Kegagalan PBSI, Psikolog Olahraga, dan Janji Fadil Imran

Psikolog olahraga dibutuhkan seluruh induk olahraga Indonesia demi prestasi terbaik.

Dok Humas PBSI
Ketua Tim Ad Hoc PBSI M Fadi Imran (keempat dari kiri), Gregoria Mariska Tunjung (keempat dari kanan) dan Prof Hamdi Muluk (kanan) dalam konferensi pers tim Ad Hoc PBSI di Pelatnas Cipayung, Jakarta Timur, Kamis (15/8/2024) petang.
Red: Israr Itah

Oleh: Israr Itah, jurnalis Republika.co.id.

Baca Juga


REPUBLIKA.CO.ID, Saya bersyukur memutuskan datang ke konferensi pers PBSI di Pelatnas Cipayung, Jakarta Timur dalam pengumuman pembubaran tim Ad Hoc PBSI pada Kamis (15/8/2024) petang. Selain bisa menyampaikan unek-unek langsung, saya mendapatkan pencerahan dari para narasumber yang hadir.

Tim Ad Hoc yang diketuai Komjen Pol Muhammad Fadil Imran ini dibentuk pengujung tahun lalu dan mulai bekerja awal tahun 2024. Tugasnya membantu sebanyak-banyaknya pebulu tangkis Indonesia lolos ke Olimpiade Paris 2024 dan berprestasi di sana. Sayangnya, hal tersebut urung tercapai meskipun upaya, yang disebut Tim Ad Hoc maksimal, sudah dilakukan.

Dalam konferensi pers tersebut hadir enam narasumber. Selain Fadil, ada dua mentor tim Ad Hoc peraih emas Olimpiade, Taufik Hidayat dan Liliyana Natsir. Kemudian peraih perunggu di Paris, Gregoria Mariska Tunjung dan pelatihnya Herli Djaenudin, serta Profesor Hamdi Muluk, ketua tim psikolog di tim Ad Hoc.

Nama terakhir yang memberikan saya pencerahan atas pertanyaan saya yang belum tuntas terjawab sejak konferensi pers tim Ad Hoc pada awal tahun ini. Yakni, aspek mental.

Begini, selama setahun ke belakang para pejabat PBSI kerap mengedepankan alasan faktor mental sebagai biang kerok sulitnya atlet berprestasi di sejumlah kejuaraan bergengsi. Kita tarik saja dari kegagalan meraih satu pun medali pada Asian Games Oktober tahun lalu. Kemudian tumbang pada babak-babak awal sejumlah turnamen bergengsi BWF-- terutama di Indonesia Open-- dan terakhir kegagalan di Olimpiade Paris.

Bagi saya, alasan faktor mental lebih banyak jadi kambing hitam untuk menggampangkan hal kompleks. Bisa saja aspek mental itu benar jadi penyebab utamanya, tapi boleh juga misalnya karena faktor kekuatan otot atau fisik sang atlet yang tak maksimal berimbas kepada keyakinan dirinya saat berlaga di lapangan. Tak ada yang mengetahui. Lagian, kalau sudah tahu mental yang jadi masalah, kenapa tak lekas diperbaiki jauh-jauh hari?

Nah, pemaparan Hamdi menjawab sekaligus membenarkan sebagian asumsi saya. Guru besar psikologi Universitas Indonesia itu menjelaskan, dalam kesuksesan atlet, ada tiga hal yang saling menopang, saling sokong, yakni aspek fisik, teknik, dan mental.

Dalam beberapa situasi, kita menyaksikan ketangguhan mental bisa menutupi kekurangan di sisi teknik dan fisik. Namun di bagian lain, kekurangan di aspek fisik dan teknik sebaliknya dapat mempengaruhi sisi mental. Atlet menjadi ragu dan kurang percaya diri di lapangan ketika fisik dan tekniknya tak bisa mengimbangi lawan di seberang lapangan. Akibatnya, keputusan dan aksi yang diambil keliru. Ujungnya, harus menerima kekalahan.

Hamdi tak mau memberikan angka pasti persentase porsi mental dalam kesuksesan seorang atlet berprestasi saat saya menanyakannya kemudian lewat sambungan telepon. Yang pasti, kata dia, ketiga hal di atas saling kait mengait, berkelindan, saling mempengaruhi. Ibarat segitiga sama sisi, kalau salah satu sisinya ada yang tak sama panjang, akan membuat segitiga tersebut menjadi tak simetris. 

Tokoh kelahiran Padangpanjang, Sumatera Barat ini mengatakan, dengan perkembangan sport science yang terus berkembang di dunia olahraga, PBSI harus bisa cepat beradaptasi. Menurut Hamdi, masih ada yang menganggap mental atlet itu bisa dilatih cukup dengan mengirimkan mereka ke sejumlah turnamen. Dengan jam terbang banyak, otomatis mental terasah. Padahal sekarang tak bisa lagi seperti itu.

 

"Ini seperti meminta...

 

"Itu seperti meminta orang maju ke medan perang tanpa mempersiapkan mereka dengan baik cara untuk berperang," ujar dia.

Hamdi kemudian menjelaskan sembilan tahapan untuk membentuk mental atlet menjadi tangguh dan siap berkompetisi di level tinggi. Mulai dari menetapkan sasaran, menguasai teknik relaksasi untuk mengontrol kecemasan, sampai di level tertinggi bisa memvisualisasikan yang harus dilakukan untuk merespons permainan lawan.

"Tahapan-tahapan ini harus diajarkan satu per satu ke atlet, tak bisa melompat, dan itu membutuhkan waktu," ungkap Hamdi.

Waktu ini yang menjadi "musuh" terbesar bagi Hamdi dan timnya di tim Ad Hoc. Sebab, rentang waktu sejak ia mulai bekerja sampai penyelenggaraan Olimpiade Paris relatif singkat. Menurut Hamdi, sulit untuk bekerja optimal. Terlebih, lazimnya dalam psikologi, kedekatan antara dua pihak akan menentukan output-nya. Hamdi mengatakan, terkadang atlet enggan atau menahan diri mengungkapkan suasana hati mereka walaupun dari bahasa tubuh ia tahu mereka dalam kondisi tertekan.

"Dari hasil evaluasi, ada peningkatan performa atlet kita sejak kehadiran tim Ad Hoc. Namun ternyata peningkatan atlet-atlet dari negara pesaing juga meningkat melebihi kita," ungkap dia.

Hamdi menyarankan, ke depan PBSI harus memiliki tim psikolog yang diisi oleh psikolog olahraga yang kompeten dan berkonsentrasi penuh menangani para atlet. Bukan yang juga harus menyambi di tempat lain.

Hamdi menuturkan, psikologi olahraga merupakan jurusan yang kurang diminati karena bayaran yang didapat tak sebesar misalnya bagi lulusan psikologi industri dan organisasi. Beberapa psikolog olahraga, kata Hamdi, harus bekerja di beberapa tempat untuk mendapatkan bayaran yang cukup.

"Jadi kita harus mendorong, bukan hanya PBSI, melainkan juga induk-induk olahraga lain agar memiliki psikolog olahraga yang benar-benar fokus menangani atlet mereka, tidak lagi bekerja di tempat lain. Memang akan mengeluarkan biaya, tapi mengingat persaingan ketat di dunia olahraga sekarang, hal tersebut dibutuhkan karena psikologi olahraga juga termasuk bagian dari keseluruhan sport science. Jika ingin mendapatkan prestasi yang baik, langkah ini harus diambil," ungkap Hamdi panjang lebar.

Dalam diskusi ini, saya membayangkan betapa akan hebatnya para pebulu tangkis kita nanti jika sejak dini mereka sudah mendapatkan pengajaran sistematis untuk membentuk ketangguhan mental. Ketika menjadi atlet andalan, mereka hanya tinggal mengulang kembali, mengingat-ingat pelajaran yang telah mereka dapatkan semenjak junior.

"Jika atlet pratama di PBSI sudah diajarkan cara mengatasi tekanan dan lain-lain, akan lebih mudah menangani mereka ketika naik level, ya Prof," kata saya yang diamini oleh Hamdi.

Kata dia, semakin lama berinteraksi secara rutin, diharapkan terbangun koneksi antara atlet dan psikolog. Jika ini terjadi, akan lebih mudah bagi atlet untuk terbuka, "curhat" atas masalah yang mereka hadapi agar dicarikan jalan keluarnya oleh psikolog yang rutin memainatu mereka.

Fadil Imran sudah mencanangkan target meraih emas Olimpiade Los Angeles 2028 setelah terpilih sebagai Ketua Umum PP PBSI periode 2024-2028, pekan lalu. Sebagai Ketua Tim Ad Hoc, ia sudah memegang hasil evaluasi terperinci aspek-aspek yang menjadi penyebab kegagalan pebulu tangkis Indonesia di Paris. Termasuk dari sisi psikologis.

Saya mengutarakan harapan ke Fadil untuk menerapkan sport science yang lebih komprehensif. Termasuk kehadiran psikolog, saat ia mulai memimpin PBSI pada November tahun ini. Biar aspek mental tak lagi menjadi kambing hitam seperti yang sudah-sudah.

Saya tegaskan, kita harus lebih baik dalam menetapkan sasaran dan mengeksekusinya secara terukur dengan sport science. Tidak cuma mencari alasan pembenaran dari suatu kegagalan. Alhamdulillah, Fadil mengiyakannya.

Hamdi melihat Fadil punya konsen untuk memperbaiki kekurangan saat memimpin PBSI nanti. Ia berharap Fadil bisa mengkreasi program terbaik berbasis sport science serta secara maksimal mengeksekusinya. Harapan yang pastinya juga jadi keinginan semua rakyat Indonesia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler