Mengapa Houthi dari Negara Miskin Berani Lawan Israel, Sedangkan Negara Kaya Teluk Diam?
Drone Houthi berhasil melintasi sejumlah negara sebelum jatuh ke Tel Avi.
REPUBLIKA.CO.ID, HUDAYDAH -- Sebuah pesawat tak berawak Yaman menyerang bangunan di ibu kota Israel, Tel Aviv pada Kamis pekan lalu dan menewaskan sedikitnya satu orang. Pasukan Houthi menyebut drone mereka melewati pertahanan udara Israel dan menyatakan bahwa Tel Aviv sebagai zona tidak aman dan target utama senjata mereka.
Israel pun tak menampik dengan serangan tersebut dan menyebut pertahanan mereka bobol karena kesalahan manusia.
Video di media sosial menunjukkan drone jenis layang terbang di atas garis pantai dekat Tel Aviv sebelum tiba di kota tersebut dan menyebabkan sebuah ledakan besar.
Kelompok Houthi mengatakan, drone baru tersebut tidak dapat dideteksi oleh pertahanan udara Israel dan menamakannya Jafa, diambil dari nama Palestina untuk Tel Aviv sebelum diduduki oleh Israel.
Jalur drone menunjukkan bahwa pesawat tanpa awak itu melewati lebih dari sekedar pertahanan Israel, menempuh jarak hampir 1000 mil atau sekitar 1600 km.
“Drone Yaman tidak hanya melewati pertahanan udara Israel, tetapi juga melewati Angkatan Laut AS, Angkatan Laut Kerajaan Inggris. Rudal ini berhasil melewati pertahanan udara Saudi… melewati Yordania, melewati segalanya, dan berhasil menyerang ibu kota negara pendudukan Israel,” kata jurnalis dan editor The Cradle Esteban Carrillo kepada Sputnik.
“[Israel] menyebutnya akibat kesalahan manusia. Kami melihat sesuatu masuk melalui selatan dan (mereka) tidak menganggapnya sebagai ancaman. Ya, mereka salah.”
Kelompok Houthi telah menegaskan bahwa tindakan terhadap Israel dilakukan sebagai solidaritas terhadap warga Palestina di Gaza yang menderita akibat kampanye militer Israel yang digambarkan sebagai genosida oleh banyak pemimpin dunia dan organisasi hak asasi manusia.
Ironisnya, Yaman merupakan salah satu negara termiskin di dunia yang berani dengan gagah melawan Israel. Sementara di sekitarnya,terdapat beberapa negara Arab kaya di wilayah tersebut, yang memiliki sumber daya untuk berbuat lebih banyak.
Carrillo mengatakan dia tidak terkejut bahwa negara-negara Teluk menolak berbuat lebih banyak. “Saat ini, ini sudah menjadi status quo selama beberapa dekade, bukan? Kapan Saudi pernah membantu Palestina? Kapan Irak? Kapan orang Yordania, kan? Seperti, sejak [Perang Enam Hari], [yang] sepertinya sudah lama sekali, mereka pada dasarnya telah menormalisasi [hubungan dengan Israel], begitu pula dengan Mesir.”
Carrillo mencatat bahwa meskipun banyak negara di kawasan ini belum secara resmi menormalisasi hubungan dengan Israel, hal ini seolah telah menjadi normalisasi de facto karena keinginan negara-negara Teluk untuk menjaga hubungan hangat dengan Barat.
“Mereka masih percaya pada supremasi dan keunggulan AS, dan Israel," kata Carrillo.
“Israel selalu menjadi nomor satu. Saat ini ada kandidat presiden AS yang bersaing untuk menunjukkan siapa yang paling Zionis di antara mereka semua.”
Meskipun negara-negara Teluk tertentu lebih bersedia mengambil tindakan yang membuat marah AS, seperti ketika OPEC+ memangkas produksi minyak yang bertentangan dengan keinginan Presiden AS Joe Biden, tapi tindakan tersebut biasanya memberikan keuntungan finansial bagi negara-negara Arab. Sementara membantu Palestina hanya memberikan manfaat moral sebagai bentuk sikap etis.
“Tidak ada yang bisa diperoleh dari [membantu Palestina] kecuali sikap moralnya, bukan? Sikap etis untuk menunjukkan bahwa Anda peduli terhadap umat manusia yang dikucilkan hari demi hari selama sembilan bulan,” jelas Carrillo, seraya menambahkan bahwa ini bukanlah sesuatu yang menarik bagi para pemimpin Teluk.
Adapun gerakan kelompok Yaman dan Hizbullah di Lebanon telah memberikan dampak yang signifikan terhadap Israel. Hizbullah telah memaksa evakuasi di wilayah utara. Sementara Houthi telah menghentikan pengiriman ke Israel dan negara-negara lain.
Kekuatan gabungan Amerika dan Inggris tidak mampu menghentikan mereka. Serangan terhadap Tel Aviv membuktikan bahwa Houthi memiliki kemampuan yang lebih besar dari perkiraan sebelumnya, dan mewakili fase baru dalam perang tersebut.
“[Surat kabar Israel] Harian Walla mengatakan insiden pesawat tak berawak membuktikan bahwa 'rasa hormat telah runtuh'. Haaretz… mengatakan bahwa insiden drone ini – begitulah mereka menyebutnya – mencerminkan wajah baru dalam perang. Surat kabar Maariv mengatakan ini adalah langkah awal dari Yaman,” kenang Carrillo.
Harian Walla juga menanyakan apakah ini adalah awal perang dengan Yaman, namun secara terbuka bertanya-tanya apakah Angkatan Pertahanan Israel mampu melakukan tugas tersebut. “Dalam hal ini, muncul pertanyaan apakah IDF memiliki sarana yang tepat untuk melakukan serangan signifikan [terhadap Yaman],” tulis surat kabar tersebut (diterjemahkan).
Keberanian Houthi
Israel membalas serangan Houthi dengan menggempur Pelabuhan Hudaidah di Yaman. Juru bicara militer Houthi Yehya Saree berjanji akan menanggapi serangan tersebut, dengan mengatakan, Houthi tidak akan ragu untuk menyerang 'target vital' Israel. Houthi juga memperingatkan bahwa Tel Aviv – kota besar yang menampung sejumlah misi diplomatik – masih belum aman.
“Kami telah bersiap untuk perang jangka panjang melawan musuh ini sampai agresi berhenti dan blokade terhadap rakyat Palestina dicabut,” kata Saree.
“Respons terhadap agresi Israel atas serangan terhadap negara kami pasti akan datang dan akan sangat besar,” kata pemberontak Houthi.
Mereka juga memperingatkan akan melanjutkan operasi terhadap kapal-kapal Israel, Amerika, dan Inggris sampai Zionis menghentikan aksi pengepungan di Gaza.
Pada Ahad Israel mengatakan mereka mencegat rudal yang diluncurkan dari Yaman. Proyektil tersebut tidak melintasi wilayah Israel. Sirene roket dan rudal dibunyikan menyusul kemungkinan jatuhnya pecahan peluru. "Insiden telah selesai,” kata IDF.
Netanyahu mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Sabtu bahwa Hudaidah bukanlah pelabuhan yang 'tidak punya salah'.
“Itu digunakan untuk tujuan militer, digunakan sebagai pintu masuk senjata mematikan yang dipasok ke Houthi oleh Iran,” kata Netanyahu, seraya menambahkan bahwa Hudaidah juga telah digunakan untuk menyerang pelayaran internasional di Laut Merah.
Netanyahu juga mengatakan operasi tersebut, yang mencapai sasaran 1.800 km (1.118 mil) dari perbatasan Israel, menunjukkan musuh Israel serius dalam menanggapi ancaman.
“Hal ini memperjelas kepada musuh-musuh kita bahwa tidak ada tempat yang tidak dapat dijangkau oleh negara Israel,” kata Netanyahu.