Dugaan Penyiksaan oleh Polisi di Sejumlah Kasus, Bagaimana Pandangan Islam?

Polisi menegaskan tak ada penyiksaan dalam sejumlah penanganan kasus.

Checksbalances.clio.nl
Polisi membantah adanya penyiksaan dalam sejumlah penanganan kasus. Foto: Penyiksaan (ilustrasi).
Rep: Bambang Noroyono / Lilis Sri Handayani Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dugaan kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan polisi kepada masyarakat yang menjadi saksi, pelaku, atau tersangka sebuah kasus kembali terjadi. Terakhir, terjadi dugaan kekerasan yang dilakukan oleh polisi kepada seorang anak berinisial AM (13 tahun) di Padang yang diduga polisi terlibat peristiwa tawuran.

Baca Juga


Korban anak AM meninggal dunia diduga mengalami kekerasan, dan penyiksaan oleh satuan Sabhara Polda Sumatera Barat (Sumbar). Diduga kekerasan yang dialami bocah laki-laki 13 tahun tersebut lantaran kepolisian antihuru-hara setempat hendak menghalangi aksi tawuran antarpelajar pada Ahad (9/6/2024) subuh. Namun Lembaga Bantuan Hukum (LBH)  Padang mengungkapkan korban anak AM, tak pernah punya catatan terlibat dalam aksi-aksi kenalakan remaja.

Koordinator LBH Padang Diki Rafiqi mengatakan, dari penelusuran yang dilakukan LBH  Padang, berdasarkan saksi-saksi dan korban pembubaran oleh satuan antihuru-hara itu dengan melakukan kekerasan, serta penyiksaan. Korban anak AM, pada saat berkendara bersama temannya A (13 tahun) langsung dipepet oleh kepolisian, dan ditendang hingga jatuh terpental dari kendaraan roda dua. “Jadi pada saat itu, AM bersama temannya A berkendaraan motor lalu ditendang oleh rombongan kepolisian yang berpatroli,” begitu ujar Diki saat mengadukan peristiwa ini ke Komnas HAM di Jakarta beberapa hari lalu.

Dari penelusuran LBH  Padang, kata Diki, ada saksi berinsial A yang menyebutkan setelah AM terpelanting ke aspal, masih sempat berdiri. Namun, disebutan korban anak AM dikerubungi oleh sejumlah personel kepolisian yang membawa pentungan dan rotan. A, yang sempat dibawa ke kantor polisi mengaku tak lagi melihat AM.

Sampai akhirnya, pada Ahad (9/6/2024) menjelang siang, warga menemukan jenazah yang mengambang di aliran sungai di bawah Jembatan Kuranji di  Kota Padang Padang. Dan dari identifikasi, jenazah mengambang tersebut adalah korban anak AM. Keluarga korban sempat melakukan autopsi jenazah tersebut ke Rumah Sakit (RS) Bhayangkara. Lalu disebutkan jenazah meninggal dunia lantaran kematian tak wajar.

Terkait hal ini, Kapolda Sumbar Irjen Suharyono dalam penyampaian ke media kemarin (23/6/2024) membantah personelnya melakukan penyiksaan terhadap korban anak AM, dan anak-anak yang ditangkap lainnya. Kapolda menduga, AM mengalami luka-luka lebam akibat terjun ke sungai saat dikejar oleh satuan Sabhara.

“Saat terjadi pengejaran, ada upaya korban melompat dari motor ke sungai. Dan itu berdasarkan kesaksian dari Aditia (A) saat kita periksa,” kata Kapolda.

“Bahwa kesaksian Aditia, bahwa memang almarhum Afif Maulana (AM) berencana masuk ke sungai, menceburkan diri ke sungai,” kata Irjen Suharyono.

Dalam pernyataan sebelumnya, Kapolda mengaku bertanggungjawab atas penyelidikan kematian korban anak AM tersebut. Ia berjanji untuk melakukan pengusutan. Dari proses pengungkapan, kata Suharyono internal Polda Sumbar sudah memeriksa sebanyak 40 orang saksi.

Termasuk 30 saksi di antaranya, adalah para personel satuan Sabhara Polda Sumbar yang melakukan patroli dalam usaha pencegahan aksi tawuran antara pelajar di Kota  Padang. Dan dari patroli tersebut, kata Suharyono, tim Sabhara memang menemukan bukti-bukti akan dilakukan tawuran tersebut.

Sebelumnya, dari Cirebon, Jawa Barat, seseorang bernama Saka Tatal, satu dari delapan terpidana kasus pembunuhan dan perkosaan yang menimpa Vina dan temannya, Muhammad Rizky atau Eky, di Cirebon pada 2016, kini telah menghirup udara bebas. Saka pun menceritakan kronologi penangkapan terhadap dirinya. Dia mengatakan, saat itu disuruh oleh pamannya untuk mengisi bensin motor di salah satu SPBU. Selesai mengisi bensin, dia pun hendak mengantarkan motor tersebut kepada pamannya.

‘’Pas baru nyampe mau nganterin motor, udah ada polisi. Saya kesitu cuma niat mau nganterin motor (setelah isi bensin). Saya ditangkap tanpa sebab apapun, gak ada penjelasan apapun. Langsung dibawa,’’ kata Saka.

 
 

Saka mengatakan, sesampainya di kantor polisi, dia dipukuli dan disuruh mengakui apa yang tidak dilakukannya dalam kasus pembunuhan dan perkosaan terhadap Vina dan Eky. ‘’Saya dipukulin, dijejekin, disiksa segala macam, sampe disetrum. Yang mukulin, yang nyetrum anggota polisi semua. Akhirnya ngaku karena terpaksa udah gak kuat lagi,’’ kata Saka.

Terkait pengakuan Saka, polisi telah membantah. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Sandi Nugroho menyampaikan, terpidana Saka Tatal cenderung berbohong saat diperiksa penyidik terkait pembunuhan Vina dan Eky.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Sandi Nugroho mengatakan hal ini berdasarkan balai pemasyarakatan (bapas) yang mendampingi pemeriksaan Saka waktu itu.

 
Sandi pun mengatakan penyidik sudah berhati-hati dan bekerja secara profesional saat mengusut kasus ini. "Berarti penyidik berhati-hati secara profesional dalam bekerja ini keterbukaan mungkin masukannya," tutur dia.

Dikutip dari pemberitaan Republika pada 2020 lalu, peneliti Kontras Rivanlee Anandar menganalisis sejumlah penyebab penyiksaan kerap dilakukan oleh aparat. Pertama, kata Rivanlee, ada semangat 'menghukum orang' yang tinggi di kalangan penyidik.

Kedua, aparat kerap ingin segera menuntaskan kasus tanpa memahami persoalan secara komprehensif. Ketiga, Rivanlee menghubungkannya dengan relasi kuasa. 

"Relasi kuasa dan kultur kekerasan yang membudaya di tubuh kepolisian," ujar Rivanlee pada Sabtu (11/7/2020).

Dengan berulangnya kasus penyiksaan oleh aparat baik polisi, Kontras menduga proses pengawasan di internal institusi hukum tak berjalan sebagaimana mestinya. "Jangan-jangan, selama ini proses pengawasan tidak berjalan dengan maksimal, sehingga penyidikan kerap diiringi praktik penyiksaan dan berulang," kata Rivanlee.

Ia juga menilai hal pencopotan aparat yang kerap menjadi solusi dalam terjadinya kasus penganiayaan tidak cukup. "Dalam beberapa kasus, pencopotan kepala (wilayah) tidak cukup menjawab persoalan, karena dianggap selesai. Sementara pelaku tidak dihukum secara pidana," kata Rivanlee.

Tiap kasus yang terduga pelakunya adalah anggota kepolisian, kata Rivan harusnya didorong ke proses peradilan umum sebagai bukti bahwa semua golongan sama di mata hukum. "Pengungkapan kebenaran dari kasus ini menjadi salah satu indikator bagi perbaikan penegakan hukum di Indonesia," kata dia.

Penyiksaan itu, kata Rivanlee, menyangkut pola yang terus berulang, sehingga proses pengungkapannya harus mengedepankan pro justicia.

 

 

Perhatian Kapolri

Terkait dugaan penyiksaan oleh polisi saat menangani kasus sebenarnya telah mendapat perhatian khusus oleh Kapolri Jendera Listyo Sigit Prabowo. Pada Oktober 2021 lalu, Kapolri memberikan surat edaran  petunjuk dan arahan kepada anggota pada fungsi operasional khususnya yang berhadapan dengan masyarakat agar pada saat melaksanakan pengamanan atau tindakan kepolisian harus sesuai dengan kode etik profesi Polri dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Kapolri menginstruksikan untuk memberikan sanksi tegas terhadap anggota yang terbukti melakukan pelanggaran disiplin atau kode etik maupun pidana, khususnya yang berkaitan dengan tindakan kekerasan berlebihan serta terhadap atasan langsung yang tidak melakukan pengawasan dan pengendalian sesuai tanggung jawabnya.

Sikap Islam terkait penyiksaan

Terlepas dari dugaan penyiksaan oleh polisi terhadap saksi maupun tersangka dalam sebuah kasus,  meninggalkan tanda tanya tentang hukum penganiayaan dalam Islam dan apa yang dikatakan Allah SWT dan Rasul-Nya terkait tindakan penganiayaan. Atau bahkan bagaimana para sahabat Nabi Muhammad SAW menanggapi kasus penganiayaan?

Dilansir dari Islam Web, penganiayaan adalah tindakan yang dilarang oleh Allah SWT, apalagi jika itu ditujukan kepada sesama Muslim. 

Sebagaimana diketahui, tidak halal bagi seorang Muslim menyakiti saudaranya baik secara fisik atau bahkan sekadar dari ucapan. Allah SWT berfirman: 

وَٱلَّذِينَ يُؤْذُونَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ بِغَيْرِ مَا ٱكْتَسَبُوا۟ فَقَدِ ٱحْتَمَلُوا۟ بُهْتَٰنًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

Artinya: "Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (QS Al Ahzab ayat 58).

Allah bahkan telah mensyariatkan untuk melakukan qisas atau hukuman yang serupa bagi setiap anggota tubuh yang dianiaya. Hal ini sebagaimana tertera dalam surat Al Maidah ayat 45.

Rasulullah SAW juga pernah bersabda bahwa Allah akan menghukum orang yang menyiksa manusia di dunia ini. Nabi Muhammad SAW bersabda:

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ مَرَّ هِشَامُ بْنُ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ عَلَى أُنَاسٍ مِنْ الْأَنْبَاطِ بِالشَّامِ قَدْ أُقِيمُوا فِي الشَّمْسِ فَقَالَ مَا شَأْنُهُمْ قَالُوا حُبِسُوا فِي الْجِزْيَةِ فَقَالَ هِشَامٌ أَشْهَدُ لَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يُعَذِّبُ الَّذِينَ يُعَذِّبُونَ النَّاسَ فِي الدُّنْيَا

Artinya: "Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Hisyam dari Bapaknya dia berkata, ”Hisyam bin Hakim bin Hizam pernah melewati beberapa orang dari para petani di Syam yang dijemur di terik matahari. Kemudian Hisyam bertanya; 'Mengapa mereka ini dihukum? ' mereka menjawab, 'Mereka disiksa karena masalah pajak. ' Hisyam berkata, “Aku bersaksi, 'Sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa orang lain di dunia." (HR Muslim).

Bahkan menjaga perilaku kepada sesama merupakan salah satu hal yang ditekankan Nabi pada khutbatul wada. Seorang Muslim telah dilarang oleh Rasulullah SAW untuk menganiaya sesama Muslim dan dianjurkan untuk saling menjaga jiwa, harta dan kehormatan. Nabi SAW bersabda:

عن جابر رضي الله عنه في سياق حجة النبي صلى الله عليه وسلم قال : « حَتَّى إِذَا زَاغَتِ الشَّمْسُ أَمَرَ بِالْقَصْوَاءِ فَرُحِلَتْ لَهُ، فَأَتَى بَطْنَ الْوَادِي فَخَطَبَ النَّاسَ وَقَالَ: إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا… » الحديث . رواه مسلم .

Artinya: “Dari Jabi RA di tengah haji bersama Nabi SAW: “… sehingga saat matahari tergelincir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar unta Al-Qashwa’ dipersiapkan. Dia pun dipasangi pelana. Lalu Nabi SAW mendatangi tengah lembah dan berkhutbah, ‘Sesungguhnya darah dan harta kalian, haram bagi sesama kalian. Sebagaimana haramnya hari ini, haramnya bulan ini di negeri kalian ini…‘“ (HR Muslim).

Haramnya menganiaya orang lain dalam Islam, tidak mengenal jabatan atau posisi sosial orang di masyarakat. Hukuman bagi siapapun yang melakukan penganiayaan tetap sama dalam Islam.

Salah satu kisah yang terkenal adalah ketika Khalifah Umar bin Khattab RA menyuruh seorang warga Mesir untuk mencambuk anak Gubernur Mesir karena telah mencambuk warga tersebut. Bahkan Gubernur Mesir, Amru bin Ash juga dipersilahkan untuk dicambuk karena membiarkan anaknya menganiaya warga.

Setelah warga itu selesai melakukan qisas, Umar berkata kepada Amru, "Wahai Amru, sejak kapan engkau memperbudak manusia, sedangkan ibu mereka sendiri melahirkannya dalam keadaan bebas merdeka?.


sumber : Dok Republika / Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler