DKPP Sebut Ketua KPU Paksa Berhubungan Badan, Ini Cara Mengendalikan Nafsu dalam Islam
Ketua KPU disebut DKPP merayu dan memaksa berhubungan badan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Rabu (3/7/2024), membacakan vonis pemberhentian Ketua KPU Hasyim Asyari. Putusan yang dibaca oleh anggota DKPP Dewi Pitalolo itu menyebutkan Hasyim merayu dan memaksa hubungan badan kepada seorang wanita anggota PPLN Belanda wilayah Den Haag.
"Pada kegiatan tersebut, teradu hadir pada 3 Oktober 2023 dan menginap di Hotel Van Der Valk, Amsterdam, Belanda, bahwa dalam sidang pemeriksaan pengadu mengaku pada malam hari pada 3 Oktober 2023 pengadu dihubungi teradu untuk datang ke kamar hotelnya, pengadu kemudian datang ke kamar hotel teradu dan berbincang di ruang tamu kamar teradu. Dalam perbincangan tersebut, teradu merayu dan membujuk pengadu untuk melakukan hubungan badan, pada awalnya pengadu terus menolak namun teradu terus memaksa," ujar anggota DKPP Dewi Pitalolo saat membacakan pertimbangan putusan dalam video yang dikutip Republika dari sidang yang digelar di gedung DKPP, Jakarta, Rabu (3/7/2024).
"Saya ulangi, namun teradu tetap memaksa pengadu untuk melakukan hubungan badan, pada akhirnya hubungan badan itu terjadi," ujarnya.
Terkait putusan itu, Ketua KPU Hasyim Asy'ari berterima kasih kepada DKPP RI yang telah menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada dirinya terkait kasus dugaan asusila. Hal itu disampaikan Hasyim dalam konferensi pers di Kantor KPU RI, Jakarta, Rabu.
"Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan, saya mengucapkan alhamdulillah dan saya ucapkan terima kasih kepada DKPP yang telah membebaskan saya dari tugas-tugas berat sebagai anggota KPU yang menyelenggarakan Pemilu," ujar Hasyim.
Ia juga meminta maaf kepada awak media apabila selama dirinya menjabat sebagai Ketua KPU RI terdapat perkataan atau tindakan yang kurang berkenan.
"Kepada teman-teman jurnalis yang selama ini berinteraksi berhubungan dengan saya, sekiranya ada kata-kata atau tindakan saya yang kurang berkenan saya mohon maaf," katanya.
Terlepas dari soal putusan itu, Islam sebenarnya telah mengajarkan bagaimana manusia mengendalikan hawa nafsu. Dikutip dari artikel yang dipublikasikan oleh Republika.co.id pada 16 Agustus 2013 berjudul "Mengendalikan Hawa Nafsu", dijelaskan tentang seluk beluk hawa nafsu dan cara mengendalikannya.
Dalam bahasa Indonesia, hawa nafsu bermakna keinginan atau dorongan hati yang kuat untuk melakukan perkara yang tidak baik, seperti syahwat dan sejenisnya. Makna ini mirip dengan asal kata pembentukannya dalam bahasa Arab karena hawa adalah keinginan dan nafs adalah jiwa.
Sesungguhnya manusia diciptakan dengan potensi keinginan yang baik (takwa) dan keinginan buruk (nafsu atau fujur). Kedua keinginan tersebut menunjukkan sifat keseimbangan (at-tawazun) dan kemanusiaan (al-basyariah) dalam diri manusia. Oleh karena itu, nafsu adalah fitrah manusia, sebagaimana takwa juga adalah fitrah. Hal ini yang ditegaskan dalam Alquran, yang artinya, "Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya." (QS asy-Syams: 7-8).
Sebagai bagian dari ujian Allah SWT, setiap jiwa manusia cenderung untuk berbuat dosa dan maksiat. Jika manusia dihadapkan pada pilihan yang baik atau pilihan yang buruk, ia lebih tertarik melakukan pilihan yang buruk.
Contohnya, jika ada pilihan, bekerja keras ataupun istirahat, pilihan istirahat lebih menarik. Jika ada pilihan, shalat Tahajud atau istirahat, jiwa manusia cenderung memilih istirahat. Hal ini sesuai dengan penegasan Alquran, yang artinya, "Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang." (QS Yusuf: 53).
Nafsu tersebut jika dibiarkan atau tidak dikendalikan, setiap perilaku manusia akan tidak baik. Berkata tidak jujur, berbuat fitnah, mengadu domba, adalah sebagian kecil dari praktik memperturutkan nafsu.
Bisa dibayangkan, jika nafsu tersebut dibiarkan tanpa kendali, sosok manusia yang diciptakan dengan sempurna itu—akan menjadi beringas, bahkan digambarkan dalam Alquran, manusia menjadi buas seperti hewan. "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak digunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak digunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak digunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS al-A'raf: 79).
Sebaliknya, jika nafsu itu dikendalikan dan dikelola, akan melahirkan manusia yang berakhlak mulia. Seperti sifat marah, jika dibiarkan, bisa mengakibatkan talak (perceraian rumah tangga), pertengkaran, bahkan pembunuhan. Namun, jika sifat marah dikendalikan, akan menjadi ketegasan dalam kebaikan.
Pengendalian sebagaimana yang dimaksud tersebut itulah yang ingin dibangun dari ibadah puasa, sesuai dengan tujuan inti puasa, yaitu al-imsak yang berarti menahan diri atau mengendalikan hawa nafsu.
Jadi, dengan berpuasa, diharapkan lahir kemampuan menahan diri dan kemampuan mengelola nafsu pada diri setiap orang yang berpuasa agar yang lahir adalah kebaikan dan akhlaknya yang mulia.