Sikap Rasulullah pada Gembong Kaum Munafik
Pentolan kaum munafik ini pura-pura bermuka manis di hadapan Nabi SAW.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orang-orang munafik tampil selayaknya kaum Mukminin di hadapan Nabi Muhammad SAW. Namun, dalam hatinya bergelora nafsu memusuhi Islam.
Dari Abu Hurairah. diketahui bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tanda-tanda orang munafik ada tiga. Apabila berkata, ia berdusta. Apabila berjanji, ia mengingkari. Dan apabila diberi amanah, ia berkhianat" (HR Bukhari).
Pada masa hayat Nabi SAW, terdapat seorang tokoh kaum munafik. Gembong kelompok 'bermuka dua' itu adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.
Ia berasal dari Madinah al-Munawwarah. Di tengah kabilahnya, Abdullah bin Ubay adalah seorang yang dihormati.
Pada waktu awal-awal Rasulullah SAW berhijrah dari Makkah ke Madinah, Abdullah bin Ubay menghasut orang-orang agar menolak Nabi SAW dan kaum Muhajirin. Ia merasa, kalau saja sang utusan Allah tidak berpindah ke kotanya, maka penduduk setempat akan menjadikannya pemimpin tunggal.
Namun, hasutannya tidak membuahkan hasil. Jauh lebih banyak penduduk Madinah yang mendukung kepemimpinan Rasulullah SAW. Alih-alih menunjukkan permusuhan secara terbuka, Abdullah bin Ubay memilih untuk menyembunyikan kebenciannya.
Seperti dikutip dari buku Tafsir fi Zhilal al-Qur'an karya Sayyid Quthb, sejumlah ayat Alquran turun dengan sebab (asbabun nuzul) sosok Abdullah bin Ubay. Misalnya, surah al-Munaafiquun ayat kelima hingga delapan.
Pada tahun keenam Hijriyah, terjadi Perang Bani Musthaliq yang memperhadapkan antara kaum Muslimin di satu pihak dan mereka yang memusuhi Islam di pihak lain. Dalam palagan ini, pasukan Islam meraih kemenangan.
Usai pertempuran, Rasulullah SAW memimpin kaum Muslimin untuk kembali ke Madinah. Mereka singgah terlebih dahulu di Muraisik, untuk menghimpun persediaan bekal dari sumber-sumber air setempat.
Saat itu, Umar bin Khattab menyewa seseorang dari Bani Ghaffar, yakni Jahjah bin Mas'ud untuk menuntun kudanya. Kemudian, orang suruhan ini mengambil air dari sumur terdekat.
Saat hendak menimba, ia berdesak-desakan dengan sejumlah orang. Tanpa sengaja, Jahjah menyenggol Sinan bin Wabar dari Kabilah Juhani. Lalu, terjadilah cekcok mulut.
Karena emosi, Sinan berteriak sambil menyebut-nyebut nama kabilahnya, yang termasuk penduduk asli Madinah atau Anshar. "Wahai orang-orang Anshar!" katanya.
Mendengar itu, Jahjah langsung berteriak, "Wahai orang-orang Muhajirin!"
Abdullah bin Ubay dengan bersama beberapa orang dari kaumnya segera mendatangi lokasi cekcok itu. Ia langsung memanas-manasi situasi. "Apakah mereka (kaum Muhajirin) merasa lebih baik dan lebih banyak dari kita di negeri kita sendiri?" katanya.
"Gemukkanlah anjingmu, maka ia pasti akan memakanmu!" kata kaumnya.
Abdullah menimpali, sengaja dengan mengeraskan suaranya: "Demi Allah, nanti bila kita sudah pulang, maka orang-orang yang kuat pasti akan mengusir orang-orang yang lemah dari Madinah!"
Di antara mereka yang menyaksikan keributan itu adalah Zaid bin Arqam, seorang anak kecil. Segera bocah ini berlari menuju kemah Rasulullah SAW dan memberitahukan hal itu.
Umar yang sedang berada di samping Nabi SAW merasa geram. Sahabat berjulukan al-Faruq itu meminta kepada Rasulullah SAW agar Abdullah bin Ubay dibunuh saja.
Namun, beliau menolak permintaan itu. Beliau lalu meminta semua pasukan Muslimin menyudahi transit di mata air ini dan segera bertolak pulang.
Abdullah bin Ubay panik begitu mengetahui bahwa aksinya tadi telah dilaporkan kepada Rasulullah SAW. Di perjalanan, ia sengaja berjalan di dekat Nabi SAW.
"Wahai Rasulullah," kata Abdullah bin Ubay, "mungkin anak kecil itu (Zaid bin Arqam) telah salah dalam menyampaikan beritanya dan berkata yang tidak-tidak tentang diriku."
Sesampainya di Madinah, ulah Abdullah bin Ubay membuat kaum Muslimin geram. Mereka merasa sedang diadu domba oleh gembong kelompok munafik itu.
Abdullah, yang merupakan anak Abdullah bin Ubay, tidak seperti ayahnya. Ia sangat marah dengan kelakuan bapaknya.
Abdullah lalu menemui Rasulullah SAW dan meminta kepada beliau agar dirinya-lah yang ditunjuk untuk menghukum mati Ibnu Ubay. Sebab, dia takut akan merasa marah jika melihat orang lain yang membunuh ayahnya sendiri. Dan jangan sampai pula, dirinya sebagai seorang Mukmin terbawa emosi sehingga membunuh orang Mukmin lainnya.
Namun, Rasulullah SAW lagi-lagi menolak permintaan bahwa Abdullah bin Ubay dihukum mati. Beliau bersabda, "Bahkan kami akan bersikap lemah lembut kepadanya dan berlaku baik kepadanya dalam bergaul, selama dia masih hidup berdampingan dengan kita."
Setelah kejadian itu, gembong orang-orang munafik ini mungkin saja selamat secara fisik, tetapi reputasinya semakin hancur. Bahkan, kaumnya sendiri yang kini mencerca Abdullah bin Ubay.