Ruang Fiskal Terbatas, Indef: Jokowi Beri 'Warisan' ke Prabowo

Tingginya utang membuat pemerintah kebingungan dalam menetapkan anggaran.

Republika/Prayogi
Presiden Joko Widodo berbincang Presiden Terpilih Prabowo Subianto usai Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD Tahun 2024 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (16/8/2024).
Rep: Muhammad Nursyamsi Red: Erik Purnama Putra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef, Ariyo Irhamna mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mewariskan beban utang yang besar kepada pemerintahan Prabowo Subianto. Ariyo mengatakan, kewajiban pembayaran utang jatuh tempo sebesar Rp 775 triliun pada 2025, kian mempersempit ruang gerak fiskal pemerintahan Prabowo.

Baca Juga


"Pembayaran bunga utang mengalami peningkatan sangat besar sejak 2022 yang secara proporsi menjadi belanja pemerintah terbesar kedua setelah belanja lain-lain," ujar Ariyo saat diskusi publik Indef bertajuk 'RAPBN 2025 di Masa Transisi: Apa Saja yang Harus Diantisipasi?' di Jakarta, Ahad (18/8/2024).

Dalam rencana belanja pemerintah pusat pada RAPBN 2025 untuk kategori jenis, Ariyo menyampaikan, pembayaran bunga utang mencapai Rp 5,5 triliun atau kedua teratas setelah belanja dan lain-lain sebesar Rp 6,3 triliun. Ariyo menyebut, proporsi tingginya pembayaran beban utang di atas belanja modal, belanja barang, belanja pegawai, bahkan sudah terjadi sejak 2022.

"Ini peringatan untuk pemerintah dan membuat ruang fiskal 2025 semakin terbatas untuk periode pemerintahan yang baru dan menjadi warisan yang buruk dari kepemimpinan Pak Jokowi untuk Pak Prabowo," ucap Ariyo.

Dia menganggap, sempitnya ruang fiskal juga tercermin dari penurunan alokasi belanja pemerintah untuk belanja kementerian/lembaga (KL). Hal itu berbanding terbalik dengan peningkatan alokasi belanja pemerintah untuk sektor non-KL.

"Ini menunjukkan ruang fiskal yang semakin terbatas akibat pembayaran utang semakin besar. Kenaikan alokasi belanja non-KL dialokasikan untuk pembayaran utang," ucap Ariyo.

Menurut Ariyo, tingginya utang membuat pemerintah tampak kebingungan dalam menetapkan alokasi anggaran program prioritas, seperti hilirisasi dan infrastruktur. Hasilnya, anggaran kementerian dan lembaga yang terkait dengan hilirisasi dan infrastruktur mengalami penurunan dalam RAPBN 2025.

Baca: Pitch Black 2024, Delegasi TNI AU Raih Lima Penghargaan dari Australia

"Ketika disebut prioritas, tapi alokasi anggaran malah menurun, ini ada inkonsistensi dari apa yang ditetapkan pemerintah," kata Ariyo.

Sementara itu, peneliti Center of Macroeconomics and Finance Indef, Riza Annisa Pujarama mengatakan, RAPBN 2025 tidak berbeda dengan outlook APBN 2024. Riza menjelaskan, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen, inflasi 2,5 persen, suku bunga SBN naik 7,1 persen, hingga kenaikan nilai tukarnya rupiah sebesar Rp 16.100 per dolar AS.

"Sebenarnya kalau lihat dari postur asumsi dasar ekonomi makro di RAPBN 2025 ini, tidak seoptimistis tahun-tahun sebelumnya dipatoknya," ujar Riza saat diskusi publik Indef bertajuk 'RAPBN 2025 di Masa Transisi: Apa Saja yang Harus Diantisipasi?' di Jakarta, Ahad.

Baca: TNI AL Tangkap Tiga Terduga Perompak di Selat Malaka

Riza menyebut, pertumbuhan ekonomi tetap sama dibandingkan dengan 2024, meskipun inflasinya rendah 2,5 persen. Namun pemerintah perlu melihat inflasi yang rendah ini karena beberapa bulan ini terjadi deflasi.

"Inflasi yang rendah itu bisa menjadi indikator bahwa telah terjadi penurunan daya beli secara umum dan ini akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran, juga dari sisi konsumsi rumah tangga," ucap Riza.

Kenaikan nilai tukar Rp...

 

Riza menyoroti, kenaikan asumsi nilai tukar rupiah hingga Rp 10 ribu per dolar AS dibandingkan tahun lalu. Riza menilai, pemerintah harus mengantisipasi dampak kenaikan nilai tukar rupiah terhadap kondisi ekonomi pada tahun depan.

"Ini juga bisa sebagai indikator, warning untuk kita bahwa daya saing untuk nilai tukar ini memperlihatkan daya saing kita berarti sedang turun. Ini perlu diperhatikan kembali karena ini akan terkait-paut juga dengan perdagangan luar negeri, ekspor impor," ucap Riza.

Menurut Riza, suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun itu menjadi 7,1 persen terkait dengan kondisi ekonomi global yang diprediksi masih tinggi pada tahun depan. Dia menyatakan, hal itu yang mendasari pemerintah meningkatkan tingkat suku bunga SBN hingga 7,1 persen.

"Ini mungkin karena resiko secara global juga masih tinggi di tahun depan. Ada pemilu juga di negara-negara lain, di Amerika Serikat juga sedang ada pemilu, sehingga risikonya mungkin masih besar terhadap capital outflow," kata Riza.

Muhammad Nursyamsi

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler