Jangan Khawatir untuk Mengirim Anak Kuliah di Al-Azhar Mesir

Al Azhar Mesir masih menjadi destinasi favorit belajar

Suasana Masjid Al-Azhar yang terletak di kawasan Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir.
Red: Nashih Nashrullah

Oleh : Usman Syihab, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Kairo 2016-2020

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA— Menyusul tersebarnya YouTube dan pemberitaan masif oleh salah satu media tentang studi di Al-Azhar Mesir dan kondisi kehidupan mahasiswa Indonesia di sana, saya ingin cerita tentang hal yang sama tapi dari sudut pandang yang berbeda.

Selama bertugas sebagai Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) KBRI Kairo dari 2016 sampai 2020, saya menjumpai mahasiswa Indonesia yang belajar di Universitas Al-Azhar Mesir termasuk mereka yang rajin dalam mengikuti perkuliahan di kampus dan rajin mengaji kitab di Jami`(Masjid) Al-Azhar, juga talaqi (sorogan) di berbagai majlis dan dari para masyayikh di Kota Kairo, bahkan di luar Kota Kairo.

Untuk mahasiswi kita yang putri (banat) relatif rajin-rajin masuk kuliah, lebih rajin dibanding dengan yang putra (banin). Beberapa kali saya mengecek keadaan mereka di fakultas, di kampus Nasr City dan kampus Darrasah, juga dengan mengecek ke beberapa mahasiswa yang ada di kos-kosan atau asrama Buus (asrama yang disediakan Al-Azhar) atau di rumah sekretariat kekeluargaan mereka, baik secara langsung maupun melalui telepon.

Saya selalu menasihati mereka baik dalam forum resmi maupun di luar forum resmi agar mereka rajin belajar dan dapat menyelesaikan studi dengan tepat waktu dan dengan nilai yang membanggakan. Baik yang putri maupun yang putra memang ada yang ketepatan malas, jarang masuk kuliah, tapi dari yang malas kuliah itu pun saya dapati ternyata banyak juga yang dapat naik tingkat dengan baik.

Di antara perbaikan

Al-Azhar sudah beberapa kali membuat kebijakan untuk meningkatkan kedisiplinan mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan dan untuk memastikan mahasiswa dapat tamat tepat waktu.

Antara lain, dulu mahasiswa diperbolehkan untuk “tahwil”, pindah jurusan dengan mudah, sehingga ketika tidak lulus dua tahun dan akan di-DO mereka bisa pindah ke jurusan lain, yang dengan demikian mereka dapat bertahan lama studi di Al-Azhar.

Satu tahun saya di sana larangan pindah jurusan sudah diberlakukan sehingga mahasiswa harus berusaha menyelesaikan studi dengan tepat waktu. Pernah ada edaran peringatan yang akan men-DO beberapa puluh mahasiswa S-2 dan S-3 kita, karena sudah melampaui batas maksimal masa studi, saya berusaha membantu meraka bernegosiasi dengan Wakil Rektor Akademik agar dapat memberikan masa tambahan sesuai dengan tingkat draf tesis/desertasi yang telah diselesaikan, dan alhamdulillah hampir semua mahasiswa yang akan di-DO itu dapat menyelesaikan tesis dan disertasi mereka dan lulus dalam waktu yang lebih cepat dari batas waktu yang diberikan.

Kebijakan Al-Azhar mendirikan Markaz Lughah Syaikh Zaid (Pusat Bahasa) di tahun 2010 dan mengharuskan setiap calon mahasiswa S-1 Al-Azhar non-Arab masuk Markaz Lughah dan lulus pada level kompetensi bahasa Arab tertentu sebelum dapat resmi masuk jenjang perkuliahan juga merupakan kebijakan yang sangat penting, yang membantu banyak mahasiswa asing dalam meningkatkan kemapuan dasar bahasa Arab dan yang dengan demikian mampu mengikuti perkuliahan dengan lebih baik.

Mereka rajin kuliah dan berhasil

Baca Juga


Dengan tingkat kesulitan bahasa dan materi kuliah serta miliu pembelajaran yang menantang, dalam ujian akhir/kenaikan di Al-Azhar, prestasi mahasiswa kita masih cukup bisa kita banggakan.

Dari data yang kita peroleh dari laporan ketua-ketua senat mahasiswa Indonesia di masing-masing fakultas untuk hasil ujian akhir/ kenaikan jenjang S-1 2019 menunjukkan bahwa dari 3.514 mahasiswa yang mengikuti ujian kenaikan, sebanyak 2.699 (77 persen) sukses lulus/naik kelas, dan sebanyak 815 (23 persen) tidak lulus/tidak naik.

Tingkat kelulusan/naik kelas mahasiwi (putri) lebih tinggi sebanyak 84.7 persen (899) dibanding putra sebanyak 73 persen (1.800). Jumlah itu di luar mahasiswa kita yang di Ma'had Azhar (MTs/MA), Dirassah Khassah (kelas khusus), Markaz Lughah, juga di luar yang S-2 dan S-3.

Kita juga bersyukur sering menyaksikan atau mendengar mahasiswa S-2 atau S-3 kita yang lulus dalam munaqasah atau ujian terbuka mempertahankan tesis/disertasi mereka, yang jarang terjadi pada mahasiswa dari negara lain.

Selain kuliah di kampus, mahasiswa Indonesia adalah mahasiswa yang rajin mengaji atau talaqi kitab tertentu pada majlis/masjid atau syaikh tertentu di Mesir. Ketika ada kekhawatiran terhadap beberapa masyayikh/tempat ngaji memiliki hubungan dengan Ikhwanul Muslimin, yang dilarang pemerintah Mesir, pada pertengahan 2017 Al-Azhar membuka besar-besaran majelis-majelis ngaji di Jami` Al-Azhar bagi mahasiswa yang ingin mengaji secara tradisional.

Saya mendatangi Syaikh yang juga seorang profesor penanggungjawab program tersebut, dan minta agar program itu dapat menampung sebanyak mungkin mahasiswa asal Indonesia. Alhamdulillah anak-anak kita banyak yang belajar ngaji kitab di Jami` Al-Azhar tersebut. Demikian tradisi menuntut ilmu di Al-Azhar yang sejak dulu menggabungkan dua sumber; aljamiah (universitas) dan aljami` (masjid), yang mengajarkan Islam dalam perspektif yang moderat dan terbuka.

Untuk mengatasi kesulitan memahami mata kuliah, diantara mahasiswa kita juga membuat kelompok-kelompok studi dan mendatangkan kakak kelas yang berprestasi untuk membimbing adik kelas mata kuliah tertentu yang dianggap sulit.

Mahasiswa kita juga banyak yang menjadi pengajar bagi mahasiswa asing lainnya khususnya yang datang dari Asia Tenggara seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand dan Filipina, baik mengajar kitab turas tertentu, maupun mengajar atau membimbing baberapa mata kuliah yang dianggap sulit.

Sambil belajar wirausaha
Sebelum bertugas sebagai Atdikbud (Atase Pendidikan dan Kebudayaan), dulu di tahun 1988-1992 saya juga kuliah di Al-Azhar di Fakultas Usuluddin jurusan Akidah dan Filsafat. Dulu, pada liburan musim panas saya sering keluyuran untuk mencari kerja, karena saya tidak dapat beasiswa juga tidak mungkin dapat kiriman dari kampung. Saya harus kerja untuk mampu hidup.

Saya kerja cari duit di Makkah saat musim haji, juga cari duit sampai ke Jerman dan Belanda. Sering tidak masuk kuliah karena alasan itu. Tapi alhamdulillah atas kehendak Allah SWT, saya dapat belajar cepat pada waktu yang sempit, dan dapat lulus setiap tahun, dan bahkan menjadi mahasiswa lulusan terbaik dalam jurusan itu secara nasional dan dimuat dalam sebuah koran nasional Mesir.

Pada zaman saya kuliah, tidak ada mahasiswa yang buka rumah makan untuk mencari duit biaya hidup di rantau, hanya ada yang membuat tempe waktu itu. Tidak seperti yang terjadi 23 tahun berikutnya, saat saya bertugas di Mesir, di mana mahasiswa banyak yang buka usaha kuliner, dan hari ini jumlah itu bertambah banyak.

Menurut saya mereka yang mampu membuka rumah makan adalah orang-orang yang cerdas dan kreatif, memiliki jiwa intrepreneurship/kewirausahaan yang tidak semua orang mampu.

Mereka mampu menghidupi dirinya, untuk beaya hidup selama kuliah, memberi penghasilan kawan yang bekerja dan membantu mahasiswa lain untuk dapat menikamati makanan kampungnya di negeri orang.

Selain usaha kuliner....

Selain usaha kuliner, ada juga yang mencari kerja di Mesir dengan memberi jasa sebagai pemandu wisata, juga sebagai pembimbing umroh atau haji di Makkah. Semua adalah usaha sampingan yang positif, sambil belajar wirausaha, terutama bagi mereka yang tidak memiliki beasiswa atau pendanaan dari keluarga, untuk memenuhi tuntutan hidup selama masa studi yang merupakan tugas utama. 

Berperan positif untuk Indonesia

Kawan-kawan periode saya kuliah sudah balik ke Indonesia, hanya tinggal dua yang sampai hari ini masih bekerja sebagai staf lokal di KBRI. Semuanya sukses ketika kembali di tanah air dengan tugas dan peran masing-masing.

Ada yang menjadi guru di pesantren dan madrasah, dosen, dai, kiyai, penerjemah, anggota DPR, wartawan, pegawai Kementerian Agama dan Kemendikbudristek, bos travel, ketua dan pengurus berbagai ormas Islam, anggota MUI, menjadi rektor, dewan pengawas bank syariah, bahkan ada yang kerja di BIN dan lainnya.

Bahkan saya jadi ingat, ada kawan saya yang saat di Kairo sering begadang, ngerokok, nongkrong main gitar, suka tampil dalam pentas musik, entah berapa kali sempat masuk kuliah, dia akhirnya lulus dengan gelar Lc, dan setelah pulang kampung di Jawa Barat, ternyata dia menjadi seorang kiyai yang warak yang disegani di masyarakatnya, yang meninggal beberapa tahun lalu (Allah yarhamhu).

Mahasiswa yang hari ini membuka warung makan di Kairo mungkin kelak di Indonesia, selain menjadi guru atau ulama ia juga bisa menjadi pengusaha dengan pengalaman dan keterampilan kuliner yang dimiliki.

Dari masa ke masa, alumni Al-Azhar Mesir dengan peranan masing-masing telah menyumbangkan khidmat mereka secara positif dan maksimal untuk bangsa dan negara.

Hari ini umpamanya saya punya WA grup “Dosen Alumni Al-Azhar”, dengan anggota sebanyak 318 dosen, banyak mereka yang bergelar GB (Guru Besar), mereka berkiprah di berbagai perguran tinggi di tanah air. Ya, kita hidup melalui proses, pengalaman akademik dan non akademik yang kemudian mengajari kita. Pengalaman di Al-Azhar atau di Mesir adalah salah satunya.

Peran pemangku kepentingan

Sekian banyak mahasiswa Indonesia, yang terkonsentrasi dalam satu wilayah, di kota Kairo, tentu tidak bisa kita mungkiri ada diantara mereka yang kemudian terlibat perkelaihan, ada juga pacaran yang keterlaluan, ada juga yang melakukan asusila, dan sering mbolos tidak ke kampus.

Kasus-kasus yang tidak kita inginkan seperti itu terjadi di banyak tempat. Tidak saja terjadi di lingkungan mahasiswa Indonesia di Kairo, tapi juga di negara-negara lain di mana mahasiswa Indonesia banyak, juga di kampus-kampus atau lembaga-lembaga pendidikan di Tanah Air.

Tentunya, lembaga-lembaga yang bertanggungjawab, di mana kasus-kasus seperti itu terjadi, sudah melakukan pencegahan dan penanganan sebaik mungkin. Demikian juga yang terjadi di Mesir, di sana ada organisasi kekeluargaan, organisasi almamater, organisasi afiliasi seperti PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) dan PCINU (Pimpinan Cabang Istimewa NU), dan tentunya PPMI (Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia) sebagai organisasi induk mahasiswa.

Semua organisasi ini sudah melakukan peranannya, bersama dengan para senior yang ada di masing-masing organisasi, melakukan pembinaan dan memberikan nasihat untuk warganya. Bahkan pengurus PPMI bersama dengan para ketua organisasi kekeluargaan dengan supervisi dari KBRI juga membuat kesepakatan mekanisme dan peraturan dan memberikan sanksi terhadap mereka yang dianggap melanggar yang telah disepakati, terutama yang terkait dengan moral.

Demikian juga KBRI sudah berusaha mengayomi para mahasiswa Indonesia yang ada di sana dan memberikan pembinaan secara maksimal baik dalam akademik maupun non akademik.

Yang kita harapkan dan yang terpenting untuk mahasiswa kita di Kairo adalah bagaimana semua pihak pemangku kepentingan dan mitra tersebut, juga OIAAI (Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar Indonesia), juga para mediator yang ikut memberangkatkan mahasiswa ke Mesir dapat terus saling membantu dalam melakukan pembinaan, pencegahan dari terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan dan penanganan persoalan yang mereka hadapi.

Memperbaiki mekanisme masuk
Waktu saya masuk Al-Azhar tiga puluhan tahun lalu, tepatnya di tahun 1988, ada dua jalur untuk masuk progam S-1 Al-Azhar, pertama dengan beasiswa yang diberikan oleh Al-Azhar melalui Departemen Agama (sekarang Kemenag/Kementerian Agama), yang kedua melalui jalur mandiri atau terjun langsung tanpa beasiswa.

Untuk kedua jalur ini Al-Azhar mensyaratkan ijazah yang telah diakui oleh Al-Azhar, yang waktu itu terdiri dari dua jenis, yaitu ijazah Madrasah Aliyah Negeri (MAN) dari semua sekolah di Indonesia, dan ijazah pesantren yang tidak memilki ijazah MAN tapi telah memperoleh pengakuan/muadalah dari Al-Azhar.

Bagi mereka yang tidak memiliki kedua jenis tersebut, dapat masuk melalui jalur Ma’had Al-Azhar, yaitu masuk ke tingkat sekolah menengah (MTs/MA) dengan tes yang menentukan kelas mereka. Hanya saja jalur ini sangat terbatas dan tidak ada kepastian seseorang itu dapat diterima atau tidak.

Ketika saya datang, bertugas di Mesir pada 2016, sudah ada perubahan proses penerimaan mahasiswa asal Indonesia di Al-Azhar. Perubahan tersebut atas dasar kesepakatan kerja sama antara Al-Azhar dan Kementerian Agama yang ditandatangani pada tahun 2012 di mana calon mahasiswa asal Indonesia yang akan masuk program S-1 Al-Azhar harus melalui ujian masuk yang diselenggarakan oleh Kemenag.

Kedutaan Mesir, Pondok Modern Gontor kemudian PBNU yang memperoleh beasiswa khusus melakukan seleksi secara mandiri. Atas kebijakan tersebut KBRI Kairo hanya bisa memberikan surat rekomendasi masuk S-1 ke Al-Azhar bagi mereka yang dinyatakan lulus ujian nasional dan seleksi beasiswa khusus tersebut.

Bagi mereka...

Bagi mereka yang telah lulus ujian seleksi ke Kairo sesuai dengan kebijakan baru Al-Azhar masih harus tes kemampuan bahasa Arab di Markaz Lughah, di mana mereka ada yang lulus dan langsung masuk perkuliahan dan sebagian mereka masih harus duduk menyelesaikan beberapa level di Markaz Lughah.

Persoalan yang kita hadapi masa itu adalah, persoalan mereka yang tidak lulus ujian seleksi atau mereka yang tidak mengikuti ujian seleksi tapi terus memaksakan diri lanjut ke Mesir. Beberapa mediator memberikan jalan kepada mereka untuk masuk Al-Azhar melalui jalur Ma’had, jenjang menengah (MTs dan MA), yang jika mereka lulus Ma’had mereka dapat langsung diterima di jenjang S-1. Mereka berangsur-angsur datang kemudian berbondong-bondong dan daftar atau didaftarkan oleh mediator mereka masuk Ma’had.

Padahal mereka belum tentu diterima, karena penerimaan di Ma’had Al-Azhar sangat terbatas. Mereka tetap memaksakan diri untuk tetap tinggal di Kairo meskipun tidak diterima dan menunggu penerimaan pada tahun ajaran berikutnya.

Mereka tidak memiliki izin tinggal, masa berlaku visa masuk mereka hanya untuk satu bulan. Mereka di sana tidak belajar dan tidak mau pulang. Mereka sudah membayar mahal dan ada yang terlalu mahal kepada mediator.

Mereka juga dijanjikan akan dapat belajar di Al-Azhar padahal tidak. Beberapa kali kami dari KBRI melakukan pertemuan dengan mediator mereka untuk mencari jalan penyelesaian persoalan mereka, bahkan pernah berkoordinasi dengan Kemenag dan kepolisian di Indonesia untuk mencegah pemberangkatan yang dilakukan oleh mediator tertentu.

Setelah periode saya, pasca Covid-19 pada 2021, Al-Azhar mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan calon mahasiswa dari Indonesia langsung masuk Al-Azhar jenjang S-1 tanpa melalui tes seleksi dengan syarat memiliki ijazah muadalah.

Beberapa pesantren yang tergabung dalam forum pesantren muadalah memproses muadalah tersebut. Lulusan pesantren yang telah memperoleh muadalah tersebut dapat masuk ke Al-Azhar. Mereka dianggap memiliki kemahiran bahasa, keilmuan dan syarat lain yang memungkinkan masuk dan mengikuti perkuliahan.

Sejak itu terdapat dua jalur resmi masuk Al-Azhar yaitu jalur tes seleksi yang diselenggarakan oleh Kemenag dan jalur muadalah yang mekanismenya diatur oleh forum pesantren muadalah.

Modus pengiriman calon mahasiswa Al-Azahar jalur “Ma’had” terus berlangsung hingga saat ini. Modus inilah yang menurut saya banyak menimbukan persoalan. Dulu, sampai sampai masa-masa saya bertugas, tepatnya sebelum peristiwa Covid-19 untuk masuk Ma’had Al-Azhar sangat sulit, karena sangat terbatas dan tidak pasti, sehingga banyak calon mahasiswa yang terlantar dan diterlantarkan oleh mediator.

Setelah ada Markaz Tatwir, sebuah lembaga pengembangan mahasiswa asing, tepatnya masa-masa setelah peristwa Covid-19, Al-Azhar, melalui Markaz Tatwir tersebut, memberikan kemudahan dan peluang yang luas bagi mahasiswa asing untuk masuk.

Para mediator memanfaatkan peluang itu dengan leluasa. Mereka mengumumkan dan promosi di berbagai medsos bahwa mereka dapat memastikan dapat memabawa calon mahasiswa masuk Al-Azhar jalur Ma’had. Terjadilah pembengkakan yang berlebihan mereka yang datang ke Kairo melalui jalur tersbut tanpa melalui proses seleksi kompetensi yang seharusnya.

Selain itu banyak dari mereka yang sudah berada di Mesir jauh sebelum masa penerimaan, sehingga banyak mereka yang tidak memiliki izin tinggal yang cukup, karena banyak di antara mereka yang menggunakan visa kunjungan yang hanya berlaku selama satu bulan.

Modus ini yang harus mendapatkan perhatian. Perlu dilakukan kesepakatan antara pemerintah Indonesia/Kemenag dengan Al-Azhar untuk mencari penyelesaian persoalan calon mahasiswa Indonesia dengan modus ‘Jalur Ma’had’.

Perlu kesepakatan antara kedua pihak untuk menata ulang, diantaranya tentang perlunya proses seleksi dokumen atau dengan tes sebelum keberangkatan, dan memastikan bahwa yang boleh berangkat ‘Jalur Ma’had’ hanya mereka yang dinyakan diterima oleh Al-Azhar.

Di pihak Indonesia sendiri, para pihak yang memiliki tanggung jawab khususnya Kemlu, Kemenag, KBRI, PPMI dan OIAAI harus selalu melakukan koordinasi dalam proses seleksi dan pembinaan mahasiswa.

Kemenag atau bersama pihak-pihak tersebut juga perlu membuat ketentuan harga maksimal biaya memproses dan memberangkatkan mahasiswa, menekankan kewajiban mediator untuk terus mengawal dan membina mahasiswa yang diberangkatkan, atau mentukan syarat-syarat lain yang harus ditaati oleh mediator dan jika dilanggar mereka diberi sanksi.

Tidak perlu risau

Wakil Grand Syaikh Al-Azhar Mesir Prof Dr Muhammad Abdul Rahman Ad-Duwainy, dalam acara silaturahim dan jamuan makan malam yang diselenggarakan oleh yayasan ASFA di Jakarta Senin malam (24/6/2024) lalu, menyatakan bahwa “15 ribu mahasiswa Indonesia yang ada sekarang tidak merisaukan Al-Azhar. Al-Azhar masih bersedia menerima lebih dari itu”.

Demikian Al-Azhar dalam sejarahnya memang terus terbuka untuk semua yang ingin belajar Islam, dari seluruh dunia. Ia ingin mengajarkan Islam dan sikap keberagamaan yang moderat dan terbuka untuk dunia, termasuk untuk umat Islam Indonesia.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Wakil Grand Syaikh Al-Azhar tersebut, kalau mereka yang 15 ribu mahasiswa itu benar-benar terdaftar sebagai mahasiswa di Al-Azhar tidak perlu dirisaukan, masalah ada di antara mereka yang nakal dan “tidak baik” justru menjadi tantangan bagi semua pihak pemangku kepentingan untuk berperan lebih aktif dalam mendukung proses berlajar mereka dan memberikan pembinaan dan pengayoman yang lebih maksimal.

Bagi orang tua dengan demikian tidak perlu khawatir untuk mengirim putra-putri mereka ke Al-Azhar Mesir, dengan memastikan mereka melalui jalur resmi dan dengan terus ikut mengawal proses belajar mereka setiap saat walaupun secara jarak jauh.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler