Undip Disarankan Melawan Pemberhentian Sepihak Dekan Kedokteran, Pakar: Gugat ke PTUN!

Pemberhentian dekan Fakutas Kedokteran sebagai buntut kasus kematian dokter Risma.

Reublika/Kamran Dikarma
Suasana Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (15/8/2024).
Red: Mas Alamil Huda

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG - Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho mengkritisi keputusan penghentian sementara Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro oleh pihak RSUP dr Kariadi Semarang. Untuk mengeluarkan surat penghentian sementara, kata dia, harus berdasarkan penelitian internal dan mekanisme evaluasi yang melibatkan semua pihak terkait.

Baca Juga


"Tidak bisa ujug-ujug (tiba-tiba, Red). Harusnya ada klarifikasi terlebih dahulu. Kalau ini namanya otoriter dan itu harus dilawan," katanya saat dikonfirmasi di Semarang, Sabtu (31/8/2024).

Pendapat Hibnu disampaikan setelah keluarnya surat nomor KP.04.06/D.X/7465/2024 perihal penghentian sementara aktifitas klinis yang ditujukan kepada Dr dr Yan Wisnu Prajoko, MKes, SpB, Supsp Onk(K) yang juga Dekan FK Undip. Surat tersebut ditandatangani oleh Direktur Utama RSUP Dr Kariadi Semarang dr Agus Akhmadi, MKes pada 28 Agustus 2024.

Dalam surat tersebut tertulis, "Menindaklanjuti surat Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor TK.02.02/D/44137/2024 tanggal 14 Agustus 2024 hal Pemberhentian Program Anestesi Universitas Diponegoro di RS Kariadi dan berdasarkan dugaan kasus perundungan pada PPDS Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif".

"Bersama ini disampaikan bahwa aktivitas klinis saudara sementara dihentikan untuk menghindari konflik kepentingan sampai dengan proses penanganan kasus tersebut selesai dilakukan," katanya.

Hal itu, kata Hibnu, artinya penangguhan atau penghentian sementara praktik dokter Yan Wisnu di RSUP dr Kariadi merupakan buntut dari meninggalnya mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) dokter Aulia Risma Lestari yang masih dalam proses investigasi. Ia menilai, kejadian yang dialami Dekan FK Undip yang juga spesialis bedah onkologi tersebut serupa dengan kondisi yang dialami oleh Dekan FK Universitas Airlangga (Unir) Surabaya Budi Santoso.

Berdasarkan pemberitaan media, kata Hibnu, Prof Budi dicopot jabatannya oleh rektor setelah bersuara lantang menolak rencana Kementerian Kesehatan yang ingin mendatangkan dokter asing berpraktik di Indonesia. "Ini sama kejadiannya (dengan kasus penghentian Dekan FK Unair)," katanya.

Secara hukum, Hibnu menyarankan pihak Undip bisa melayangkan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. "Harusnya civitas Undip kompak. Ini harus diperjuangkan, salah satunya melalui PTUN," katanya.

Mengenai inti persoalan penyebab meninggalnya mahasiswi PPDS Undip dokter Aulia Risma, ia mengatakan, proses itu menjadi kewenangan pihak kepolisian. Sebab, kata dia, persoalan tersebut masuk pada ranah pidana, sedangkan Kemenkes hanya memiliki kapasitas administrasi. "Jadi tidak bisa melakukan justifikasi melalui media," katanya.

Selain itu, Hibnu juga meminta semua civitas akademi dapat memerangi praktik perundungan sehingga perlu ada evaluasi dalam upaya melakukan perbaikan. "Kalau betul itu (terjadi perundungan, Red) terjadi maka harus ada perbaikan. Tapi ketika belum cukup bukti maka jangan terlalu dini untuk menggiring opini terjadi perundungan, apalagi sampai dugaan bunuh diri," katanya.

Indonesia kekurangan dokter - (ali imron)

Tudingan Undip untuk Kemenkes.. baca di halaman selanjutnya.

Wakil Rektor IV Undip Wijayanto mengungkapkan berbagai hukuman yang diterima UNDIP sebagai buntut dari kasus meninggalnya mahasiswi Program Studi Dokter Spesialis (PPDS) Undip. Seperti yang dikatakan Rekfor Undip, dia mengibaratkan Undip sekarang seperti bebek yang lumpuh tak berdaya.

Di dalam kasus PPDS, menurut Wijayanto, Undip sudah melakukan investigasi internal. Namun, kata dia, seperti disampaikan berkali-kali oleh rektor di berbagai kesempatan, Undip sangat terbuka dengan hasil investigasi dari pihak luar baik itu kepolisian maupun Kemenkes.

Jika memang terbukti ada perundungan, hukuman untuk pelakukanya jelas dan tegas, yaitu Drop Out (DO). "Namun, faktanya bahkan saat investigasi itu masih jauh dari kata selesai: penghakiman bahkan hukuman sudah dilakukan. Berkali-kali," ujar Wijayanto dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Sabtu (31/8/2024).

Dia menjelaskan, hukuman pertama berupa penutupan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Undip. Penutupan itu dilakukan Kemenkes pada 14 Agustus 2024 jauh sebelum penyidikan itu rampung dan ada kata putus dari polisi dan apakah lagi pengadilan.

"Penutupan program studi itu tidak hanya merugikan 80-an para mahasiswa PPDS lainnya. Namun juga masyarakat yang mesti panjang mengantri karena kelangkaan dokter di RS Karyadi," ucap Wijayanto.

Lalu, jukuman kedua baru saja terjadi kemarin. Hukuman itu diberikan kepada Dr. Yan Wisnu, Dekan Fakultas Kedokteran Undip. "Saya mengenalnya sebagai pria bersuara lirih, selalu ramah, tidak pernah meledak-ledak dan sangat hati-hati dan terukur dalam berkata-kata. Dapat dimengerti, dia adalah seorang dokter spesialis Onkologi. Saat saya periksa wikipedia, itu adalah cabang ilmu yang berurusan dengan studi, perawatan, diagnosa dan pencegahan kanker," kata Wijayanto.

Beberapa kali Wijayanto bertemu dengannya akhir-akhir ini. Wajahnya lelah dan tampak kurang tidur. Kepada Wijayanto, Yan Wisnu mengaku mengalami banyak sekali doxing dan perisakan di berbagai akun media sosial yang dia miliki. Hari-hari ini, kata dia, Yan Wisnu merasa didera rasa cemas dan panik, stres, dan burn out.

"Di mata saya dia adalah sosok yang penuh integritas. Sulit saya membayangkan dia rela untuk melindungi pelaku perundungan dan mengorbankan nama baiknya sendiri. Mengorbankan puluhan mahasiswa yang lain dan, terutama, almamater undip yang teramat dcintainya. Apalagi ditambah semua perisakan yang dialaminya," jelas Wijayanto.

Namun, kata dia, pada siang hari kemarin, bahkan sebelum hasil investgasi keluar, Yan Wisnu sudah terlebih dulu diberhentikan praktiknya dari RS Karyadi. Yang melakukan pemberhentian itu adalah Direktur Rumah Sakit. "Kita mendengar Pak Dirut mendapat tekanan luar biasa dari kementerian kesehatan sehingga mengeluarkan keputusan itu. Di sini, Wijayanto pun segera teringat kasus yang menimpa Dekan Fakultas Kedokteran Unair yang diberhentikan oleh menteri karena berani kritis pada kebijakan pemerintah," kata dia.

Bullying di Program Pendidikan Dokter Spesialis - (Infografis Republika)

Undip seperti bebek lumpuh.. baca di halaman selanjutnya.

 

Wijayanto mengatakan, hukuman dan penghakiman kepada PPDS dan Undip mungkin masih akan terus berlanjut. "Pak Rektor Undip menyebutnya "siting duck" alias bebek yang lumpuh yang tidak berdaya melawan berbagai bahaya yang mengancam," ucap Wijayanto.

"Ya, semunya tertuju pada Undip dan hanya Undip. Bahkan meskipun pada kenyataannya, seperti jelas dalam berbagai dialog, jam kerja yang overload itu adalah kebijakan rumah sakit dan ini adalah ranah kebijakan Kementerian Kesehatan," jelas dia.

Dia menambahkan, seorang residen, julukan untuk mahasiswa PPDS yang praktik di RS, mesti kerja lebih dari 80 jam seminggu. Tidur hanya dua sampai tiga jam setiap hari. Kadang mesti bekerja hingga 24 jam alias sama sekali tidak tidur. Di sinilah mengapa Rektor mengungkapkan bahwa penyedikian itu sayapnya patah karena hanya sebelah.

Menurut Wijayanto, peristiwa ini ibarat puncak gunung es. Undip mendorong agar investigasi dilakukan secara tuntas agar terungkap akar struktural dan sistemik dari keadaan ini sebagai modal pembenahan ke depan. Agar Undip tidak terus-terusan menjadi siting duck yang dihujani hukuman tanpa bukti, dan tanpa pengadilan.

"Kemarin Unair yang mengalaminya. Hari ini Undip. Esok entah siapa lagi," kata Wijayanto.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler