Dukungan Bung Karno untuk Perjuangan Palestina Merdeka
Bung Karno menegaskan, Indonesia selalu mendukung perjuangan Palestina Merdeka.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seluruh rakyat di Tanah Air pada hari ini bersuka cita. Inilah perayaan kemerdekaan. Tepat 79 tahun silam, bangsa Indonesia mencapai titik terpenting dalam sejarahnya, yang mengkristal dalam momen pembacaan teks Proklamasi Republik Indonesia yang dilakukan Ir Sukarno bersama dengan Mohammad Hatta di Jakarta.
Dalam perspektif lebih luas, tidak semua bangsa seperti negara kita, yang dapat merasakan kegembiraaan lantaran merdeka. Saudara-saudara kita di Palestina hingga detik ini masih menderita akibat dijajah Israel.
Empati terhadap penderitaan rakyat Palestina sudah tertanam kuat dalam diri bangsa Indonesia. Adalah sang proklamator RI, Sukarno, sendiri yang menegaskan hal itu.
Dengan lantang, Bung Karno pernah berkata, "Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel."
Kutipan tersebut sering kali diulangi presiden-presiden RI generasi setelah Bung Karno. Presiden Joko Widodo (Jokowi), misalnya, saat membuka Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Kerjasama Islam (OKI) V di Jakarta pada 2016 menegaskan tekad dan empati yang sama.
“Pada tahun 1962, Bapak Bangsa Indonesia, Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, Bung Karno, menegaskan ‘Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel’. Kami bangsa Indonesia konsisten dengan janji tersebut,” kata Presiden Jokowi dalam forum internasional dunia Islam itu di di Plenary Hall JCC Senayan, Senin (7/3/2016).
“Hari ini, Indonesia berdiri bersama dengan negara-negara OKI untuk meneruskan perjuangan yang belum selesai itu,” tegas Kepala Negara lagi, seperti dilansir dari laman Kementerian Agama (Kemenag) RI.
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, kemerdekaan dipandang sebagai hak setiap bangsa di muka bumi. Maka wajar bila simpati Indonesia tertuju pada Palestina, satu-satunya bangsa yang belum merdeka hingga kini.
M Muttaqien dalam artikelnya untuk jurnal Global and Strategies (2013) menjelaskan, ada dua hal yang menjadi konsen Indonesia terhadap Palestina. Pertama, Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim di dunia. Karena itu, Baitul Makdis--yang berlokasi di Palestina--menjadi isu penting lantaran statusnya sebagai tanah suci ketiga dalam ajaran Islam.
Kedua, Indonesia mengikuti komunitas internasional pada umumnya yang memandang, konflik Palestina-Israel adalah isu sentral untuk mengupayakan perdamaian di kawasan Timur Tengah. RI selalu menjalankan politik luar negeri yang menginginkan solusi damai dan sekaligus dukungan terhadap perjuangan Palestina merdeka.
Pada masa pemerintahan presiden Sukarno, Indonesia menjadi sorotan dunia pada 1955. Kala itu, RI dengan bangga sukses menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang pertama di Bandung, Jawa Barat.
Dalam perhelatan ini, Bung Karno tidak mengundang Israel. Sang proklamator RI menilai, rezim zionis tersebut adalah bagian dari kolonialisme yang menindas bangsa-bangsa Asia dan Afrika.
Menurut Muttaqien, politik luar negeri Sukarno yang berkaitan dengan Palestina menunjukkan keberpihakan pada Pan-Arabisme. Gagasan ini diusung seorang sahabatnya dalam Kubu Negara-Negara Non-Blok, Gamal Abdel Nasser.
Harapannya, seluruh bangsa Arab yang tersebar di banyak negara bersatu untuk mengusir kolonialisme Eropa dari Asia Barat dan Afrika Utara. Sukarno memandang, pembentukan Israel adalah wujud penjajahan Eropa yang masih bercokol di Asia pasca-Perang Dunia II. Entitas itu jelas-jelas mencaplok tanah milik bangsa Palestina, dengan restu Britania Raya.
Solidaritas Indonesia terhadap Palestina dan negara-negara Arab pada umumnya juga terjadi ketika Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games pada September 1962. Bung Karno tidak mau RI memberikan visa kepada para atlet Israel.
Ayahanda Megawati, presiden kelima RI, ini tetap konsisten menolak kepesertaan Israel. Dirinya tidak takut akan konsekuensi, yakni bahwa Komite Olimpiade Internasional (KOI) tidak mengizinkan Indonesia mengikuti gelaran Olimpiade mendatang. Alih-alih menggadaikan sikap anti-penjajahan, Bung Karno menggelar ajang tandingan Olimpiade, yakni GANEFO, pada akhir 1962.