Akademisi: Politik Identitas Meredup dalam Pilpres 2024

Mengapa politik identitas meredup dalam Pemilu 2024, dan apa implikasinya?

dok ist
Rektor Universitas Paramadina Prof Didik J Rachbini (tengah, berbatik merah) dalam diskusi Islam dan demokrasi. Turut hadir antara lain, Prof Eunsook Jung dari University of Wisconsin.
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah akademisi mengulas kondisi demokrasi di Indonesia pasca-Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dalam diskusi yang diadakan Universitas Paramadina, kemarin. Dalam pengantarnya, Rektor Universitas Paramadina Prof Didik J Rachbini mengatakan, Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih akan menampilkan watak pemerintahan yang lebih nasionalis, baik dari sektor ekonomi maupun politik.

Baca Juga


Lebih lanjut, direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) periode 1995-2000 itu mengungkapkan, kemenangan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming dalam Pilpres 2024 juga menunjukkan pelbagai fenomena. Di antaranya adalah kondisi populisme Islam dan politik identitas yang berbeda daripada pilpres sebelumnya.

Menanggapi hal itu, Prof Eunsook Jung PhD mengaitkan Pilpres 2024 dengan peta politik Indonesia, setidaknya sejak Pemilihan Umum (Pemilu) 1955 sebagai pesta demokrasi pertama di republik ini. Menurut akademisi University of Wisconsin itu, peran Islam dalam politik telah mengalami perubahan, yakni sejak Pemilu 1999 yang merupakan pemilu demokratis kedua sesudah Pemilu 1955.

Pola-pola yang ada menunjukkan kemiripan. Misalnya, peningkatan dalam populisme Islam atau yang dikenal sebagai politik identitas.

Eunsook Jung mengatakan, pada Pemilu 2019 kecenderungan politik identitas lebih kuat dibandingkan dengan Pemilu 2014. Saat melakukan kampanye pada 2013, lanjutnya, seorang kandidat mendukung gagasan bahwa negara harus menjamin kemurnian ajaran agama dari segala bentuk penyelewengan.

Adapun pada Pemilu 2019, polarisasi semakin meningkat dengan pembagian antara kubu yang mendukung populisme Islam dan yang anti-populisme Islam. “Kandidat presiden kala itu menunjukkan kecenderungan populis Islam yang kuat, sementara lawannya lebih pluralis dan anti-populis Islam” kata Eunsook Jung menjelaskan dalam diskusi bertema “Islam dan Demokrasi" yang digelar di Ruang Granada, kampus Universitas Paramadina, Jakarta, Selasa (25/6/2024).

Diskusi publik bertajuk Islam dan Demokrasi. - (dok universitas paramadina)

Sebaliknya, Pemilu atau Pilpres 2024 menyaksikan turunnya narasi populisme Islam dan politik identitas. Seluruh kontestan cenderung mengampanyekan program-program yang akan mereka jalankan, alih-alih menyuarakan posisi ideologis dirinya.

“Situasi berubah pada Pemilu 2024, di mana populisme Islam dan politik identitas tampak berkurang. Semua kandidat, termasuk yang paling Islamis, tidak lagi menekankan posisi ideologis mereka, melainkan fokus pada kebijakan yang lebih umum” tambah Jung.

Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa populisme Islam absen dalam Pemilu 2024? Apa saja implikasinya bagi masa depan? Menurut Jung, beberapa pihak menyebut fenomena ini sebagai akibat dari represi negara. Hal itu dikaitkan dengan contoh seorang ulama yang ditetapkan sebagai tersangka pada 2017, tetapi kemudian yang bersangkutan pergi ke Arab Saudi hingga November 2020.

Ada juga pandangan yang mengaitkan fenomena meredupnya populisme Islam dan politik identitas pada 2024 ini sebagai hasil dari kampanye anti-radikalisasi. Pemerintah dinilai sukses dalam melawan radikalisme.

 

Politik kian transaksional ....

 

Jung memandang, transaksi di tingkat elite politik meningkat pada Pemilu 2024. Mereka cenderung mengesampingkan perbedaan-perbedaan ideologis demi aliansi baru antara elite nasionalis dan religius.

Sementara itu, negara tidak memiliki kekuatan pemersatu Islam. Alhasil, kelompok Islam lebih berfokus pada membangun kekuatan akar rumput daripada keterlibatan politik langsung.

“Selain itu, tidak ada isu yang memecah belah terkait Islam dalam pemilu ini meskipun ada protes terkait Palestina. Faktor-faktor ini menjelaskan mengapa populisme Islam absen dalam pemilu kali ini,” papar Jung.

Banyak yang berpendapat bahwa kandidat bergerak ke tengah untuk menarik pemilih yang lebih luas. Namun, apakah mereka akan tetap di tengah, mengingat sejarah dan pragmatisme politik mereka.

“Meskipun ada kemunduran demokrasi, Indonesia masih dianggap sebagai demokrasi terbaik di Asia Tenggara. Dengan masyarakat sipil yang kuat dan lembaga pendidikan yang penting, demokrasi Indonesia masih memiliki potensi untuk tetap kokoh” tegasnya.

Dosen Universitas Paramadina Dr Sunaryo mengatakan, runtuhnya Orde Baru pada 1998 membuka harapan bagi demokratisasi di Indonesia. Setidaknya, ada tiga hal yang menjadi cita-cita, yakni politik yang lebih terbuka, penguatan gerakan-gerakan masyarakat madani (civil society), dan terciptanya pemerintahan yang baik (good governance).

Pada periode 1999-2004, menurut Sunaryo, Indonesia sudah menikmati keterbukaan politik. Namun, belakangan demokrasi dan politik mengalami kemunduran.

"Sistem politik yang terbuka ternyata tidak melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang diharapkan atau yang terbaik dengan prinsip meritokrasi. Sistem ini diokupasi oleh para kaum pemodal yang bisa membeli suara," kata Sunaryo.

Ambang batas parlemen (parlementary threshold) tidak selalu berjalan mulus. Ada situasi dimana rakyat semakin gamang untuk tetap seperti itu dalam konsekuensi.

Sementara itu, gerakan-gerakan civil society atau lembaga swadaya masyarakat (NGOs) terus mengalami pelemahan. Untuk mendapatkan donor dari pihak penyandang dana (funding), mereka harus mendapatkan persetujuan dari kementerian. Artinya, mereka mesti sejalan dengan pemerintah.

“Sehingga, di sini menjadi EO (event organizer) dan menjalankan proyek dari pemerintah, dan sangat sedikit untuk bertahan” tegasnya.

Alhasil, dari ketiga cita-cita demokratisasi di Indonesia pasca-Orde Baru, "hanya" tersisa harapan pada penguatan good governance. Sayangnya, yang disebut itu pun kini mengalami keterpurukan. Indikasinya antara lain adalah masih tingginya persepsi korupsi di Indonesia. Bukan hanya trik-trik korupsi yang kian canggih, wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun semakin dikurangi.

“Demokrasi sudah selesai dalam konteks tersebut sehingga penguatan good governance juga sangat penting, di saat good governance juga mengalami keterpurukan," kata Sunaryo.

 

Ormas Islam cenderung jadi stempel penguasa ....

 

Dalam merespons keadaan demokrasi dan perpolitikan yang runyam, Sunaryo melihat, sikap dan perilaku masyarakat sipil Muslim dengan organisasi-organisasi masyarakat (ormas) Islam justru menciptakan ironi. Ormas Islam yang ada cenderung menjadi alat stempel negara dan tidak peduli dengan keadaan yang terjadi.

Perannya tidak cukup mampu untuk menjaga demokrasi agar tetap tegak berdiri di Indonesia. Padahal, ormas Islam seharusnya memosisikan diri sebagai masyarakat sipil yang menjaga prinsip kemasuk-akalan (reasonableness) dalam demokrasi.

“Kegagalan ini bukan sepenuhnya kesalahan organisasi sipil Islam. Masalah utama adalah, negara tidak memiliki komitmen kuat membangun sistem kehidupan yang demokratis” ujarnya.

Satu soal yang patut menjadi perhatian adalah maraknya relasi patron-client dalam perpolitikan. Yang terjadi kemudian adalah fenomena "siapa yang kasih apa." Ini berlangsung merata, mulai dari level DPRD hingga DPR-RI.

“Negara secara sengaja memapankan relasi patron-client dalam masyarakat sehingga proses emansipasi tidak berjalan” tegasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler