PBB: Transfer Senjata Harus Sesuai Kerangka Hukum Internasional
PBB mendorong perdamaian di berbagai kawasan.
REPUBLIKA.CO.ID, HAMILTON -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat (30/8) menyoroti krisis kemanusiaan yang semakin memburuk di Ukraina, dan mendesak semua negara untuk mematuhi hukum internasional saat melakukan transfer senjata dan amunisi.
"Serangan yang meningkat di wilayah Ukraina telah menyebabkan lebih banyak kematian dan cedera pada warga sipil serta penghancuran besar-besaran infrastruktur sipil, termasuk fasilitas energi, kesehatan, dan pendidikan," kata Adedeji Ebo, wakil dari Perwakilan Tinggi PBB untuk Urusan Perlucutan Senjata, dalam sesi di Dewan Keamanan PBB.
Ebo juga menyinggung dukungan militer yang terus berlangsung untuk Ukraina, dengan menyebut penyediaan "senjata konvensional berat seperti tank tempur, pesawat tempur, dan sistem rudal" oleh berbagai negara.
Dia menyerukan kepada semua negara untuk mematuhi hukum internasional dan resolusi Dewan Keamanan ketika mentransfer senjata dan amunisi apa pun.
"Laporan terkait penggunaan amunisi tandan dan kontaminasi luas dengan ranjau dan sisa-sisa bahan peledak perang di Ukraina sangat memprihatinkan," tambahnya.
Ebo menegaskan kembali komitmen PBB untuk mencari penyelesaian damai atas konflik tersebut, dengan menyatakan, "Sudah waktunya untuk mengakhiri konflik ini."
Sementara itu, Wakil Tetap Rusia untuk PBB, Dmitry Polyanskiy, mengkritik peran Barat dalam memasok senjata ke Ukraina, dengan alasan bahwa hal itu memperpanjang konflik dan menyebabkan penderitaan manusia yang signifikan.
Mengutip pembicaraan damai yang diadakan di Istanbul, Turki, pada Maret 2022, Polyanskiy mengatakan: "Di Istanbul, ada beberapa dokumen awal yang sangat menguntungkan bagi negara itu (Ukraina). Namun, sejumlah pemimpin Barat, khususnya mantan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, memastikan bahwa Presiden (Ukraina) Volodymyr Zelenskyy menolak kesepakatan ini karena, dengan bantuan senjata Barat, dia bisa mengalahkan Rusia dan mendapatkan kembali perbatasan negaranya seperti pada tahun 1991."
Polyanskiy juga mengecam pihak berwenang Ukraina karena mengesahkan undang-undang yang melarang organisasi keagamaan yang memiliki hubungan dengan Moskow beroperasi di wilayah Ukraina, membuka jalan untuk melarang Gereja Ortodoks Ukraina (UOC).
Wakil Tetap AS untuk PBB, Robert Wood, menuduh Iran, Korea Utara, dan China memasok Rusia "dengan dukungan material yang dibutuhkan untuk menjalankan" perang di Ukraina.
Wood juga menuduh China mengekspor "nitroselulosa, alat mesin, mikroelektronika, optik, serta teknologi UAV dan rudal jelajah" ke Rusia untuk digunakan melawan Ukraina.
"China tidak bisa bersikap dua muka. China tidak bisa mengklaim mendukung perdamaian dan ingin hubungan yang lebih baik dengan Eropa sementara pada saat yang sama memperburuk ancaman terbesar terhadap keamanan Eropa sejak berakhirnya Perang Dingin," katanya.
Utusan China untuk PBB, Geng Shuang, membalas pernyataan Wood, menekankan bahwa "posisi China mengenai masalah Ukraina konsisten dan jelas."
"Faktanya, Amerika Serikat masih mempertahankan hubungan perdagangan dan ekonomi dengan Rusia," katanya.
Shuang menekankan pentingnya mempromosikan pembicaraan damai dan menemukan penyelesaian politik untuk krisis Ukraina.