Janggalnya Pemeriksaan Forensik Jenazah Afif Maulana dan Tiga Pendapat MUI Soal Autopsi
MUI pernah mengeluarkan fatwa khusus soal autopsi jenazah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Salah satu kejanggalan dalam kasus Afif Maulana dinilai saat keluarga hendak melakukan autopsi jenazah bocah berusia 13 tahun tersebut. Direktur LBH Padang Indira Suryani mengungkapkan, pihak kepolisian melarang keluarga mendampingi bahkan memandikan dan mengafani. Keluarga juga diminta untuk melakukan autopsi di RS Bhayangkara dengan alasan tidak berbayar. Padahal, keluarga korban hendak melakukan autopsi di RS Djamil.
Indira mengungkapkan, hasil autopsi jasad anak AM tersebut, pernah dijelaskan langsung oleh dokter bedah forensik RS Bhayangkara pada saat ekspos perkara bersama Polda Sumbar dan Kompolnas, KPAI, PPA serta LBH Padang, dan pihak keluarga anak AM.
“Dokter Forensik Rahmawati menyampaikan, bahwa poinnya itu, kalau melompat tentu pada jasad anak AM ada ditemukan patah, dan banyak kerusakan di kepala dan juga di bagian kaki,” begitu kata Indira. Akan tetapi, mengutip penjelasan dokter bedah forensik tersebut, tak ditemukan adanya kondisi kerusakan di kepala, maupun pada bagian kaki. LBH Padang dalam forum ekspos tertutup itu sempat menanyakan langsung kepada dokter bedah untuk menerangkan apa sebab anak AM meninggal.
“Atas pertanyaan tersebut, dokter bedah forensik bilang, itu menjadi hak dan kewenangan kepolisian untuk menjawab,” begitu terang Indira. Namun begitu, kata Indira, dokter forensik cepat meneruskan penjelasan yang memastikan jika anak AM tewas bukan karena melompat. “Dokter forensik langsung mengatakan, diduga dia (anak AM) terpeleset,” begitu sambung Indira. LBH Padang, kata Indira, tentunya memahami dua jenis kata kerja antara ‘melompat’ dan ‘terpeleset’. Akan tetapi, menurut Indira, melompat ataupun terpeleset itu mengundang konsekuensi kondisi fisik yang seharusnya sama.
LBH Padang bersama koalisi masyarakat sipil pun melaporkan Kapolda Sumatra Barat Irjen Suharyono ke Divisi Propam Polri. Menanggapi laporan tersebut, Kapolda Sumatra Barat Irjen Suharyono menuding lembaga-lembaga pelapor kasus itu sok suci dan merasa institusi kepolisian dihinakan.
Suharyono menegaskan, dirinya sebagai otoritas kepolisian tertinggi di Sumbar bertanggung jawab atas seluruh proses pengusutan kasus kematian anak tersebut. “Silakan,” kata Suharyono melalui pesan singkat kepada wartawan di Jakarta, Rabu (3/7/2024). “Saya bukan pelaku kejahatan. Saya pembela kebenaran,” begitu ujar dia. Suharyono melalui pesannya tersebut juga ‘menyerang’ balik aksi pelaporan LBH Padang, bersama-sama koalisi sipil di Jakarta itu.
Autopsi memang kerap muncul bertalian dengan pengungkapan sebuah kasus yang melibatkan korban meninggal dunia. Autopsi dimaknai dengan pemeriksaan tubuh mayat dengan jalan pembedahan untuk mengetahui penyebab kematian, penyakit dan sebagainya.
Dunia kedokteran mengenal tiga jenis autopsi. Pertama autopsi klinis yang dilakukan oleh dokter untuk memeriksa penyebab seseorang meninggal dunia. Alasan yang dipakai dalam autopsi klinis adalah murni kesehatan.
Kedua, autopsi anataomis. Autopsi jenis ini adalah pembedahan untuk proses belajar calon dokter dengan cara mempelajari anatomi tubuh manusia. Tujuannya jelas untuk proses pembelajaran. Terakhir adalah autopsi forensik. Autopsi ini dilakukan oleh penegak hukum untuk menyelidiki penyebab kematian seseorang demi penuntasan sebuah kasus. Jadi autopsi tidak hanya melulu soal pengungkapan sebuah kasus.
Ulama proses autopsi..
Bagaimana sebenarnya pandangan ulama soal proses autopsi? Karena proses autopsi jelas melakukan tindakan kepada jenazah yang seharusnya dikubur atau bahkan sudah dikubur.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa khusus soal autopsi jenazah pada tahun 2009. Fatwa tersebut khusus menghukumi autopsi forensik dan klinik. Meski dalam keterangannya, autopsi klinik juga dilakukan untuk proses riset dan pendidikan.
Komisi Fatwa MUI memberikan tiga macam ketentuan hukum soal ini. Pertama, pada dasarnya setiap jenazah harus dipenuhi hak-haknya, dihormati keberadaannya dan tidak boleh dirusak.
Jenazah seorang Muslim hendaknya segera diurus untuk segera ditunaikan haknya. Beberapa hak jenazah yang harus dipenuhi antara lain dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan. Hal ini berdasar pada hadits Nabi SAW, "Mandikanlah jenazah dengan air dan daun bidara dan kafanilah ia dalam dua pakaiannya." (HR Muttafaq Alaih).
Jenazah pada dasarnya juga tidak boleh dirusak tanpa alasan yang syar'i. Kaidah ini didapatkan dari hadis sahih riwayat Imam Malik, Ibnu Majah dan Abu Daud. Rasulullah SAW bersabda, "Engkau jangan memecahkan tulang jenazah, karena merusak tulang seseorang yang telah meninggal sebagaimana perbuatan merusak tulang seseorang yang masih hidup."
Ketentuan kedua, meski pada dasarnya jenazah harus dihormati, MUI membolehkan proses autopsi jika ada kebutuhan yang ditetapkan oleh yang berwenang. Pada ketentuan ketiga, MUI menguraikan beberapa ketentuan yang harus diikuti dalam proses autopsi.
Tiga ketentuan MUI..
Pertama autopsi jenazah didasarkan kepada kebutuhan yang dibenarkan secara syariat seperti mengetahui penyebab kematian untuk penyelidikan hukum, penelitian kedokteran atau pendidikan kedokteran. Keputusan melakukan autopsi harus dilakukan oleh lembaga yang berwenang dan harus dilakukan oleh ahlinya.
Kedua, autopsi merupakan jalan keluar satu-satunya dalam memenuhi tujuan sesuai ketentuan pertama. Ketiga jenazah yang diautopsi harus segera dipenuhi hak-haknya, seperti dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan.
Terakhir jenazah yang dijadikan obyek autopsi harus mendapatkan izin dari dirinya saat masih hidup melalui wasiat, ahli waris atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundangan.
MUI mendasarkan pendapatnya pada beberapa kaidah fikih seperti "kondisi darurat membolehkan hal-hal yang (sebelumnya) dilarang" dan "kebolehan melakukan yang darurat itu dihitung seperlunya".
Lajnah Daimah Kerajaan Arab Saudi juga berpendapat bolehnya melakukan autopsi. Alasan kebolehan autopsi klinis dan forensik menurut Lajnah Daimah autopsi ini mengandung banyak kepentingan di bidang keamanan, keadilan dan melindungi masyarakat dari penyakit menular.
Proses autopsi memang mengandung mafsadah (kerusakan) yakni tidak menghormati jasad mayat namun di sisi lain mewujudkan banyak maslahat.
Sementara autopsi anatomis untuk kepentingan pendidikan, Lajnah Daimah berpendapat pembedahan terhadap hewan tidak mewakili pembedahan anatomi tubuh manusia. Autopsi anatomis mengandung banyak maslahat dalam perkembangan ilmu pengetahuan di berbagai bidang kedokteran.
Lajnah Daimah memakai argumentasi jika Islam datang untuk membawa dan memperbanyak maslahat, menghindari kerusakan dan memperkecilnya. Diperbolehkan memilih mudarat yang lebih ringan guna menghindari mudarat yang lebih berat. Lalu jika dua maslahat saling bertentangan, maka Islam memilih maslahat yang lebih besar.
Beberapa ulama dengan mendasarkan dalil yang sama tentang hadits memuliakan jenazah mengharamkan semua jenis autopsi. Ulama yang mengharamkan autopsi berpendapat larangan merusak jenazah sudah sangat jelas. Namun larangan ini hanya diperuntukkan untuk mayit Muslim. Sementara mayit nonMuslim boleh dilakukan proses autopsi. Allahua'lam.
- afif maulana
- kasus afif maulana
- autopsi afif maulana
- pemeriksaan forensik afif maulana
- kejanggalan autopsi afif maulana
- kasus kematian afif maulana
- kasus kematian anak am
- orang tua afif maulana
- kapolda sumbar setop kasus kematian afif
- polisi aniaya afif maulana
- afif maulana meninggal
- afif maulana dianiaya polisi
- fatwa MUI soal autopsi
- fatwa MUI
- kejanggalan kasus afif maulana
- jenazah afif maulana
- kematian afif maulana