Minuman Manis Dinilai Lebih Berisiko Sebabkan Diabetes Dibandingkan Nasi Putih

Minuman manis kemasan mengandung gula tambahan yang meningkatkan kadar gula darah.

www.freepik.com
Minuman manis (ilustrasi). Minuman manis memiliki risiko lebih tinggi untuk menyebabkan diabetes tipe 2 dibandingkan nasi putih.
Red: Qommarria Rostanti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa minuman manis begitu populer? Rasa manisnya yang segar memang menggugah selera. Namun, di balik kelezatannya, minuman manis menyimpan bahaya yang mengancam kesehatan.

Baca Juga


Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menegaskan minuman manis memiliki risiko lebih tinggi untuk menyebabkan diabetes tipe 2 dan obesitas dan langsung berpengaruh pada resistensi insulin jika dibandingkan dengan nasi putih. “Minuman manis seperti soda atau teh kemasan mengandung gula tambahan dalam jumlah besar yang langsung meningkatkan kadar gula darah tanpa memberikan manfaat gizi,” kata Pelaksana Sementara Ketua Harian YLKI Indah Sukmaningsih melalui keterangan pers YLKI yang diterima, Rabu (28/8/2024).

Indah mengatakan dalam riset yang telah dilakukan terbukti bahwa minuman manis dan nasi putih memiliki potensi meningkatkan risiko diabetes namun tingkatnya berbeda. Konsumsi rutin minuman manis dikaitkan kuat dengan peningkatan risiko obesitas dan diabetes tipe 2. Sebaliknya nasi putih meskipun memiliki indeks glikemik tinggi tapi tidak mengandung gula tambahan dan masih memberikan karbohidrat sebagai sumber energi terutama jika dikonsumsi dalam porsi yang wajar.

“Namun untuk menjaga kesehatan pilihan yang lebih aman adalah mengurangi konsumsi keduanya, mengganti minuman manis dengan air putih atau teh tanpa gula, serta mengganti nasi putih dengan karbohidrat yang lebih sehat seperti nasi merah atau quinoa,” kata dia.

YLKI berpendapat, menyehatkan masyarakat Indonesia memerlukan pendekatan holistik yang mencakup kebijakan fiskal seperti cukai, regulasi yang ketat dan kampanye edukasi yang masif. Cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) tetap menjadi solusi efektif untuk mengubah perilaku konsumsi gula di masyarakat.

“Cukai MBDK adalah bagian integral dari upaya tersebut yang diharapkan dapat membantu masyarakat Indonesia mengurangi konsumsi gula berlebih dan mencegah peningkatan prevalensi PTM (penyakit tidak menular) di masa depan,” kata Indah.

Peta jalan yang diusulkan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) yang menyarankan pengendalian gula, garam dan lemak (GGL) sebagai alternatif pengenaan cukai MBDK, ditanggapi YLKI sebagai upaya jangka panjang.

Namun tetap disertai kebijakan fiskal yang tegas untuk menghasilkan perubahan perilaku konsumsi yang dibutuhkan. “Argumen bahwa kontribusi minuman berpemanis terhadap total konsumsi gula nasional hanya 4 persen tidak mengurangi urgensi pengendalian produk. Sebaliknya pengenaan cukai akan secara langsung mendorong produsen menyesuaikan kadar gula dalam produknya,” katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler