Rusia Nilai Situasi di Semenanjung Korea Telah Capai Kebuntuan yang Berbahaya
Rusia tidak tertarik untuk meningkatkan konflik di perbatasan Timur Jauhnya.
REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Situasi di Semenanjung Korea telah mencapai kebuntuan yang berbahaya, dan Rusia tidak tertarik untuk meningkatkan konflik di perbatasan Timur Jauhnya. Hal itu diungkapkan oleh Direktur Departemen Organisasi Internasional di Kementerian Luar Negeri Rusia Pyotr Ilyichev.
"Situasi di sekitar Semenanjung Korea telah mencapai kebuntuan yang berbahaya dengan peningkatan ketegangan yang berkelanjutan," kata Ilyichev kepada Sputnik pada Rabu (10/7/2024).
Menurut dia, Amerika Serikat dan sekutunya yang dengan keras kepala mengikuti jalur konfrontasi dan memprovokasi Pyongyang adalah penanggung jawab utama untuk situasi saat ini di kawasan tersebut. Washington dan sekutunya telah menjadikan sanksi Dewan Keamanan PBB sebagai alat tekanan yang "abadi" terhadap lawan yang tidak tunduk pada kehendak mereka.
"Washington dan sekutunya memperkuatnya dengan tindakan pemaksaan sepihak yang ilegal," kata Ilyichev.
"Kami tidak tertarik melihat pusat ketegangan semakin memanas di perbatasan Timur Jauh kami. Oleh karena itu, kami menyarankan agar pihak-pihak terkait menghentikan siklus provokasi dan tuduhan timbal balik, meninggalkan keinginan untuk menyelesaikan masalah dengan kekuatan atau ancaman, dan mulai bernegosiasi," lanjut Ilyichev.
Sebelumnya pada Juni lalu, pasukan Jepang, AS, dan Korea Selatan mengadakan latihan militer trilateral di Laut China Timur. Latihan militer itu akan digelar setiap tahun. Latihan yang dirancang dalam pertemuan tiga pihak di Camp David pada Agustus tahun lalu itu dilakukan untuk meningkatkan kerja sama militer di tengah ketegangan di Semenanjung Korea akibat peningkatan uji coba rudal balistik oleh Korea Utara.
Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan bahwa aliansi militer trilateral antara Washington, Seoul, dan Tokyo tidak hanya ditujukan terhadap Korea Utara, tetapi juga untuk menahan Moskow dan Beijing. Ancaman nyata satu-satunya di kawasan Indo-Pasifik adalah kebijakan AS, sementara masalah lainnya, termasuk kebijakan rudal Korea Utara, harus diselesaikan melalui respons kolektif, tambah kementerian tersebut.
Menurut Badan Pengadaan Senjata Pemerintah, Korea Selatan akan mulai memproduksi senjata laser yang dirancang untuk menembak jatuh drone musuh untuk dikerahkan tahun ini. Bulan lalu, Badan Program Akuisisi Pertahanan (DAPA) menandatangani kesepakatan senilai sekitar 100 miliar won (72 juta dolar AS sekitar Rp1,16 triliun) dengan perusahaan pertahanan Korea Selatan, Hanwha Aerospace, untuk memproduksi sistem senjata tersebut. Mereka tidak memberikan rincian lebih lanjut tentang kontrak tersebut.
Menurut DAPA, senjata laser ini mampu mempertahankan diri dari kendaraan udara tak berawak (UAV) kecil dan multicopter dalam jarak dekat dengan menembakkan sinar laser yang dihasilkan oleh serat optik ke target. Sistem senjata ini dapat beroperasi selama listrik disuplai dan satu kali penembakan diperkirakan hanya memakan biaya sekitar 2.000 won (sekitar Rp23.500 ), kata DAPA, mencatat bahwa laser tersebut tidak terlihat oleh mata dan tidak menghasilkan suara.
DAPA mengatakan, sistem laser ini dapat menjadi "pengubah permainan" dalam perang masa depan jika keluarannya (output) ditingkatkan untuk merespons ancaman rudal balistik dan pesawat terbang. DAPA mengatakan Korea Selatan akan menjadi negara pertama yang diketahui mengoperasikan senjata laser jika dikerahkan sesuai rencana tahun ini.
Korea Selatan memulai pengembangan senjata laser ini pada tahun 2019, dan telah menginvestasikan 87,1 miliar won (sekitar Rp1,02 triliun) dalam proyek tersebut. Militer telah berupaya meningkatkan kemampuan respons terhadap kendaraan udara tak berawak berukuran kecil setelah lima drone Korea Utara menyusup melintasi perbatasan antar-Korea pada bulan Desember 2022.