Ekspresi Serius Jokowi Saat Puan Berpidato, 'Indonesia Bukan Satu Negara untuk Satu Orang'
Pidato Puan juga mengkritisi hasil dari pembangunan IKN.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Bayu Adji P
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pasang muka serius saat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani menyampaikan pidato tajamnya dalam Sidang Tahunan MPR/DPR 2024, Jumat (16/8/2024). Politikus PDI Perjuangan itu, dalam pidatonya, menyindir kepemimpinan Presiden Jokowi.
Sindiran Puan mulai dari kualitas demokrasi, penggunaan hukum yang tak tepat guna untuk kepentingan-kepentingan politik, sampai dengan kritik atas proyek strategis pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur (Kaltim) yang tanpa perencanaan matang. Dari penggalan video, terlihat Jokowi hanya pasang muka serius, dengan mata sayu saat mendengarkan 31 menit pidato dari Puan.
Arah garis bibir Presiden Jokowi tampak melengkung ke bawah, alih-alih ke atas sebagai tanda gembira. Mengenakan pakaian adat Betawi, Jokowi yang duduk di kursi presiden, menampakkan kedua jemari-jemari kedua tangannya yang menyatu, dengan menekan kedua ibu jarinya. Ekspresi Presiden Jokowi itu tertangkap pada saat Puan, mengkritisi soal hasil dari pembangunan IKN.
“Pembangunan Ibu Kota Nusantara selain membutuhkan perancanaan manajemen sumber daya manusia yang baik, skenario pembiayaan yang berkelanjutan, dukungan investasi juga sangat ditentukan oleh dukungan seluruh pemangku kepentingan, dan seluruh anak bangsa untuk dapat selaras dalam memaknai ibu kota negara, sebagai agenda kita bersama dalam membangun ekonomi bangsa Indonesia ke depan,” kata Puan.
“Inilah yang harus menjadi perhatian pemerintahn ke depan, pekerjaan-pekerjaan yang selesai dilakukan lebih baik dari pada rencana-rencana besar yang hanya dibiacarakan,” sambung Puan.
Puan juga mengkritisi kualitas politik Indonesia belakangan yang jauh dari etika dan martabat. Dalam pidatonya, kata Puan, demokrasi yang semestinya menjadi patron dalam perpolitikan di Indonesia, belakangan jauh dari etika, dan martabat.
Sehingga, kata Puan, muncul anggapan di masyarakat bahwa politik hanya menggambarkan pemerintahan yang seolah-olah hanya milik satu pihak. Tanpa, mementingkan aspirasi dari masyarakat. “Negara Indonesia, bukan satu negara untuk satu orang, bukan negara untuk satu golongan. Akan tetapi, kita mendirikan negara semua buat semua. Satu buat semua, semua buat satu. All for one, one for all,” sambung Puan.
Dalam pemerintahan ke depan, kata Puan, pemimpin negara, harus lebih mengutamakan sikap negarawannya. Yaitu, satu sikap yang dikatakan Puan, bukan cuma untuk mementingkan diri sendiri, ataupun kelompoknya semata. Melainkan untuk seluruh rakyat Indonesia.
“Seorang negarawan akan memikirkan masa depan negara yang harus lebih baik. Sedangkan politisi hanya akan memikirkan masa depan hasil yang harus lebih baik. Visi tanpa kekuasaan menjadi sia-sia, kekuasaan tanpa visi menjadi kesewenang-wenangan,” ujar Puan.
Puan juga mengkritisi aspek penegakan hukum di Indonesia dalam kepemimpinan Presiden Jokowi selama ini, yang selut menghasilkan keadilan bagi masyarakat. Sehingga masyarakat mengambil jalan sendiri untuk keadilan bagi seluruh masyarakat dengan menjadikan viralitas sebagai teriakan yang kencang terhadap aparat penegak hukum agar memberikan rasa adil atas permasalahan-permasalahan yang menjerat di akar rumput.
“Kita negara yang terlambat, atau tidak responsif, rakyat mengambil inisiatifnya sendiri dengan memviralkan di media sosial, no viral no justice,” kata Puan.
Sebab itu, Puan menegaskan, situasi tersebut menjadi tanggung jawab bersama seluruh lembaga negara di masa mendatang. Mulai dari lembaga eksekutif, yudikatif, maupun legislatif, untuk mampu menjalankan peran dan kekuasaannya dalam memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Karena menurut Puan, adalah peran lembaga-lembaga negara tersebut sebagai pengelola pemerintahan yang tujuan utamanya adalah penjamin rasa keadilan bagi masyarakat.
Dalam pidato terakhirnya dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), di Gedung MPR/DPR, Jumat (16/8/2024), Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyampaikan permintaan maaf. Permintaan maaf itu tak hanya diucapkan satu kali, melainkan berkali-kali.
Jokowi mengatakan, sepuluh tahun memimpin Indonesia bukanlah waktu yang cukup panjang untuk mengurai semua permasalahan bangsa. Ia sangat menyadari dirinya masih jauh dari sempurna, apalagi istimewa. Ia mengaku, sangat mungkin masih ada hal yang luput dari pandangannya sebagai presiden.
"Sangat mungkin ada celah dari langkah-langkah yang saya ambil. Sangat mungkin banyak kealpaan dalam diri saya," kata dia dalam pidatonya.
Karena itu, Jokowi meminta maaf kepada seluruh warga. Apalagi, saat ini merupakan penghujung masa jabatannya sebagai presiden.
"Di penghujung masa jabatan ini, izinkan saya menyampaikan suara nurani terdalam kepada Bapak, Ibu, saudara-saudara se-bangsa dan se-tanah air, kepada seluruh rakyat Indonesia, tidak terkecuali satu pun. Saya dan KH Ma’ruf Amin mohon maaf," kata Jokowi.
Ia meminta maaf karena sangat mungkin masih ada warga yang kecewa. Apalagi, masih banyak harapan yang mungkin belum bisa terwujud dan cita-cita yahg belum bisa tergapai.
"Mohon maaf untuk setiap hati yang mungkin kecewa, untuk setiap harapan yang mungkin belum bisa terwujud, untuk setiap cita-cita yang mungkin belum bisa tergapai. Sekali lagi, kami mohon maaf. Ini adalah yang terbaik, yang bisa kami upayakan bagi rakyat Indonesia, bagi bangsa dan negara Indonesia," ujar Jokowi.
Menurut Jokowi, capaian yang telah dilakukannya belum sepenuhnya tuntas mencapai hasil akhir. Capaiannya juga disebut belum sepenuhnya sesuai dengan harapan dan keinginan warga.
"Namun, saya yakin dan percaya dengan persatuan dan kerja sama kita, dengan keberlanjutan yang terjaga, Indonesia sebagai negara yang kuat dan berdaulat akan mampu melompat dan menggapai cita-cita Indonesia Emas 2045," kata Jokowi.