Beda dengan Zainul Maarif, Profesor AS Ini tak Ragu Demo dan Lempar Batu ke Arah Israel
Edward W Said adalah filsuf dan cendekiawan yang ikut merintis studi postkolonial.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Zainul Maarif mengaku sebagai "filsuf" saat sowan dengan Presiden Israel, Isaac Herzog, beberapa waktu lalu. Klaim itu disampaikan melalui akun Instagram pribadi akademisi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta tersebut.
"Saya bukan demonstran, melainkan filsuf agamawan. Alih-alih demonstrasi di jalanan dan melakukan pemboikotan, saya lebih suka berdiskusi dan mengungkapkan gagasan," tulis Zainul Maarif.
Pecatan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jakarta itu tidak sendirian, melainkan bersama empat orang Nahdliyin. Pertemuan kelima orang ini dengan Herzog menuai sorotan dari masyarakat Indonesia, termasuk jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Umumnya mengecam tindakan mereka karena terjadi ketika militer Israel (IDF) masih melancarkan genosida di Jalur Gaza, Palestina.
Bila melihat pada sejarah, tidak sedikit pemikir kaliber dunia yang menyuarakan kecaman kepada entitas zionis tersebut. Di antaranya adalah Edward Wadie Said. Bahkan, penulis magnum opus Orientalism (1978) itu pernah ikut aksi demonstrasi langsung untuk menunjukkan sikapnya yang anti-penjajahan Israel.
Publik tidak akan melupakan sebuah foto yang menampilkan akademisi Columbia University itu ketika berada di Lebanon selatan sedang melempar batu ke arah tembok perbatasan Israel, 3 Juli 2000. Mengutip pemberitaan New York Times, Said membenarkan tindakannya itu sebagai simbol kegembiraan bahwa Lebanon selatan bebas dari pendudukan Israel.
Berbeda dengan Zainul Maarif yang memilah antara demonstran dan filsuf, Said cenderung menjembatani keduanya. Bahwa dirinya pernah ikut bersama-sama warga melempar batu ke arah Israel, itu kiranya sudah cukup menjadi bukti upaya demikian.
Said tidak membedakan antara "pemikir" dan "pelaku aksi di lapangan." Peraih Bowdoin Prize dari Harvard University itu juga menulis tentang anak-anak muda Palestina, termasuk mereka yang hanya "bersenjatakan" batu.
"Mereka dengan tekad bulat dan kemauan politik yang kuat, berdiri tanpa rasa takut melawan serangan tentara Israel--yang bersenjata lengkap dan didukung secara finansial oleh negara terkaya di dunia (Amerika Serikat --Red) serta ... antek-antek intelektual," kata Said, seperti dikutip dari buku What It Means to be Palestinian: Stories of Palestinian Peoplehood (2010).
Profil filsuf, perintis studi poskolonialisme
Edward Wadie Said lahir pada 1 November 1935 di Yerusalem--yang saat itu termasuk wilayah Mandat Inggris atas Palestina (Mandatory Palestine). Kedua orang tuanya berlatar Kristen-Arab.
Said kecil mendapatkan pendidikan dasar di Gezira Preparatory School, Lebanon. Sempat pula dididik di Katedral All Saints.
Pada 1937, Said dikirim oleh orang tuanya ke Kairo untuk belajar di Victoria College, sebuah sekolah elite. Guru-guru setempat berasal dari Inggris. Jadilah anak Palestina tersebut mulai fasih berbahasa Inggris.
Kemudian, Said meneruskan ke Sekolah Gunung Hermon, untuk persiapan menempuh studi perguruan tinggi. Pada 1951, ia terbang ke Amerika Serikat (AS) untuk berkuliah di Massachusetts.
Di sana, ia mempelajari ilmu bahasa dan teori-teori sastra. Dalam kurun waktu tersebut, Said sudah lancar berbahasa Prancis, di samping Inggris dan tentunya Arab.
Pada 1957, ia meraih sarjana sastra dari Princeton University. Sekira tiga tahun kemudian, Said menyabet master. Adapun studi doktoral tentang sastra Inggris diselesaikannya pada 1964 di Harvard University.
Said berkarier di Columbia University sejak tahun 1963. Pada 1977, ia didaulat menjadi profesor bahasa Inggris dan sastra bandingan di kampus setempat. Selain itu, akademisi Palestina-Amerika ini juga menjadi profesor tamu di Yale University. Barulah pada 1992, ia diangkat menjadi profesor penuh, posisi akademik tertinggi, di Columbia.
Berbagai jabatan lain juga diembannya. Said pernah menjadi presiden Modern Language Association, editor Jurnal triwulanan Arab Study, dan anggota Academy of Arts and Knowledge. Ia juga duduk di Dewan eksekutif PEN Royal Society of Literature dan jajaran American Philosophical Society.
Said sangat produktif menghasilkan karya. Beberapa di antaranya adalah The Question of Palestine (1979), Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World (1981), The Politics of Dispossession (1994), Peace and its Discontents: Essays on Palestine in the Middle East Peace Process (1995), The World, the Text, and the Critic (1983), Nationalism, Colonialism, and Literature: Yeats and Decolonization (1988), Musical Elaborations (1991), dan Culture and Imperialism (1993). Adapun memoar pribadinya berjudul Out of Place (1999).
Adalah Orientalism (1978), yakni karyanya yang kian melejitkan nama Said di level internasional. Buah penanya ini diakui luas sebagai karya penting yang turut merintis studi postkolonialisme atau pascakolonial.
Melalui Orientalism, Said mengungkapkan cara-cara para intelektual Eropa membingkai citra Islam sebagai agama yang keras, ekstrem, dan anti-dialog. Mereka juga membangun konstruksi "Timur" sebagai lawan daripada "Barat" dalam hubungan "mereka-kami" yang hierarkis.
Karena memiliki kepentingan tertentu, kaum orientalis menjelaskan soal Arab, bangsa Arab, dan--pada akhirnya--Islam serta umat Islam secara reduksionis. Karena itu, kerja-kerja orientalis berkaitan dengan proyek kolonialisme Barat.
Pada 24 September 2003, Edward Said menghembuskan nafas terakhir di New York City, AS. Sebelumnya, ia menjalani perawatan lantaran sakit leukimia yang dideritanya. Hingga tutup usia, filsuf yang juga demonstran ini tidak kunjung melihat tanah kelahirannya, Palestina, merdeka dari penjajahan Israel.