Pendidikan Rendah Jadi Tantangan Edukasi Stunting ke Masyarakat

Stunting akan menghambat kesehatan generasi muda Indonesia.

Dok Republika
Polres Indramayu menggelar program Gerakan Orang Tua Asuh Anak Stunting, di Desa Sleman, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu, Kamis (20/6/2024).
Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkapkan faktor pendidikan rendah menjadi salah satu tantangan dalam mengedukasi masyarakat soal stunting atau tengkes.

Baca Juga


Deputi Bidang Advokasi, Penggerakan dan Informasi (ADPIN) BKKBN, Sukaryo Teguh Santoso mengakui bahwa tidak mudah bagi pihaknya untuk memberikan edukasi mengenai stunting kepada masyarakat.

"Memang harus diakui tidak mudah ya mengedukasi mencerdaskan masyarakat tidak mudah ya," kata Sukaryo saat ditemui di Semarang, Jawa Tengah, Selasa.

Ia mengatakan ada beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam memberikan edukasi tersebut, salah satunya faktor pendidikan.

"Pertama tingkat pendidikan saat ini juga masih relatif rendah. Daya serap keluarga ini tentu tidak secepat yang pendidikan tinggi," katanya.

Menurut Sukaryo, banyak yang beranggapan jika anak yang mengalami stunting tersebut memiliki tubuh yang pendek.

"Berbicara isu stunting ini harus didalami betul. Orang mengenal stunting itu pendek, padahal tidak semua pendek itu stunting. Ada yang mengatakan stunting penyakit. Itu penyakit sehingga tak perlu diobati," imbuhnya.

Sukaryo menegaskan bahwa stunting bukan berasal dari turunan melainkan faktor makanan hingga lingkungan.

"Stunting itu bukan turunan stunting itu memang lebih pada tataran bagaimana pengasuhan yang baik dan faktornya tidak hanya makanan saja tapi juga lingkungan," tuturnya.

Menurut Sukaryo, dengan karakter masyarakat yang demikian, masalah stunting perlu disosialisasikan secara sabar.

"Jadi mesti banyak-banyak sabar dalam sosialisasinya," katanyaa.

Lebih lanjut, Sukaryo menyebut bahwa program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu program spesifik dari BKKBN dalam upaya penurunan angka stunting.

"Makanya masih perlu upaya kerja keras, misalnya lewat peningkatan kesertaan KB untuk tunda atau menjarangkan kelahiran di keluarga yang berisiko stunting dengan pelayanan KB pascapersalinan (KBPP)," kata Sukaryo.

Metode KBPP, kata dia, langsung digunakan sesaat setelah ibu bersalin, sehingga menjadi upaya untuk menyikapi kesempatan yang hilang dalam pelayanan KB.

Adapun berdasarkan survei Sistem Kesehatan Indonesia (SKI), angka stunting di Indonesia pada tahun 2023 tercatat sebesar 21,5 persen, hanya turun 0,1 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar 21,6 persen. Target yang harus dicapai pada tahun 2024 adalah 14 persen.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler