Kisah di Balik Penciptaan Lagu 'Indonesia Raya'

WR Soepratman adalah sosok yang menggubah lagu kebangsaan, 'Indonesia Raya.'

Antara/Patrik Cahyo Lumintu
Pengunjung mengamati koleksi yang dipajang di Museum WR Soepratman di Surabaya, Jawa Timur.
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wage Rudolf Soepratman mengira bahwa dirinya hanya orang biasa. Bagaimanapun, sebagai orang Indonesia, ia ingin mempersembahkan sesuatu bagi perjuangan bangsanya.

Baca Juga


Pada suatu hari, wartawan yang piawai memainkan instrumen musik ini secara kebetulan membaca artikel berjudul "Manakah Komponis Indonesia yang Bisa Menciptakan Lagu Kebangsaan Indonesia yang Dapat Membangkitkan Semangat Rakyat." Tulisan itu dimuat dalam majalah Timboel terbitan Solo.

Hati Soepratman tergerak. Tulisan itu seolah ditujukan kepada dirinya.

Tidak ada catatan yang pasti kapan Soepratman menulis lagu kebangsaan. Ada pendapat yang menyatakan ia menciptakannya tahun 1926.

Pada Kongres Pemuda Pertama (1926), Soepratman yang hadir ingin menawarkan kepada ketua kongres agar ia diberi kesempatan memperdengarkan lagu itu di hadapan para peserta.

Tetapi, saat itu keberaniannya belum cukup. Ia membatalkan niatnya. Baru pada Kongres Pemuda Kedua, tanggal 28 Oktober 1928, pada malam penutupan, WR Soepratman dengan gesekan biolanya mengiringi sebarisan paduan suara membawakan lagu Indonesia Raya.

Dua bulan kemudian, ode tersebut menjadi sangat populer. Anggota Kepanduan Indonesia termasuk salah satu pihak yang memperkenalkan lagu tersebut ke masyarakat. Karena, di dalamnya ada kata-kata "menjadi pandu ibuku."

Soepratman juga telah mengabadikan lagu perjuangan itu ke dalam piringan hitam. Gagal menghubungi His Master Voice di Inggris, ia kemudian menghubungi Yo Kim Tjan. Sampai suatu ketika, di studio yang bersahaja, Soepratman memainkan biola sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan dua irama, mars dan keroncong.

Master rekaman dibuat dari lilin yang dibekukan dalam suhu rendah. Yo Kim Tjan memasarkan lagu tersebut dengan harga dua picis (20 sen). Karena beberapa kali dinyanyikan di depan umum, Soepratman diinterogasi PID (intel Belanda).

Dia ditanya mengapa memakai kata "merdeka-merdeka". Ia menjawab, kata-kata itu hasil ubahan orang lain, sebab lirik naskah aslinya "mulia-mulia."

Protes atas pelarangan lagu itu berdatangan dari berbagai pihak. Volkraad turun tangan. Akhirnya, kata "merdeka-merdeka" boleh dinyanyikan di ruang tertutup. Setelah menderita kekalahan di mana-mana, Jepang membentuk Panitia Lagu Kebangsaan pada 1944.

Panitia yang diketuai Ir Sukarno melakukan beberapa perubahan atas naskah asli Soepratman. Perubahan cukup besar terjadi pada refrain lagu 1928. Kata-kata "Indones, Indones, moelia, moelia, tanahkoe, neg'riku yang koecinta. Indones, Indones, moelia, moelia, hidoeplah Indonesia Raja", diubah menjadi "Indonesia Raya. Merdeka, merdeka. Tanahku, negeriku yang kucinta. Indonesia Raya. Merdeka, merdeka. Hiduplah Indonesia Raya".

Sampai Jepang angkat kaki dari Indonesia, format lagu Indonesia Raya belum seragam. Pada 26 Juni 1958 keluarlah Peraturan Pemerintah tentang lagu Indonesia Raya yang di dalamnya termuat tata tertib penggunaan, nada, irama, kata, dan gubahan lagu.

Yang pasti, lagu Indonesia Raya yang asli berdurasi tiga menit 49 detik merupakan lagu kebangsaan terpanjang di dunia. Bila pada tiap tanggal 17 Agustus kita memperingati HUT Kemerdekaan RI, berarti sekaligus merupakan hari wafat WR Soepratman. Karena, ia wafat pada 17 Agustus 1939, di Surabaya.

 

Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi 12 Agustus 2007. Alwi Shahab adalah wartawan Republika lintas zaman yang wafat pada 2020.

sumber : Nostalgia Abah Alwi
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler