Sejarah Likud, Partai Dipimpin Netanyahu di Israel
Likud menjadi partai yang dominan di Israel sejak 2005.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak 2005 hingga saat ini, Benjamin Netanyahu memimpin Partai Likud. Dalam rentang waktu tersebut, ia pun menjabat perdana menteri (PM) Israel selama dua periode, yakni 2009-2021 dan 2022 hingga sekarang.
Sebelum berhaluan kanan ekstrem, Partai Likud lahir sebagai sebuah partai politik (parpol) sekuler pada 13 September 1973. Ia muncul sebagai sebuah persatuan partai-partai politik yang berkomitmen menandingi partai-partai sayap kiri di Knesset (DPR Israel). Di antara mereka yang membentuk Likud ini adalah Herut, Partai Liberal, Reshima Mamlakhtit, dan Gerakan Israel Raya.
Hingga tahun 1988, Herut selalu menjadi unsur mayoritas dalam Likud. Menachem Begin (mati tahun 1992), sang pendiri Herut, juga memimpin Likud pada masa-masa awal.
Likud meraih suara yang cukup signifikan dalam pemilu Israel pada 1973, yang digelar sekira dua bulan sesudah Perang Yom Kippur. Ia berhak atas 39 kursi di Knesset atau selisih 12 kursi dari koalisi partai sayap kiri yang dipimpin Golda Meir (mati 1978).
Barulah sejak pemilu 1977, Likud keluar sebagai partai pemenang. Ia mengambil 43 kursi di Knesset, lebih banyak 11 kursi dibanding koalisi kiri.
Memasuki periode 1990-an, Likud mulai kehilangan kepercayaan dari mayoritas publik Israel. Terbukti, parpol ini kalah dalam pemilu tahun 1993. Yitzhak Samir (mati 2012), yang naik menggantikan Begin pada 1983, lalu mundur dari jabatan ketua umum Likud.
Mulai saat itu, naik tokoh baru yang memimpin parpol ini. Dialah Benjamin Netanyahu, yang sebelumnya menjabat sebagai duta besar Israel untuk PBB.
Pada 1996, Netanyahu berhasil meraih suara terbanyak sehingga berhak atas kursi PM Israel. Ia sukses mengalahkan wakil dari Partai Buruh, Shimon Peres (mati 2016).
Sejak 1999, Likud dilanda konflik internal. Bahkan, Netanyahu sempat terjungkal dari kursi ketum.
Namun, arah angin berbalik sejak 2005. Saingannya, Ariel Sharon mengumumkan keluar dan membentuk partai baru, Kadima. Cengkeraman tangan Netanyahu di Likud pun semakin kuat.
Ideologi Likud: kolonial dan apartheid ...
Prinsip paling penting dari Partai Likud adalah bahwa seluruh Palestina, terlebih lagi Baitul Makdis (Yerusalem), merupakan tanah yang dijanjikan (Promised Land) oleh Tuhan kepada bangsa Yahudi sehingga Israel berhak “mengambilnya” (baca: menjajah Palestina).
Keyakinan itu pun dipandang jauh lebih penting daripada perjanjian damai manapun, termasuk misal “solusi dua negara.” Selain itu, parpol ini selalu menyuarakan pentingnya persatuan bangsa Yahudi di seluruh muka bumi. Maka, Aliyah adalah sebuah keharusan yang wajib terus didukung dan difasilitasi Israel.
Di dalam negeri, Likud adalah motor utama yang menjadikan Israel (lebih) apartheid. Salah satu buktinya ialah golnya RUU Negara-Bangsa Orang Yahudi menjadi undang-undang pada Juli 2018.
UU ini, selain menahbiskan Israel sebagai “tanah air historis orang Yahudi”, juga menyatakan bahwa Yerusalem yang utuh dan bersatu sebagai ibu kota Israel. UU ini pun menjadi dalih bagi Israel untuk lebih terang-terangan menggencarkan Aliyah, yakni program mendatangkan orang-orang Yahudi dari seluruh penjuru dunia ke Israel.
RUU Negara-Bangsa Orang Yahudi menjadi sah sebuah undang-undang sejak 2018 lantaran Likud menguasai Knesset saat itu. Sementara, partai-partai kiri dan partai-partai yang diisi orang-orang berdarah Arab di Parlemen Israel kalah telak. UU ini memungkinkan Yahudisasi dan sekaligus meminggirkan (identitas) Arab secara total dan masif di Israel (baca: tanah Palestina yang diokupasi).
Alhasil, bahasa Ibrani ditetapkan sebagai bahasa resmi Israel, sedangkan bahasa Arab yang merupakan bahasa dari sekitar dua juta penduduk Israel, tidak lagi digunakan sebagai bahasa resmi. Malahan, bahasa Arab secara bertahap dihilangkan dari berbagai plang maupun penunjuk jalan.
Likud juga selalu mengedepankan prinsip yang disebut Doktrin Begin, yakni bahwa Israel berhak untuk melancarkan serangan preventif terhadap negara-negara manapun yang dianggapnya sebagai ancaman.
Mereka yang dicapnya berpotensi mengancam itu dianggap memiliki “senjata pemusnah massal”, utamanya yang digerakkan oleh tenaga nuklir. Padahal, seperti dinukil dari laporan Stockholm International Peace Research Institute (2023), Israel saat ini mempunyai sekira 90 bom nuklir.
Likud lengser, perdamaian terwujud?
Apakah sikap agresif Israel terhadap Palestina disebabkan semata-mata oleh para politikusnya, terutama yang masuk dalam barisan Partai Likud? Jawabannya adalah tidak.
Memang, partai-partai politik seperti Likud menjadi tempat bersarangnya para politikus yang anti-kesepakatan damai, semisal Netanyahu.
Namun, Netanyahu dan Partai Likud hanyalah gejala. Adapun akar masalah sesungguhnya adalah masyarakat Israel. Sebab, mereka seluruhnya membenarkan dan diuntungkan pula oleh kolonialisme pemukim (settler colonialism) yang dilakukan Israel di atas tanah Palestina.
Seperti semua masyarakat pemukim, orang-orang Israel bergantung pada perampasan hak-hak penduduk asli untuk bisa hidup. Akibatnya, dehumanisasi ekstrem yang dialami warga Palestina menjadi diperlukan untuk membenarkan penjajahan.
Lagipula, jika Israel memandang warga Palestina sebagai manusia yang sama, mereka tidak akan bisa dengan mudah mengesampingkan sistem penindasan dan dominasi yang menguntungkan mereka.
Bahkan, orang Yahudi Israel pun tidak menganggap warga Israel yang berkebangsaan Arab setara dengan mereka. Survey yang dilakukan Pew Research Center pada 2016 mengungkapkan, sebanyak 79 persen responden Yahudi Israel percaya bahwa mereka harus mendapatkan perlakuan istimewa dibandingkan “warga Arab” Israel.
Kemudian, sebanyak 61 persen percaya bahwa Israel adalah “negeri yang dijanjikan Tuhan untuk orang-orang Yahudi.” Lebih gawat lagi, hampir separuh dari responden Yahudi Israel yakin bahwa “orang-orang Arab”, baik yang berstatus warga Israel maupun warga Jalur Gaza/Tepi Barat (Palestina), harus seluruhnya dibasmi.
Survey Pew ini dilakukan dalam rentang waktu antara Oktober 2014 dan Mei 2015 dan mewawancarai 5.601 orang dewasa Israel.