"Ismail Haniyeh Pemimpin Palestina, Bukan Hanya Pemimpin Hamas"
Warga Palestina kehilangan seorang pemimpin hebat.
REPUBLIKA.CO.ID, Warga Palestina yang tinggal di kamp-kamp pengungsian di Deir el-Balah, jalur Gaza mengungkapkan kemarahan dan kesedihan mereka setelah pembunuhan pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyeh, di ibu kota Iran, Teheran, Rabu (31/7/2024) lalu.
Saleh al-Shannat, 67 tahun, yang mengungsi dari Beit Lahiya di utara Gaza mengatakan berita itu memilukan.
“Ismail Haniyeh adalah seorang pemimpin Palestina, bukan hanya pemimpin Hamas. Dia adalah mantan perdana menteri dalam pemerintahan persatuan Palestina dan seorang pemimpin yang cinta damai. Kehilangannya sangat besar bagi kami,” katanya kepada Aljeera.
Al-Shanat mengacu pada bagaimana Haniyeh sempat menjabat sebagai perdana menteri pemerintahan Otoritas Palestina pada tahun 2006.“Warga Palestina kehilangan seorang pemimpin yang hebat,” kata ayah dari 12 anak ini sambil meneteskan air mata.
Melalui pekerjaannya di komite mediasi yang menyelesaikan perselisihan lokal, al-Shannat bertemu dan mengenal Haniyeh.“Saya mengenalnya secara pribadi,” katanya. “Dia tidak pernah menolak pertanyaan dan selalu berusaha untuk melayani rakyat dan kepentingan mereka.”
Israel belum mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut, meskipun Menteri Warisan Israel, Amichay Eliyahu, merayakan kematian Haniyeh melalui sebuah postingan di X.
“Israel hanya akan jera dengan bahasa kekerasan,” kata al-Shannat. “Mereka tidak memahami dialog, perdamaian atau negosiasi, dan mereka terus melanjutkan perang pemusnahan di Gaza.”
Abdul Salam al-Bik, 47 tahun, yang mengungsi dari lingkungan Zeitoun, Kota Gaza, mengatakan bahwa ia sangat terkejut saat mendengar kabar tersebut. Dia pun merasakan kesedihan atas syahidnya Haniyeh.
“Ismail Haniyeh adalah seorang pria Palestina sebelum ia menjadi seorang pemimpin,” katanya. “Namun pembunuhannya hari ini membuatnya menjadi statistik di antara orang-orang yang tak terhitung jumlahnya yang hanya menjadi angka-angka setelah kematian mereka.”
Ia mengaku tidak yakin pembunuhan tersebut akan membawa perubahan di lapangan atau memajukan upaya-upaya untuk mengamankan gencatan senjata.
“Membunuh wanita, anak-anak dan orang tua juga tidak akan mengubah apa pun. Bahkan jika seluruh penduduk Palestina dimusnahkan, tidak ada yang akan bergerak,” katanya. “Sebagai warga negara Palestina, saya merasa dunia sudah bosan dengan kami. Rezim-rezim Arab dan asing sudah bosan dengan berita tentang kami.”
Dia melanjutkan, “Kami telah kehilangan para pemimpin nasional dan elit masyarakat, dan kami terus kehilangan mereka. Perang ini bukan melawan Hamas. Perang ini melawan semua orang Palestina - bahkan air dan udara yang kita hirup,"ujar dia.
Zahwa al-Samouni, 62 tahun, yang tinggal bersama keluarganya yang berjumlah 16 orang di sebuah kamp pengungsian, bereaksi dengan kesedihan terhadap berita tersebut.
“Ismail Haniyeh sangat dekat dengan masyarakat sebelum ia meninggalkan Gaza menuju Qatar. Dia sangat damai, terlibat dengan orang-orang di jalan, berbagi dalam suka dan duka, dan kami sering melihatnya di masjid,” katanya.
“Dia akan menyapa kami saat berjalan di tepi pantai di pagi hari. Kami tidak pernah merasa bahwa dia adalah seorang pemimpin yang jauh.”
Meskipun tidak mendukung Hamas, al-Samouni percaya bahwa pembunuhan Haniyeh merupakan kehilangan bagi semua orang Palestina.
“Ada dugaan bahwa dia hidup nyaman dengan keluarganya di Qatar dan Turki, dan mereka pergi, meninggalkan Gaza dan rakyatnya, tapi kami terkejut tiga dari putra dan empat cucunya (terbunuh) dalam pengeboman Israel selama perang, yang membuktikan bahwa rumor itu salah. Sekarang, dia menjadi sasaran secara pribadi,” katanya.
“Israel tidak membedakan antara pemimpin, pejuang atau warga sipil. Saya adalah warga sipil yang mengungsi, dan saya bisa menjadi sasaran kapan saja.”
Al-Samouni mengimbau masyarakat internasional untuk mengambil tindakan untuk menghentikan perang Israel di Gaza, yang dimulai pada 7 Oktober dan telah menewaskan sedikitnya 39.445 warga Palestina.“Sudah cukup dengan apa yang terjadi. Ini tidak akan berhenti pada Haniyeh atau siapapun. Ini akan terus berlanjut sampai kita semua dimusnahkan.”
Nour Abu Salama, 41 tahun, seorang ibu dari tujuh orang anak yang mengungsi dari kota Jabalia di utara Gaza, juga merasakan keputusasaan.“Pembunuhan Ismail Haniyeh adalah tragedi bagi kami. Dia adalah seorang pemimpin politik, bukan pemimpin militer, dan dia sedang bernegosiasi untuk mengakhiri perang,” katanya.
“Terlepas dari ketidaksepakatan pribadi saya dengan Hamas, banyak orang Palestina yang berduka atas kepergiannya karena ia dikenal dekat dengan rakyat dan terlibat dalam kehidupan sosial mereka.”
Salama mengharapkan sedikit kecaman atau tindakan dari komunitas internasional.“Apakah ada yang bertindak ketika ribuan perempuan dan anak-anak terbunuh di Gaza? Apakah ada yang bertindak ketika mereka melihat kami hidup dalam penghinaan dan penderitaan di tenda-tenda?” tanyanya. “Apakah ada yang tergerak dengan pembunuhan Ismail Haniyeh sekarang? Tentu saja tidak.”