Menggali Makna Adab

Adab berkaitan dengan pendidikan tentang kebajikan.

Republika/Agung Supriyanto
Makna adab contohnya ialah berbakti kepada orang tua (Ilustrasi)
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istilah adab sudah menjadi bagian dari percakapan sehari-hari. Kata itu sendiri berasal dari bahasa Arab. Ia turunan dari kata kerja adaba yang berarti 'kesopanan', 'tata krama', atau 'nilai-nilai' yang dianggap baik masyarakat.

Baca Juga


Mengutip pernyataan Abu Isma’il al-Harawi, pengarang kitab Manazil as-Sa’irin, adab adalah "menjaga batas antara berlebihan dan meremehkan." Orang yang beradab mengetahui bahaya pelanggaran.

Menurut Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali, adab menurut Rasulullah SAW adalah "pendidikan tentang kebajikan" yang merupakan bagian dari keimanan.

Masih merujuk pada buku yang sama, adab merupakan keindahan dan kepatutan suatu urusan agama atau dunia. Kesemuanya itu dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan merupakan metode utama dalam memperadabkan manusia.

Nilai-nilai ketaatan kepada Allah SWT dan cinta kepada Rasulullah biasanya berdasar pada pendidikan moral. Seseorang yang tidak peduli dengan pendidikan moral, ia tidak akan mampu mencapai derajat kesalihan.

Adab terhadap Allah

Adab atau kesopanan di hadapan Allah juga diperintahkan langsung. Ini seperti perintah berbusana yang baik dan sopan ketika shalat. “Pakailah pakaian yang indah ketika memasuki masjid.” (QS al-Araaf [7] : 31).

Dalam kasus berdoa sebagai contoh, ada beberapa adab yang mesti diperhatikan oleh Muslim. Ini dengan tujuan agar doa tersebut dikabulkan oleh Tuhan.

Ahmad bin Muhammad bin Ajibah al-Hasani dalam Iqazh al-Himam Fi Syar al-Hikam mengemukakan ada empat adab yang dilakukan ketika memanjatkan doa.

Pertama, niat berdoa adalah ibadah. Berdoa merupakan bentuk pengabdian, artinya doa mesti bersifat meminta, bukan menuntut.

Hal itu karena ketetapan menyangkut seseorang telah tertulis sejak zaman azali. Bahkan, sebelum permintaan mereka dipanjatkan. Tetapi, Allah berkuasa untuk memberi, menahan, dan menolak permintaan hamba-Nya.

Kedua, pengajuan doa harus dibarengi dengan ibadah yang tekun. Mengharap surga, pahala, dan kedudukan yang tinggi bisa tercapai bila kualitas ibadah semakin baik. Tidak dikotori dengan ragam perusak amal, seperti riya, ujub, dan tergesa-gesa.

Bila demikian, ibadah pun tidak sempurna. Bahkan, bisa tertolak di sisi-Nya. Ibadah yang bukan karena Allah bisa dikategorikan sebagai penyekutuan Allah dengan makhluk-Nya. “Dan, itu termasuk dosa besar,” kata al-Hasani.

Ketiga, bersikap pasrah dan menyerahkan diri kepada Allah. Doa akan mendapatkan setidaknya tiga respons yang berbeda. Terkabul lantaran memang baik untuknya. Kedua, penundaan karena belum membutuhkan dan dapat diganti dengan yang lain atau diberikan saat di akhirat. Dan ketiga, penolakan sebab akan berdampak mudharat pada yang bersangkutan.

Terakhir, ketika doa telah terkabul, maka apa yang telah diminta harus digunakan dengan sebaik-baiknya. Apa yang telah dikabulkan harus ditujukan pada perbuatan baik yang diridhai oleh Allah.

Tentunya, adab tidak terbatas pada persoalan personal-transendental. Ia juga mencakup tata krama berinteraksi dengan sesama manusia. Tentu berbeda antara adab terhadap Allah dan Rasul-Nya dengan adab kepada guru, murid, orang tua, atau kawan--sebagai contoh sesama manusia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler