Cara Studi The Lancet Ungkap Jumlah Warga Gaza yang Dibunuh Israel Capai 186 Ribu Jiwa

Angka The Lancet empat kali dari data kematian resmi yang dirilis Kemenkes Gaza.

AP Photo/Jehad Alshrafi
Para pengunsi Palestina berjalan melarikan diri meninggalkan kota Khan Younis, di Jalur Gaza pada Senin (1/7/2024). Tentara Israel memerintahkan evakuasi massal kepada warga Palestina di Khan Younis. Diduga militer Israel akan melancarkan serangan darat baru di kota terbesar kedua di Jalur Gaza tersebut.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, Sebuah laporan yang dipublikasi oleh jurnal medis, The Lancet, menganalisis data kematian dan memunculkan jumlah kematian yang disebabkan oleh aksi genosida Israel di Gaza bisa mencapai 186 jiwa. Angka itu empat kali dari angka resmi yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan Gaza pada angka 38.200 orang.

Baca Juga


"Jumlah korban tewas yang dilaporkan kemungkinan lebih rendah (dari jumlah sebenarnya). Lembaga Airwars melakukan penilaian rinci terhadap insiden-insiden di Jalur Gaza dan mendapati tidak semua nama korban yang teridentifikasi ada dalam daftar (korban tewas) otoritas setempat," demikian menurut kajian The Lancet.

Dalam laporannya, The Lancet menggunakan perkiraan empat kematian 'tidak langsung' terjadi dari setiap warga Gaza yang terbunuh oleh bom, peluru, dan serpihan tajam. Angka kematian lebih dari 100 ribu orang pernah disebut oleh sumber lokal selama beberapa pekan terakhir dan dianggap dipercaya menimbang skala kehancuran di Gaza saat ini.

"Terlebih, PBB memperkirakan bahwa hingga 29 Februari 2024, 35 persen bangunan di Jalur Gaza telah hancur, sehingga kemungkinan jumlah jenazah yang masih tertimbun di reruntuhan bangunan yang hancur cukup besar dan diperkirakan melampaui angka 10.000," demikian tertulis dalam kajian itu.

Selain itu, 14 ribu bom dengan berat masing-masing 907 kg yang dipasok Amerika Serikat untuk Israel juga menyebabkan jumlah korban tewas sangat tinggi. Bom tersebut, selain membunuh secara langsung, juga menghancurkan infrastruktur di Jalur Gaza, sehingga memperburuk situasi krisis yang menyebabkan korban tewas terus bertambah.

Hancurnya fasilitas kesehatan, jaringan distribusi makanan, dan sistem sanitasi membuat warga Gaza yang masih bertahan terpaksa hidup dalam kondisi yang amat memprihatinkan.

"Jumlah korban tewas diperkirakan besar karena intensitas konflik, hancurnya sistem kesehatan, kelangkaan makanan, air bersih, dan tempat tinggal, ketidakmampuan warga untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman dan hilangnya pendanaan ke UNRWA," demikian bunyi kajian yang dirilis The Lancet.

 

The Lancet mengklaim studi saintifik mereka didasarkan pada sebuah sumber yang mana tidak mungkin bisa dibantah oleh propaganda Israel tercanggih sekalipun. Israel dan sekutunya seperti pemerintah Amerika Serikat dan Inggris, selama ini menggunakan taktik kerap menganggap statistik korban yang dirilis Hamas sebagai 'sampah', meski data-data itu terbukti akurat.

 

Dan karena data jumlah korban luka biasanya dua kali dari angka kematian, maka bisa diperkirakan lebih dari 370 ribu warga Gaza terluka, dan banyak dari mereka mengalami cacat fisik permanen. Angka-angka yang dirilis The Lancet mencerminkan skala penderitaan dua juta warga Gaza, di mana separuh dari populasi adalah anak-anak.

Sembilan Bulan Pembantaian - (Republika)

 

Menurut badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pengungsi Palestina (UNRWA), anak-anak di wilayah konflik itu menghabiskan waktu hingga 8 jam sehari hanya untuk mendapatkan makanan dan air bersih akibat agresi berkelanjutan Israel di Jalur Gaza. “Anak-anak di Gaza bisa menghabiskan 6—8 jam sehari mengumpulkan air dan makanan, bahkan mereka harus membawa beban berat dan berjalan jauh,” demikian UNRWA dalam pernyataannya di media sosial, Sabtu (6/7/2024).

“Fasilitas sanitasi dan infrastruktur rusak parah, sehingga memaksa ribuan keluarga mengandalkan air laut untuk mencuci, mandi, dan bahkan minum,” kata badan PBB tersebut.

Kepala Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan bahwa siklus pengungsian tanpa henti dan nasib warga yang terus menerus berada dalam mode bertahan hidup dan keputusasaan akibat kekejaman Israel di Jalur Gaza harus dihentikan.

"Berulang kali, siklus tragis yang sama," tulis Philippe Lazzarini di X. "Awal pekan ini otoritas Israel mengeluarkan perintah evakuasi baru bagi warga di #Gaza yang memaksa ratusan ribu orang keluar dari Khan Younis & Rafah di selatan."

"Perintah evakuasi ini -yang terbesar yang dikeluarkan sejak Oktober- berdampak terhadap hampir seperempat juta orang, sebagian besar dari mereka sudah mengungsi, berkali-kali," keluhnya. "Orang-orang tidak punya tujuan."

"Mereka mati-matian mencari tempat aman yang sudah tidak ada, mendirikan bangunan darurat di antara reruntuhan bangunan yang dibom," katanya. "Risiko persenjataan yang tidak meledak (UXO) tersebar luas."

Sembari menyebutkan seorang gadis berusia 9 tahun yang dilaporkan tewas akibat UXO di Khan Younis pekan lalu, dan enam anak-anak yang cedera, Lazzarini menekankan: "Risiko bagi anak-anak sangat tinggi."

 



Israel tak kunjung menghentikan penyerbuan ke Jalur Gaza meski Mahkamah Internasional (ICJ) memerintahkan Israel, melalui putusannya yang bersifat mengikat, untuk menghentikan serangan di Rafah yang diduga melanggar Konvensi Genosida. Serangan Israel ke Gaza sejak 7 Oktober 2023 telah menewaskan setidaknya 38.089 warga Palestina dan melukai lebih dari 87.705 lainnya.

Selain itu, setidaknya 10 ribu orang masih belum diketahui nasibnya dan diduga masih tertimbun reruntuhan bangunan yang hancur akibat bom Israel. Organisasi internasional dan Palestina turut menyebut bahwa sebagian besar korban yang tewas dan cedera adalah wanita dan anak-anak.

Agresi Israel juga menyebabkan hampir dua juta warga Palestina terusir dari tempat tinggalnya, sehingga menyebabkan eksodus pengungsi Palestina terbesar sejak tragedi Nakba pada 1948. Sebagian besar dari mereka terpaksa mengungsi di kota Rafah yang berbatasan dengan Mesir.

Dilaporkan media Mesir, Al Qahera News, Ahad (7/7/2024), Direktur Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA), William Burns, akan mengunjungi ibu kota Mesir, Kairo, selama sepekan ke depan. Kunjungan itu dilakukan guna berpartisipasi dalam pembicaraan tentang gencatan senjata di Jalur Gaza dan kesepakatan pertukaran sandera.

Laporan tersebut juga menyatakan, delegasi Israel diharapkan tiba di ibu kota Mesir pada Senin ini untuk melanjutkan pembicaraan menyoal gencatan senjata. Sehari sebelumnya, Sabtu (6/7/2024), media itu melaporkan bahwa Mesir akan menerima delegasi dari Israel dan Amerika Serikat untuk membahas poin-poin yang belum terselesaikan dari perjanjian gencatan senjata di Jalur Gaza. Pada hari yang sama, portal berita Axios juga melaporkan bahwa Burns akan mengunjungi ibu kota Qatar, Doha, pekan depan untuk berpartisipasi dalam pembicaraan mengenai kesepakatan sandera dan gencatan senjata di Gaza.

Komik Si Calus : Boikot - (Republika/Daan Yahya)

 

sumber : Antara, Anadolu, WAFA-OANA, Sputnik
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler