Mengenal WR Soepratman, Sang Pahlawan dengan Biola
WR Soepratman, pencipta lagu 'Indonesia Raya', wafat pada tanggal 17 Agustus.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam setiap perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia, lagu "Indonesia Raya" pasti berkumandang. Inilah karya dari seorang pejuang bangsa, Wage Rudolf Soepratman.
Seperti dilansir dari laman Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek RI, pahlawan tersebut masyhur dengan nama WR Soepratman. Ia lahir pada 19 Maret 1903 di Jatinegara, Jakarta.
Pada tahun 1914, WR Soepratman diasuh oleh kakak iparnya yang bernama WM van Eldik alias Sastromihardjo, di Mataram. Di sana, ia belajar memetik gitar dan menggesek biola.
Pada 1919, WR Soepratman diangkat menjadi guru. Dalam masa itu, ia juga mendirikan grup band jazz, Black and White, di Makasar. Untuk itu, ia berada di bawah bimbingan sang kakak ipar.
Setelah tahun 1924, WR Soepratman hijrah ke Surabaya (Jawa Timur) dan Bandung (Jawa Barat). Di sana, dirinya mulai terjun ke dunia jurnalistik, yakni sebagai wartawan Surat Kabar Kaoem Moeda.
Saat bekerja untuk koran Sin Po, WR Soepratman rajin mengunjungi rapat-rapat pergerakan kebangsaan Indonesia di gedung Pertemuan Gang Kenari, Jakarta. Dari sanalah, ia mulai tergugah untuk menggubah lagu "Indonesia Raya" pada 1928.
Semula, WR Soepratman menciptakan lagu tersebut dengan judul “Indones, Indones, Merdeka, Merdeka.” Saat karyanya mulai beredar, alhasil dirinya dikejar-kejar polisi intel Hindia Belanda.
Kongres Pemuda II di Jakarta berlangsung pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Hasilnya adalah teks dan ikrar Sumpah Pemuda. Yang istimewa bagi WR Soepratman, karyanya itu diakui sebagai lagu kebangsaan Indonesia.
Dalam kongres itu pula, dinyanyikan lagu "Indonesia Raya" dengan iringan gesekan biola WR Soepratman sendiri. Sebuah momen yang tak akan dilupakannya.
Rezim kolonial merepresi kaum pergerakan. "Indonesia Raya" pun dilarang. Keadaan berubah sejak pasukan Jepang datang dan mengusir Belanda dari Nusantara. Sejak 1944, lagu itu kembali boleh dinyanyikan.
Akhir hayat sang pahlawan ...
WR Soepratman, sebagaimana umumnya masyarakat Indonesia saat itu, sangat merindukan tanah airnya merdeka. Sayang, usianya tidak sampai ke sana.
Antara tahun 1930 dan 1937, WR Soepratman berpindah-pindah tempat tinggal. Hingga kemudian, ia dibawa oleh saudaranya ke Surabaya dalam keadaan sakit.
Pada 7 Agustus 1938, saat sedang memimpin pandu-pandu menyiarkan lagu "Matahari Terbit" di Jalan Embong Malang, Surabaya, WR Soepratman ditangkap. Ia lalu ditahan di Penjara Kalisosok.
Beberapa hari kemudian, tepatnya pada 17 Agustus 1938, ia wafat. Dirinya tak meninggalkan istri atau anak karena memang belum menikah. Jenazahnya dimakamkan di kuburan umum Kapas, Jalan Kenjeran, Surabaya, secara Islam.
Pesan terakhir WR Soepratman: “Nasibkoe soedah begini inilah jang disoekai oleh pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saja meninggal, saja ikhlas. Saja toch soedah beramal, berdjoeang dengan carakoe, dengan biolakoe. Saja jakin Indonesia pasti Merdeka.”