya tersebut meliputi: pengalihan fungsi masjid guna keperluan sekular, pemaksaan untuk meninggalkan identitas, tradisi dan cara pandang Islam, dan peningkatan propaganda bahwa Islam adalah agama terbelakang.

Serangan bersenjata terhadap umat Islam mulai merebak tahun 1979 seiring kampanye militer Soviet ke Afganistan serta munculnya gerakan perlawanan di sejumlah negara Asia Tengah. Konflik terus berlanjut hingga setelah runtuhnya rezim komunis Soviet.

Akhir tahun 1989, rezim Gorbachev berusaha meningkatkan toleransi antar-umat beragama. Kebijakan ini kontan disambut gembira oleh umat agama-agama. Kegiatan religius pun meningkat. Sejumlah masjid baru dibuka. Para juru dakwah dapat memulai lagi aktivitasnya dan mulai menyebar ke seantero negeri.

 

sumber : Pusat Data Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler