Penghapusan Jurusan IPA-IPS-Bahasa di SMA Memunculkan Sederet Isu di Lapangan

Penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di tingkat SMA masih menuai pro dan kontra.

Republika/ Yogi Ardhi
Seorang guru berfoto dengan siswa-siswanya di sela peringatan Hari Guru Nasional di SMAN 12 Bandung, Senin (27/11/2023). Penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa masih menuai pro dan kontra.
Rep: Kamran Dikarma Red: Mas Alamil Huda

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG – Penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di tingkat SMA masih menuai respons beragam dari kalangan praktisi serta pengamat pendidikan. Kebijakan tersebut dinilai masih menyisakan beberapa isu di lapangan.

Baca Juga


Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang Edi Subhkan mengatakan, keputusan penghapusan IPA, IPS, dan Bahasa memiliki dampak positif serta negatif. Dia mengungkapkan, salah satu pertimbangan dihapuskannya jurusan IPA, IPS, dan Bahasa adalah karena adanya semacam stigma.

“Jadi ada stigma kalau anak-anak pintar masuknya IPA, yang tidak terlalu pintar masuknya IPS, dan yang paling tidak pintar itu masuknya Bahasa. Jadi ada stigma negatif yang merugikan siswa itu sendiri. Padahal mungkin saja ada anak pintar yang memang mau belajar bahasa karena minatnya bahasa,” ucap Edi kepada Republika, Rabu (24/7/2024).

Dia menambahkan, penghapusan penjurusan di SMA juga dimaksudkan agar siswa bisa memiliki keleluasaan untuk mengambil mata pelajaran (mapel) yang akan menunjang studi lanjutan maupun kariernya di masa depan. Edi menyebut, ada cukup banyak pilihan program studi di tingkat pendidikan tinggi yang tidak terakomodasi oleh penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA.

“Jadi peniadaan jurusan ini memberikan peluang bagi yang mau studi lanjut atau melanjutkan karier yang tidak secara langsung ditunjang ketiga penjurusan itu. Jadi ada sisi fleksibilitas di situ,” ujar Edi.

Kendati demikian, Edi mencatat, dihapuskannya penjurusan di tingkat SMA juga memiliki kekurangan. Misalnya ketika siswa tidak bisa menentukan mapel pilihan apa yang hendak diambilnya. “Maka mungkin saja dia (siswa) akan memilih mapel yang mubazir. Artinya tidak bisa menunjang betul karier atau bekal studi lanjut,” ucapnya.

Selain itu, Edi menambahkan, dengan diberikannya keleluasaan pada siswa untuk memilih mapel secara mandiri, muncul kemungkinan ada beberapa mapel yang tidak dipilih atau sepi peminat. “Akhirnya guru yang mengampu mapel tersebut tidak bisa memenuhi target minimal jam mengajar dalam satu minggu. Imbasnya pasti terkait dengan keberlanjutan dari kariernya dia, termasuk tunjangan, sertifikasi guru, dan seterusnya,” kata Edi.

Menurut Edi, persoalan lainnya adalah mungkin saja tidak semua sekolah itu bisa memenuhi kebutuhan pilihan mapel siswa. “Jadi pilihan siswa beragam, tapi gurunya tidak ada,” ucapnya.

Mala di Sekolah Kita - (Republika)

Siswa bisa memilih.. baca di halaman selanjutnya.

 

Sementara itu, Rektor Universitas PGRI Semarang, Sri Suciati, mengatakan, sistem penjurusan yang diterapkan sebelum diberlakukannya Kurikulum Merdeka sebenarnya membuat siswa memiliki jalur lebih terstruktur dan spesifik. Kendati demikian, pilihan mata pelajaran yang dapat diambil siswa memang lebih terbatas.

“Penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa tidak akan menjadi masalah jika model penggantinya membuat siswa lebih nyaman dan menjadi lebih senang belajar karena sesuai dengan pilihan pribadinya,” kata Sri kepada Republika.

Dengan dihapuskannya jurusan IPA, IPS, dan Bahasa, mulai kelas XI, siswa akan dapat memilih empat dari 14 mapel pilihan. Menurut Sri, model tersebut memang lebih fleksibel bagi siswa. Sebab mereka bisa mengombinasikan mapel dengan pilihan variatif serta menyesuaikan dengan berbagai tujuan karier dan akademisnya.

“Dampak yang timbul (dari penghapusan IPA, IPS, dan Bahasa), sebenarnya hanya butuh penyesuaian saja. Masa transisi yang biasanya akan membuat sekolah sedikit kerepotan. Namun jika sudah berjalan, akan menjadi terbiasa,” kata Sri.

Sementara itu guru dari SMAN 3 Semarang, Endang W, mengungkapkan, meski penjurusan dihapus, mapel rumpun atau peminatan tetap diterapkan di Kurikulum Merdeka. “Siswa masih bisa memilih mapel yang diminati atau yang sesuai kemampuannya,” katanya kepada Republika.

Ketika ditanya apakah peminatan mapel secara mandiri oleh siswa lebih efektif dalam mengungkap kemampuan atau potensi mereka, Endang enggan menjawab langsung. “Selama yang saya lihat lebih efektif tentu saja dengan bantuan orang tua dan peran BK yang mengarahkan serta meyakinkan siswa,” ujarnya.

Kendati demikian, Endang menilai, akan ada beberapa kendala jika siswa harus memilih mapel yang diminatinya secara mandiri. Misalnya ketika menu yang tersedia terbatas dibanding dengan peminatan atau pilihan siswa. “Sehingga siswa yang terlambat memilih kelas akan mendapat kelas sisa, yang mungkin tidak sesuai dengan yang diinginkan,” ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler