Disindir Netizen Malaysia Jangan Marah, Faktanya Memang Pahit

Perolehan medali suatu negara bisa bercerita banyak soal kondisi ekonomi dan politik.

ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Bendera Merah Putih berkibar saat upacara penganugerahan medali juara nomor speed putra Olimpiade Paris 2024 di Le Bourget Climbing Venue, Paris, Prancis, Kamis (8/8/2024).
Red: Fitriyan Zamzami

Oleh Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika

Baca Juga


REPUBLIKA.CO.ID, Dunia maya kembali dihangatkan dengan seteru yang sepertinya tak berkesudahan antara netizen Indonesia dan negara jiran Malaysia. Kritikan dari sebelah soal perolehan medali dibandingkan populasi negara Indonesia jadi pangkalnya.

Tentu, saling goda antar saudara seperti ini bukan barang baru. Tapi mengapa kita marah? Jangan-jangan, pertanyaan dari tetangga yang berisik itu menjengkelkan karena dalam satu dan lain hal ia ada benarnya?

BACA JUGA: Heboh Cut Intan Nabila Dipukuli Suami, Benarkah Dibenarkan Islam?

Selama bertahun-tahun, atlet-atlet Indonesia membuktikan bahwa secara atletis mereka bisa melampaui atlet negara lain. Tahun ini, Veddriq Leonardo membuktikan atlet Indonesia bisa lebih cepat dari atlet-atlet negara digdaya. 

Ia memeroleh emas panjat tebing mengalahkan saingan dari Amerika Serikat dan Cina. Ia juga berulang kali memecahkan rekor, yang artinya, ia memang yang paling cepat di antara manusia-manusia dari berbagai bangsa yang bersaing di cabang yang ia geluti.

Sementara Rizky Juniansyah membuktikan, anak Indonesia tak kalah kuat dari bangsa-bangsa di dunia. Ia memenangkan medali emas angkat besi sekaligus memecahkan rekor angkatan pada kelasnya.

Artinya, secara kecepatan, kekuatan, dan kecerdasan, anak-anak Indonesia punya daya bersaing dengan bangsa manapun. Mengapa kemudian medali kita tak banyak di olimpiade?

Ternyata, atletisme semata memang tak cukup.

Peneliti Chandra Vanu Som dari Universitas Gandhinagar di India melansir makalah di jurnal Sport Sciences for Health terkait hasil penelitian yang menguji hipotesis bahwa semakin tinggi prestasi olahraga, semakin tinggi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) suatu negara dan sebaliknya.

Ini ia simpulkan setelah membandingkan data medali yang diraih berbagai negara pada Olimpiade Musim Panas pada 2000, 2004, 2008, 2008 dan 2016 dan IPM negara-negara tersebut selama tahun olimpiade. Hasilnya menunjukkan bahwa korelasi positif yang cukup kuat antara prestasi olimpiade suatu negara dan IPM. 

Perbandingan perolehan medali per sejuta populasi dan IPM negara-negara pada 2000. - (Sport Sciences for Health)

Mari tengok datanya untuk Indonesia. Pada Olimpiade Sydney 2000, Indonesia berada pada peringkat ke-38; mendapatkan satu emas, tiga perak, dan dua perunggu. Ini adalah salah satu capaian terbaik kontingen Indonesia. Bukan kebetulan, tahun-tahun sekitar olimpiade juga merupakan puncak tertinggi urutan IPM Indonesia. 

Setahun sebelum olimpiade, Human Development Report (HDR) yang diterbitkan setiap tahun oleh United Nations Development Programme (UNDP) mencatatkan IPM Indonesia berada di urutan ke-105 dunia. Sementara setahun setelah olimpiade, urutan IPM Indonesia lebih tinggi lagi pada urutan ke-102.

Sementara pada Olimpiade Athena 2004, Indonesia membawa pulang empat medali terdiri dari satu emas, satu perak, dan dua perunggu. Indonesia bertengger pada peringkat ke-48. Tahun itu, IPM Indonesia juga turun pada urutan ke-111.

Pada Olimpiade Beijing 2008, Indonesia naik ke posisi ke-42 dengan satu emas, satu perak, dan empat perunggu. IPM Indonesia kala itu juga naik dibandingkan pada 2004 pada urutan ke-107 dunia.

Atlet angkat besi Indonesia Irawan Eko Yuli berlaga di nomor 62 kg putra di Grup A Olimpiade London 2012, Senin (30/7). Irawan Eko Yuli meraih medali perunggu yang sekaligus menjadi medali pertama bagi Indonesia di Olimpiade London 2012. - (REUTERS/Stefano Rellandini)

Pada 2011 terjadi penurunan tajam IPM di Indonesia. Indonesia anjlok dari urutan 108 dunia pada 2010 ke urutan 124 dunia. Ini tecermin dengan tepat pada Olimpiade London 2012. Indonesia anjlok ke urutan ke-60 dengan hanya membawa pulang 2 perak dan 1 perunggu tanpa emas satupun. 

Di Rio de Janeiro pada 2016, Indonesia memeroleh satu emas dan 2 perak, bertengger pada posisi ke-46. IPM Indonesia saat itu pada angka 111. Di Tokyo pada 2020, Indonesia ada pada posisi ke-55 dengan satu emas, satu perak, dan tiga perunggu. Pada tahun itu, IPM Indonesia tercatat pada urutan ke-111 dunia pada 72,8 poin merujuk Badan Pusat Statistik (BPS). 

Dari 2020 ke 2024, terjadi peningkatan tipis poin IPM Indonesia dari 72,8 poin ke 74,4 poin. Namun, posisinya di dunia turun ke posisi 112. Pada Olimpiade Paris 2024, Indonesia memang mendapat dua emas, tapi perolehan total hanya tiga medali dengan satu perunggu. 

Bagaimana kaitan prestasi olimpiade dengan populasi? baca halaman selanjutnya

 

Kaitan dengan populasi

Sementara Shannon Gay dari Bryant University di Rhode Island, AS menyatakan bahwa populasi penduduk memang punya peran dalam menentukan raihan medali di olimpiade. Namun, hal itu tak cukup. Ia harus ditopang dengan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita.

Amerika Serikat dengan populasi 345 juta jiwa bisa banyak mendapatkan medali karena mereka ditopang PDB per kapita yang pada 2024 ini mencapai 28.176 dolar AS. Cina, punya PDB per kapita lebih rendah dari AS pada angka 13.136 dolar AS, namun populasi lebih banyak, yakni 1,42 miliar jiwa.

Sementara Indonesia dengan populasi 280 juta jiwa pada 2024, PDB per kapitanya saat ini sekitar 5.000 dolar AS, jauh dibandingkan kedua negara peroleh medali terbanyak di atas. Ini juga menjelaskan mengapa India, meski punya populasi 1,45 miliar orang tak bisa berbuat banyak di olimpiade. PDB per kapitanya pada 2024 ini hanya separuh Indonesia pada angka 2.731 dolar AS. 

Penelitian lain yang dilakukan Samuel Chukwudi Gabriel dan Ezra Lheze dari Centre for the Study of the Economics of Africa (CSEA) meneliti bahwa ada sejumlah faktor yang memengaruhi perolehan medali olimpiade negara-negara. Diantaranya tingkat investasi dan tingkat partisipasi penduduk. Namun, mereka juga mencatat satu faktor lain yang tak kalah penting: stabilitas politik. 

Menurut keduanya, investasi yang tinggi berkorelasi positif dengan perekonomian yang baik, yang berdampak langsung pada jumlah waktu luang. Dengan lebih banyak waktu luang, sebagian besar penduduk dapat melakukan olahraga. Negara-negara maju melakukan investasi yang signifikan dalam fasilitas olahraga, keterampilan pembinaan, dan program dukungan ilmu olahraga, yang semuanya penting untuk keberlanjutan olahraga. 

Investasi olahraga dapat menjadi stimulus yang efektif untuk mengembangkan kualitas dan kuantitas kegiatan olahraga khususnya di tingkat internasional. 

Korelasi medali olimpiade dan stabilitas politik pada Olimpiade 2020. - (southernvoice.org)
 

Mereka juga mencatat, ada korelasi positif antara stabilitas politik dan perolehan medali pada Olimpiade 2020 di Tokyo. Terdapat perbedaan yang jelas dalam jumlah medali yang diraih antara negara-negara dengan sistem politik yang stabil dan negara-negara yang tengah berjuang melawan ketidakstabilan politik.

Artinya, perolehan medali suatu negara tak hanya bicara soal kebisaan berolahraga. Ia juga menceritakan banyak hal soal kondisi ekonomi dan sosiopolitik negara tertentu. Dalam hal ini, kritik netizan Malaysia sebenarnya jadi lebih menohok karena ianya mempertanyakan kondisi negara kita saat ini. IPM kita tak optimal perbaikannya, sementara kemakmuran rakyat yang tecermin lewat PDB per kapita masih di bawah negara-negara lain, dan kondisi politiknya ya begini ini.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler