Israel Kembali Bantai Warga Gaza di Zona Pengungsian, 90 Orang Syahid
Israel menyerang wilayah Al-Mawasi, tempat yang mereka sebut aman bagi warga Gaza.
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Sedikitnya 90 warga Palestina syahid dalam pembantaian brutal terbaru pasukan penjajahan Israel (IDF) di wilayah Al-Mawasi di selatan Jalur Gaza. Lebih dari 300 orang terluka, banyak di antaranya berada dalam kondisi kritis, menurut sumber medis setempat.
Al-Mawasi telah ditetapkan sebagai zona kemanusiaan yang aman oleh tentara Israel. IDF berulang kali mendesak warga Palestina di seluruh Jalur Gaza untuk pindah ke wilayah tersebut. Mereka mengklaim bahwa wilayah tersebut adalah tempat yang aman sejak serangan dimulai Oktober 2023.
Namun sekitar pukul 10.30 pagi, Sabtu (13/7/2024), pesawat tempur Israel melancarkan sejumlah serangan udara besar-besaran yang menargetkan daerah yang sudah dipadati pengungsi tersebut.
Kantor berita WAFA melansir, serangan tersebut mengakibatkan terbunuhnya puluhan warga sipil yang kemudian diangkut ke Kompleks Medis Nasser, dan lebih dari 100 lainnya terluka, beberapa di antaranya kritis.
Laporan menunjukkan bahwa militer Israel melakukan pembantaian besar-besaran dengan menembaki kamp pengungsi di wilayah tersebut, yang mengakibatkan ratusan korban jiwa, termasuk anggota pertahanan sipil. Tim penyelamat terus mengevakuasi puluhan korban dari lokasi pengeboman.
Otoritas kesehatan setempat memperingatkan bahwa rumah sakit di wilayah tersebut tidak mampu menampung sejumlah besar korban jiwa. Hal ini diperburuk dengan penghancuran infrastruktur kesehatan Gaza oleh pasukan pendudukan Israel.
Rekaman Reuters menunjukkan ambulans melaju menuju daerah tersebut di tengah kepulan asap dan debu. Pengungsi, termasuk perempuan dan anak-anak, melarikan diri dengan panik, beberapa di antaranya memegang barang-barang di tangan mereka.
Para saksi mata mengatakan serangan itu terjadi secara mengejutkan karena kawasan tersebut tenang dan menambahkan lebih dari satu rudal telah ditembakkan. Beberapa korban luka yang dievakuasi adalah petugas penyelamat, kata mereka.
"Mereka semua hilang, seluruh keluargaku hilang.. di mana saudara-saudaraku? Mereka semua pergi, mereka semua hilang. Tidak ada yang tersisa," kata seorang perempuan yang menangis, yang tidak menyebutkan namanya. “Anak-anak kami tercerai-berai, mereka tercerai-berai. Kalian tak punya malu!” tambahnya.
Israel mengatakan menargetkan panglima militer Hamas Mohammed Deif dan Rafa Salama, komandan Brigade Khan Younis Hamas dalam serangan itu. IDF menggambarkan mereka sebagai dua dalang serangan 7 Oktober.
Hamas menyangkal klaim tersebut. Mereka menekankan bahwa narasi Israel adalah kebohongan untuk membenarkan serangan mematikan mereka. “Semua korban adalah warga sipil dan apa yang terjadi adalah peningkatan besar dalam perang genosida, yang didukung oleh dukungan Amerika dan keheningan dunia,” kata pejabat Hamas Sami Abu Zuhri kepada Reuters.
Ia menambahkan bahwa serangan tersebut menunjukkan Israel tidak tertarik untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata. Secara terpisah, setidaknya 10 warga Palestina syahid dalam serangan Israel terhadap mushalla di kamp Gaza untuk pengungsi di sebelah barat Kota Gaza, kata pejabat kesehatan Palestina.
Deif sebelumnya selamat dari tujuh upaya pembunuhan Israel, yang terbaru pada tahun 2021 dan menduduki puncak daftar paling dicari Israel selama beberapa dekade. Ia dianggap bertanggung jawab atas kematian puluhan warga Israel dalam bom bunuh diri. Pada Maret, Israel mengatakan pihaknya membunuh wakil Deif, Marwan Issa. Hamas sejak itu tidak membenarkan atau membantah kematiannya.
Agresi Israel yang sedang berlangsung di Gaza sejak Oktober tahun lalu sejauh ini telah mengakibatkan 38.345 korban jiwa warga Palestina, dan 88.295 orang lainnya terluka. Ribuan lainnya dikhawatirkan terjebak di bawah reruntuhan dan di jalanan, tidak dapat diakses oleh tim penyelamat dan ambulans.
Penyelamat juga diserang... baca halaman selanjutnya
Mohammed al-Mughair, anggota organisasi penyelamat Gaza, mengatakan kepada Aljazirah bahwa tentara Israel menyerang kru yang sedang dalam perjalanan untuk membantu korban serangan al-Mawasi, yang telah menewaskan sedikitnya 71 orang dan melukai ratusan lainnya.
“Saat menuju lokasi kejadian, [kami] menjadi sasaran; dua kendaraan menjadi sasaran langsung dan ini menyebabkan kematian dua rekan kami. Enam lainnya terluka, tiga di antaranya luka kritis,” katanya dalam komentar yang diterjemahkan.
Menggambarkan kejadian mengerikan dari serangan tersebut, yang terjadi di “zona aman” yang ditetapkan oleh militer penjajah. Ia mengatakan bahwa pertahanan sipil sejauh ini telah memulihkan 360 orang yang tewas dan terluka. “Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak,” tambahnya.
Apakah pembunuhan rekan-rekannya akan membuatnya terdiam atau membuatnya takut saat melanjutkan pekerjaannya? “Saya tidak takut, kami tidak ragu-ragu. Kami telah menjadi sasaran lebih dari sekali. Kami akan melanjutkan pekerjaan kami, kami akan memberitahu rakyat Palestina bahwa kami melakukan yang terbaik, dan kami memberi tahu keluarga kami ketika kami pergi bekerja bahwa kami mungkin tidak akan pernah kembali lagi,” kata al-Mughair.
Serangan terhadap al-Mawasi, yang diklaim Israel bertujuan untuk membunuh pejabat senior Hamas Mohammed Deif, bukanlah yang pertama di mana pasukan Israel menargetkan dan membunuh puluhan warga sipil Palestina untuk mencapai tujuan militer.
Bulan lalu, pasukan Israel membunuh sedikitnya 274 warga Palestina dalam operasi untuk membebaskan empat tawanan Israel di kamp pengungsi Nuseirat di Gaza tengah. Pihak berwenang di Jalur Gaza mengatakan sekitar 700 orang lainnya terluka dalam “serangan brutal yang belum pernah terjadi sebelumnya”, beberapa di antaranya berada dalam kondisi kritis.
Kenneth Roth, mantan direktur eksekutif Human Rights Watch dan profesor tamu di Universitas Princeton, mengatakan kepada Aljazirah bahwa operasi siang hari berarti “beberapa bom jelas-jelas jatuh di atau tepat di dekat pasar di Nuseirat yang dipenuhi orang”.
“Dan dalam keadaan seperti ini, diperkirakan akan ada lebih banyak korban sipil dibandingkan jika operasi dilakukan pada malam hari. Hal ini tidak sejalan dengan kewajiban untuk mengambil semua tindakan pencegahan yang mungkin dilakukan untuk menghindari bahaya bagi warga sipil.”