Amnesty: Larangan Atlet Prancis Berhijab di Olimpiade adalah Standar Ganda Diskriminatif
IOC tak mau mengintervensi aturan buruk dari pemerintah Prancis ini.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty International, sebuah organisasi non-pemerintah internasional dengan tujuan mempromosikan seluruh hak asasi manusia, mengkritik keras larangan penggunaan hijab oleh para atlet Muslimah Prancis di Olimpiade Paris.
Larangan ini dikeluarkan pemerintah Prancis dengan alasan netralitas politik. Padahal Komite Olimpiade Internasional (IOC) sudah sejak 1996 mengangkat larangan menggunakan hijab bagi atlet yang berpartisipasi di Olimpiade.
BACA JUGA: Adidas Coret Bella Hadid dari Iklan Sepatu Usai Dikritik Israel, Netizen Serukan Boikot
Atlet berhijab telah meraih medali di cabang olahraga anggar, angkat besi, dan taekwondo di Olimpiade sejak larangan tersebut dicabut. Ini menunjukkan keberhasilan perubahan IOC dalam memperluas aksesibilitas perempuan ke olahraga. Pasal 59 Piagam Olimpiade mengatur berbagai sanksi untuk pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuannya.
Namun yang terjadi di Prancis justru langkah mundur. Amnesty menyebutkan, larangan hijab dalam olahraga Prancis memperlihatkan standar ganda yang diskriminatif menjelang Olimpiade dan Paralimpiade. Otoritas Prancis dinilai telah melanggar hukum hak asasi manusia internasional dan memperlihatkan kemunafikan diskriminatif dan kelemahan yang sangat besar dari IOC yang tak bereaksi maksimal atas ketentuan ini.
Hal tersebut terungkap dalam sebuah laporan baru Amnesty yang diterbitkan menjelang Olimpiade Paris berjudul “Kami tidak bisa bernapas lagi. Bahkan olahraga pun, kita tidak bisa melakukannya lagi": Pelanggaran hak asasi perempuan Muslim dan anak perempuan melalui larangan hijab dalam olahraga di Prancis.
Laporan ini merinci dampak buruk yang ditimbulkan oleh larangan hijab terhadap perempuan Muslim dan anak perempuan di semua level olahraga di Prancis. “Melarang atlet Prancis berkompetisi dengan hijab olahraga di Olimpiade dan Paralimpiade merupakan ejekan terhadap klaim bahwa Paris 2024 adalah Olimpiade Kesetaraan Gender pertama dan membongkar diskriminasi gender yang rasis yang mendasari akses olahraga di Prancis,” ujar Anna Blus, Peneliti Hak Asasi Perempuan Amnesty International di Eropa, dikutip dari laman Amnesty, Jumat (19/7/2024).
Ia mengatakan, aturan diskriminatif yang mengatur apa yang dikenakan perempuan merupakan pelanggaran hak asasi perempuan Muslim dan anak perempuan. Hal ini berdampak buruk pada partisipasi mereka dalam olahraga, menghalangi upaya untuk membuat olahraga menjadi lebih inklusif dan lebih mudah diakses.
Larangan hijab di berbagai cabang olahraga di Prancis telah menciptakan situasi yang tidak dapat dipertahankan. Negara yang menjadi tuan rumah Olimpiade ini melanggar berbagai kewajiban di bawah perjanjian hak asasi manusia internasional yang menjadi bagian dari perjanjian tersebut. Ini juga termasuk komitmen dan nilai-nilai yang ditetapkan dalam kerangka kerja hak asasi manusia IOC.
Meskipun ada tuntutan berulang kali, IOC sejauh ini menolak untuk meminta otoritas olahraga di Prancis mencabut larangan terhadap atlet mereka mengenakan hijab berlaga di Olimpiade di semua tingkatan olahraga. Menanggapi surat dari koalisi organisasi yang mendesaknya untuk mengambil tindakan, IOC menyatakan bahwa larangan hijab di Prancis berada di luar kewenangan gerakan Olimpiade, dengan mengklaim bahwa “kebebasan beragama ditafsirkan dengan berbagai cara oleh berbagai negara.”
Tanggapan IOC tidak menyebutkan hak-hak lain yang dilanggar oleh larangan otoritas Prancis tersebut, seperti kebebasan berekspresi dan akses terhadap kesehatan.
Larangan menggunakan penutup kepala olahraga di Prancis bertentangan dengan aturan pakaian badan olahraga internasional seperti FIFA (Federasi Sepak Bola Internasional), FIBA (Federasi Bola Basket Internasional), dan FIVB (Federasi Bola Voli Internasional). Amnesty mengamati peraturan di 38 negara Eropa dan menemukan bahwa Prancis adalah satu-satunya negara yang telah mengabadikan larangan penutup kepala religius baik di tingkat hukum nasional maupun peraturan olahraga individu.
Salah satu yang menyuarakan kekecewaanya atas aturan ini adalah atlet bola basket Muslimah Prancis Salimata Sylla. Helene Ba, seorang pemain bola basket lainnya, mengatakan kepada Amnesty bahwa larangan hijab di Olimpiade merupakan pelanggaran nyata terhadap piagam, nilai, dan ketentuan Olimpiade, serta pelanggaran terhadap hak-hak dasar dan kebebasan manusia. "Saya pikir ini akan menjadi momen yang memalukan bagi Prancis,” kata dia
Seorang wanita lain mengatakan kepada Amnesty bahwa aturan ini menyedihkan. "Memalukan berada di titik ini pada tahun 2024, menghalangi mimpi hanya karena selembar kain,” kata wanita itu.
Di Prancis, larangan...
Di Prancis, larangan bagi perempuan Muslim untuk mengenakan penutup kepala keagamaan dalam bentuk apa pun jauh melampaui Olimpiade dan Paralimpiade. Larangan berjilbab diberlakukan di beberapa cabang olahraga termasuk sepak bola, bola basket dan bola voli, baik di tingkat profesional maupun amatir. Larangan-larangan ini, yang diberlakukan oleh federasi olahraga, berarti bahwa banyak wanita Muslim tidak hanya dikucilkan dari partisipasi dalam olahraga, tetapi juga tidak pernah mendapatkan kesempatan pelatihan dan kompetisi yang diperlukan untuk mencapai tingkat Olimpiade.
Larangan di Prancis menyebabkan penghinaan, trauma, dan ketakutan, serta mengakibatkan banyak perempuan dan anak perempuan berhenti dari olahraga yang mereka sukai atau bahkan mencari peluang di negara lain. Mencegah perempuan dan anak perempuan Muslim untuk berpartisipasi secara penuh dan bebas dalam olahraga, baik untuk bersantai dan rekreasi maupun sebagai karier, dapat berdampak buruk pada semua aspek kehidupan mereka, termasuk kesehatan mental dan fisik.
Helene Ba, yang tidak diizinkan untuk bertanding bola basket sejak Oktober 2023, mengatakan kepada Amnesty, “Secara mental juga sulit karena Anda benar-benar merasa dikucilkan. Terutama jika Anda pergi ke bangku cadangan dan wasit menyuruh Anda pergi ke tangga [tribun]. Semua orang melihat Anda, itu jalan yang memalukan.”
Di bawah hukum internasional, netralitas negara atau sekularisme (“laicite”) bukanlah alasan yang sah untuk memberlakukan pembatasan kebebasan berekspresi dan/atau kebebasan beragama. Namun selama beberapa tahun, pihak berwenang Prancis telah menggunakan konsep-konsep ini untuk membenarkan pemberlakuan hukum dan kebijakan yang secara tidak proporsional berdampak pada perempuan dan anak perempuan Muslim.
Semua ini terjadi dengan latar belakang kampanye tanpa henti selama dua puluh tahun tentang pembuatan undang-undang dan peraturan yang berbahaya bagi perempuan dan anak perempuan Muslim di Prancis. Aturan yang dipicu oleh prasangka, rasisme, dan Islamofobia berbasis gender.
Foune Diawara, salah satu presiden dari kelompok sepak bola Hijabeuses, mengatakan kepada Amnesty International,“Perjuangan kami bukanlah perjuangan politik atau agama, tetapi berpusat pada hak asasi manusia untuk berpartisipasi dalam olahraga.”
“Tidak ada pembuat kebijakan yang boleh mendikte apa yang boleh atau tidak boleh dikenakan oleh seorang wanita dan tidak ada wanita yang boleh dipaksa untuk memilih antara olahraga yang dia sukai dengan keyakinan, identitas budaya, atau kepercayaannya,” kata Anna.
“Belum terlambat bagi pihak berwenang Prancis, federasi olahraga, dan IOC untuk melakukan hal yang benar dan mencabut semua larangan terhadap atlet yang mengenakan jilbab dalam olahraga Prancis, baik di Olimpiade musim panas maupun di semua cabang olahraga, di semua tingkatan.”
Pada 11 Juni, anggota Sport & Rights Alliance dan Basket Pour Toutes menerbitkan surat yang ditulis kepada IOC. Isinya menuntut agar IOC secara terbuka menyerukan kepada otoritas olahraga di Prancis untuk mencabut semua larangan terhadap atlet yang mengenakan jilbab dalam olahraga Prancis, baik di Paris 2024 maupun di setiap saat dan di semua tingkatan olahraga. Pada 18 Juni, IOC memberikan tanggapan kepada organisasi-organisasi tersebut, yang tak memuaskan.
Selain tak mau mengintervensi larangan salah kaprah itu, IOC juga seperti melanggar misinya sendiri. IOC selalu menyatakan bahwa misi dan perannya adalah untuk "mendorong dan mendukung promosi perempuan dalam olahraga di semua tingkatan" dan "menentang segala bentuk diskriminasi yang mempengaruhi Gerakan Olimpiade."