Satukan Faksi Palestina, Cina Tantang Adidaya AS

Deklarasi Beijing tunjukkan pergeseran kekuatan dunia.

EPA-EFE/KIM LUDBROOK
Pengunjuk rasa dalam aksi mendukung kemerdekaan Palestina di Konsulat Amerika Serikat sebagai bagian dari hari aksi global mendukung Palestina merdeka, di Johannesburg, Afrika Selatan.
Rep: Bambang Noroyono Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deklarasi Beijing, yang berhasil membuat kesepakatan rekonsiliasi antara faksi-faksi pejuang di Palestina, membuktikan peran ampuh Cina, dalam upaya mendorong internasional untuk satu suara mendukung kemerdekaan penuh negara Palestina. Pengamat Timur Tengah Dina Sulaeman mengatakan, keberhasilan diplomasi dari negeri Tirai Bambu itu, pun membuktikan juga kegagalan negara-negara Arab, dan adikuasa Amerika Serikat (AS) dalam upaya perdamaian di kawasan ‘tanah yang dijanjikan’ itu.

Baca Juga


Dina menilai, keberhasilan dalam membuat Deklarasi Beijing tersebut, menunjukkan saat ini China, sebagai negara super power yang akan mengikis dominasi Paman Sam, dan Eropa. “Salah-satu syarat utama dalam keberhasilan mediasi, adalah adanya mediator yang memiliki power (kekuatan) besar, dan yang tidak memihak. Negara-negara Arab, pada dasarnya tidak punya power, dan sangat inferior terhadap dominasi AS. Sehingga, sulit mengambil posisi yang independen terkait isu Palestina,” kata Dina kepada Republika, Rabu (24/7/2024).

Deklarasi Beijing tersebut, kata Dina, akan memberikan reputasi positif dan signifikan bagi politik internasional China di level global, pun juga untuk kemerdekaan seluruh rakyat di Palestina. “Penandatanganan Deklarasi Beijing ini, menunjukkan bahwa diplomasi ala Tiongkok, lebih mempunyai peluang yang besar dalam membantu perjuangan Palestina yang telah berlangsung 76 tahun,” ujar Dina. Selama ini, internasional selalu mengandalkan peran Paman Sam, dan negara-negara Arab, serta kawasan Timur Tengah lainnya.

Namun kata Dina, negara-negara yang diandalkan tersebut, malah memunculkan ketidakpercayaan bagi faksi-faksi di Palestina. “Keberhasilan perjanjian perdamaian 14 faksi-faksi di Palestina ini, karena upaya Tiongkok yang tidak memihak. Dan lebih mampu memberikan ruang bagi rakyat Palestina, untuk merumuskan sendiri apa yang terbaik bagi mereka. Akan jauh berbeda hasilnya jika penengahnya, adalah Amerika Serikat (dan negara-negara monarki Arab) yang sejak awal, sudah jelas lebih berpihak kepada Israel,” begitu ujar Dina.

Menlu Cina Wang Yi (tengah) berbicara di antara Wakil Ketua Fatah Mahmoud al-Aloul (kiri), dan anggota senior Hamas Mussa Abu Marzuk, di Wisma Negara Diaoyutai di Beijing, Selasa, 23 Juli 2024. - (Pedro Pardo/Pool via AP)

Cina menjadi tuan rumah pertemuan antara pemimpin-pemimpin faksi pejuang Palestina. Dalam pertemuan tersebut, China berhasil membawa 14 pemimpin faksi-faksi pejuang Palestina itu untuk sepakat melakukan rekonsiliasi perdamaian, dalam Deklarasi Beijing.

Dua faksi utama Palestina yang terlibat, dan setuju menandatangani Deklarasi Beijing tersebut, adalah Hamas dan Fatah yang selama ini saling berseteru. Hamas merupakan faksi politik nonkooperatif yang populer di Palestina, namun berbasis di Jalur Gaza. Sedangkan Fatah merupakan faksi politik kooperatif yang berbasis di Ramallah.

Dalam Deklarasi Beijing tersebut, para pemimpin faksi-faksi politik itu, setuju untuk rekonsiliasi dan memprioritaskan tujuan nasional Palestina. Para pemimpin faksi tersebut, pun saling setuju mengakhiri perpecahan, dan sepakat membentuk pemerintahan nasional bersama.

Departemen Luar Negeri AS menyatakan penolakan tegasnya atas kesepakatan pemerintahan bersatu yang dicapai faksi-faksi Palestina di Beijing pada Senin lalu. Mereka bersikeras menolak Hamas kembali berkuasa di Jalur Gaza. 

Departemen Luar Negeri AS pada Selasa mengumumkan bahwa mereka akan meninjau kembali kesepakatan yang dimediasi Cina untuk memulihkan keretakan selama bertahun-tahun antara faksi-faksi Palestina dan membentuk pemerintahan persatuan nasional. Pernyataan tersebut menyuarakan penolakan terhadap peran kelompok perlawanan Palestina, Hamas.

“Kami belum meninjau teks deklarasi Beijing, tentu saja, kami akan melakukan hal itu. Kami telah menjelaskan selama berbulan-bulan bahwa Hamas adalah organisasi teroris, sesuatu yang telah kami jelaskan sebelum 7 Oktober,” kata juru bicara Kemenllu AS, Matthew Miller. pada konferensi pers, Selasa waktu AS.

AS tetap bersikeras pada sikap mereka yang menerapkan status “teroris” pada gerakan Hamas. Banyak negara sudah mencabut status itu dan mengakui Hamas sebagai bagian tak terpisahkan dari perjuangan Palestina.

“Ketika Anda melihat pemerintahan Gaza pascakonflik, seperti yang telah kami jelaskan, kami ingin melihat Otoritas Palestina mengatur Gaza yang bersatu dengan Tepi Barat. Namun tidak, kami tidak mendukung peran Hamas. " kata Miller.

Bagaimana AS TErlibat Genosida di Gaza? - (Republika)

Dia mengatakan AS mendorong Cina untuk menggunakan pengaruhnya terhadap negara-negara di kawasan untuk mencegah eskalasi konflik – merujuk pada Teheran.

Menteri Luar Negeri rezim Israel Israel Katz juga mengecam partai Fatah pimpinan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas karena menandatangani deklarasi “persatuan nasional” dengan Hamas.

Menurut Times of Israel, diplomat tertinggi rezim pendudukan mengatakan “Pada kenyataannya, hal ini tidak akan terjadi karena pemerintahan Hamas akan dihancurkan, dan Abbas akan mengawasi Gaza dari jauh,” tulisnya dalam sebuah postingan di media sosial. “Keamanan Israel akan tetap berada di tangan Israel.”

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler