Pengecutnya Tentara Israel, IDF Ternyata Gunakan Perisai Manusia untuk Berlindung
Tentara Israel berlindung di dalam sekolah di perbatasan Lebanon.
REPUBLIKA.CO.ID, Di perbatasan, sebuah gedung sekolah yang penuh dengan lubang-lubang, tampak gambar-gambar anak berserakan. Bercak darah juga berceceran di lantai. Taman bermain di luar gedung penuh dengan puing-puing. Sebuah mobil yang terbakar masih berada di tempat parkir.
Anak-anak bersepeda di jalanan. Sementara, keluarga-keluarga di desa Israel yang berjarak kurang dari 1 kilometer dari perbatasan dengan Lebanon itu menyeruput kopi di beranda rumah mereka. Mereka tampak tidak terganggu oleh risiko perang habis-habisan antara Israel dan kelompok militan Hizbullah Lebanon.
"Semuanya tenang sampai tidak tenang," kata warga Arab al-Aramshe, Kareem Suidan, saat berbincang dengan jurnalis The Intercept, yang berjalan-jalan di desa itu pada akhir Juli lalu. Tiga bulan sebelumnya, ketenangan warga telah rusak ketika Hizbullah menargetkan sebuah pusat komando Israel di dalam desa. Serangan tersebut menewaskan seorang tentara dan melukai 16 orang lainnya, termasuk empat warga sipil.
Setelah serangan pesawat tak berawak pada 17 April, bangunan yang ditargetkan, dilaporkan dalam berita di media sebagai pusat komunitas. Hanya saja, menurut Suidan dan setelah pengeboman yang diamati jurnalis, bangunan itu sebenarnya adalah sebuah sekolah.
"Itu adalah akademi untuk anak-anak, tapi para tentara ada di dalamnya," kata Suidan, 33 tahun, seperti dilaporkan The Interceipt, Jumat (2/8/2024) lalu. Dia mengungkapkan, anak-anak pergi ke bangunan itu untuk belajar dan beraktivitas. Sementara itu, para tentara tidur di bangunan tersebut selama perang.
Bagi komunitas Arab di desa itu, sekolah tersebut sangat penting. Bangunan itu memungkinkan mereka memiliki tingkat otonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah di kibbutzim terdekat.
Meskipun pemerintah Israel memerintahkan warga desa Al-Aramshe dan desa-desa lain di dekatnya untuk mengungsi pada Oktober lalu, Suidan memperkirakan hampir 70 persen penduduk Arab al-Aramshe telah kembali seiring berlanjutnya perang. Namun, militer tidak mengubah arah. Mereka terus menempatkan tentara di desa-desa yang berada di perbatasan utara negara itu. Tentara zionis menempatkan warga sipil dalam bahaya.
Risiko tersebut telah meningkat selama sepekan terakhir, ketika Israel menuduh Hizbullah mengebom Dataran Tinggi Golan yang diduduki dalam sebuah serangan yang menewaskan 12 anak-anak. Israel melakukan balasan dengan membunuh seorang komandan Hizbullah dalam sebuah serangan yang ditargetkan di luar Beirut. Pembunuhan pemimpin politik Hamas Ismail Haniyeh di Teheran pada Rabu lalu menambahkan lebih banyak lagi bahan bakar pada situasi yang sudah bergejolak. Pasukan Pertahanan Israel tidak menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari The Intercept.
The Intercept melaporkan bagaimana IDF menempatkan pasukannya di antara warga sipil di wilayah utara. Cara tentara zionis ini cermin dari kebijakan perisai manusia yang telah berulang kali dikecam oleh Hamas. "Keterlibatan Israel dalam isu perisai manusia bermata dua," kata Tamara Kharroub, wakil direktur eksekutif Arab Center Washington D.C.
"Meskipun Israel secara rutin menggunakan warga sipil sebagai perisai manusia dalam operasi militernya, Israel juga menggunakan tuduhan itu sebagai elemen utama dalam operasi propagandanya dan untuk menjustifikasi pembunuhan terhadap warga sipil."
Meski hukum internasional menyatakan, sekolah dan rumah sakit memiliki status khusus sebagai tempat yang aman bagi warga sipil, namun jika sebuah kekuatan militer menempatkan pasukannya atau infrastruktur militer lainnya di dalam sekolah atau rumah sakit, maka sekolah atau rumah sakit tersebut dapat dinyatakan sebagai target militer yang sah. Ini adalah dalih yang digunakan Israel untuk menghancurkan infrastruktur kesehatan Gaza setelah serangan 7 Oktober, dengan mengklaim, misalnya, bahwa rumah sakit terbesar di Gaza sebenarnya adalah pusat komando Hamas.
Militer Israel juga mengklaim, ada senjata di sebuah gedung sekolah tempat warga sipil berlindung. Penjajah telah merilis rekaman propaganda yang menunjukkan senjata di dalam sekolah-sekolah di Gaza. Sementara itu, kelompok-kelompok hak asasi manusia telah mendokumentasikan penggunaan perisai manusia oleh IDF di daerah kantong yang terkepung itu - terkadang secara harfiah. Pada Juni, misalnya, pasukan Israel menahan satu keluarga di depan tank mereka untuk melindungi tentara mereka dari tembakan.
Apakah keputusan Israel untuk menempatkan pasukannya di antara warga sipil di wilayah utara merupakan kelalaian yang disengaja atau keputusan yang disadari untuk menciptakan keuntungan strategis dalam perang melawan Hizbullah masih belum diketahui. Apapun itu, pertempuran di wilayah utara Israel sangat berbeda dengan perangnya di Gaza. Dibandingkan dengan Gaza, wilayah utara yang bergunung-gunung itu jarang penduduknya. Artinya, Israel memiliki banyak kesempatan untuk menempatkan pasukan dan pos-pos yang jauh dari infrastruktur sipil.
"Jelas sekali," kata Kharroub, "bahwa Israel mengeksploitasi warga sipil dengan cara apa pun yang diperlukan untuk mencapai tujuan ekspansionisme, dominasi, dan pembersihan etnis."