Stabilitas Rupiah Jadi Titik Balik Sentimen Investor di Pasar Finansial Indonesia
Sejumlah bank sentral di beberapa negara maju bahkan telah memangkas suku bunga.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menyampaikan pasar global bersiap memasuki era baru dengan semakin banyak negara mulai masuk dalam siklus pemangkasan suku bunga. Director & Chief Investment Officer, Fixed Income, MAMI, Ezra Nazula, mengatakan perubahan ekspektasi suku bunga global telah mengurangi tekanan terhadap rupiah.
"Diharapkan stabilitas rupiah yang berkesinambungan dapat menjadi kunci titik balik sentimen investor di pasar finansial Indonesia," ujar Ezra saat Market Update: Wind of Change di Jakarta, Rabu (14/8/2024).
Ezra mengatakan sejumlah bank sentral di beberapa negara maju bahkan telah memangkas suku bunga mereka sejak kuartal pertama yang dilakukan untuk berbagai tujuan, seperti merespons inflasi yang terkendali, menjaga keseimbangan nilai tukar, atau karena melemahnya permintaan domestik. Adapun normalisasi inflasi dijadikan pertimbangan pemangkasan suku bunga bagi negara-negara berkembang di Amerika Latin (Brasil, Kolombia, dan Cili) dan Eropa Tengah-Timur (Hungaria, Ceko, dan Rumania).
Ezra mengatakan salah satu pusat ekonomi dunia, The Fed dalam rapat FOMC pada Juli telah mengindikasikan potensi pemangkasan suku bunga di September semakin terbuka. Secara eksplisit, The Fed juga mulai memperhatikan risiko pelemahan sektor tenaga kerja, dan menyatakan ke depannya akan memberikan fokus yang seimbang antara faktor inflasi dan sektor tenaga kerja.
"Meningkatnya optimisme pemangkasan suku bunga The Fed yang semakin mendekat, tercermin di pasar US Treasury (UST), di mana imbal hasil UST tenor pendek turun lebih banyak dibanding tenor panjang, dan selisih imbal hasil antara tenor 10Y dan 2Y semakin menipis, berada pada level terendah sejak kenaikan FFR agresif di 2022,"
Ezra menyampaikan perubahan ekspektasi suku bunga juga terlihat dampaknya pada dolar AS yang mulai melemah terhadap mata uang lainnya. Ezra menambahkan, kawasan Asia menjadi yang akan diuntungkan oleh siklus pelonggaran moneter global.
"Perekonomian Asia juga relatif kuat ditopang oleh membaiknya aktivitas perdagangan global. Hal tersebut berlawanan dengan ekonomi AS yang menunjukkan sinyal moderasi," kata Ezra.
Beralih ke dalam negeri, Chief Economist & Investment Strategist MAMI Katarina Setiawan mengatakan perubahan ekspektasi The Fed pada Juli membuat tekanan terhadap rupiah mulai reda, dan investor asing mulai mencatat pembelian bersih di pasar saham dan obligasi (setelah tiga bulan berturut-turut mencatat penjualan bersih).
"Tekanan rupiah yang mereda juga diindikasikan oleh rata-rata imbal hasil lelang SRBI yang menurun," ujar Katarina.
Katarina meyakini, stabilitas rupiah yang berkesinambungan akan menjadi kunci titik balik sentimen investor di pasar finansial Indonesia. Ke depan, faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas rupiah di antaranya adalah perubahan ekspektasi FFR, pemilu AS, outlook postur RAPBN-2025, stabilitas inflasi domestik, dan kebijakan pemerintah baru.
"MAMI sendiri memperkirakan, Rupiah hingga akhir tahun masih berada di kisaran Rp 15.400-Rp 16 ribu per dolar AS," lanjut Katarina.
Menurut Katarina, meredanya tekanan pada rupiah dan kembalinya arus dana asing ke pasar domestik menjadi faktor pendukung bagi kebijakan Bank Indonesia (BI). Inflasi domestik turun ke batas bawah target dan konsumsi domestik yang cenderung lemah dapat menjadi pertimbangan utama BI untuk memangkas suku bunga.
"Namun di sisi lain, besaran pemangkasan suku bunga oleh BI diperkirakan lebih konservatif dibandingkan pemangkasan suku bunga The Fed," sambung Katarina.
Hal ini dilakukan untuk memperlebar selisih suku bunga dengan AS demi menjaga stabilitas rupiah. Hingga akhir 2025, pasar memperkirakan BI Rate akan turun 100 basis poin (bps) dan suku bunga The Fed turun sebesar 150 bps.
Meski sinyal positif dari global dan domestik telah mulai terlihat, Katarina melihat investor tetap perlu memperhitungkan sejumlah faktor risiko. Beberapa di antaranya adalah risiko dampak dari eskalasi mendadak kondisi geopolitik dunia, khususnya di Timur Tengah yang masih berpotensi meningkat ketegangannya.
"Risiko resesi di AS juga perlu dipertimbangkan karena dampak dari pelemahan ekonomi AS yang sangat signifikan. Faktor risiko dari dalam negeri adalah kebijakan fiskal domestik dari pemerintahan baru, termasuk komunikasi dan implementasinya," kata Katarina.