Peneliti BRIN Beberkan 15 Segmen Megathrust di Indonesia, Potensi Gempa Hingga Magnitudo 9
Ke-15 segmen megathrust itu membentang dari pesisir barat Sumsel hingga utara Papua.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nuraini Rahma Hanifa memaparkan berbagai potensi maksimal gempa yang bisa terjadi di 15 segmen megathrust yang ada di Indonesia. Ke-15 segmen megathrust itu membentang dari sepanjang pesisir barat Sumatera Selatan, Jawa, selatan Bali, NTT, NTB, utara Sulawesi, hingga utara Papua.
"Memang kalau secara potensinya itu bisa magnitudo-nya (gempa) sampai 9 ya," kata Rahma dalam gelar wicara yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin (2/9/2024).
Rahma memaparkan berbagai potensi tersebut terdapat di segmen Aceh-Andaman dengan potensi 9,2 Magnitudo maksimum (Mmax), Nias-Simeulue 8,9 Mmax, Kepulauan Batu 8,2 Mmax, Mentawai-Siberut 8,7 Mmax, Mentawai-Pagai 8,9 Mmax, Enggano 8,8 Mmax, serta Selat Sunda-Banten 8,8 Mmax. Kemudian, Jawa Barat 8,8 Mmax, Jawa Tengah-Timur 8,9 Mmax, Bali 9,0 Mmax, Nusa Tenggara Barat (NTB) 8,9 Mmax, Nusa Tenggara Timur 8,7 Mmax, Sulawesi Utara 8,5 Mmax, Filipina-Maluku 8,2 Mmax, Laut Banda Utara 7,9 Mmax, serta Laut Banda Selatan 7,4 Mmax.
Menurut Rahma, gempa megathrust memiliki ciri khusus yang siklusnya berulang. "Dari 15 segmen megathrust ini, kita punya sejarah 20 tahun yang lalu persis tahun 2004, kita mengalami gempa megathrust di Aceh," ujarnya.
Selain gempa Aceh, kata Rahma, gempa megathrust juga dialami di Pangandaran, Jawa Barat dan Pulau Nias, Sumatera Utara pada 2006 dan Pacitan, Jawa Timur pada 1994 silam.
"Megathrust ini gempa yang siklusnya berulang, jadi memang potensi ke depan itu untuk megathrust ya dia akan ada, dan akan berulang. Tapi, mungkin memang periode waktunya cukup panjang ya," ujarnya.
Adapun terkait risiko terbesar, kata Rahma, tidak hanya dipengaruhi dengan skala magnitudo terbesar. Melainkan, juga dipengaruhi dengan seberapa banyak penduduk yang terdapat dalam kawasan di segmen-segmen tersebut.
"Artinya, kalau kita mempertemukan skala gempa megathrust yang besar dengan penduduk yang paling padat, maka risikonya menjadi lebih tinggi di Pulau Jawa ini," ujarnya.
Meski demikian, Rahma menegaskan megathrust bukanlah sebuah bencana, melainkan merupakan fenomena alam yang pasti terjadi, karena fluktuasi dan revolusi bumi yang mengakibatkan dinamika alam. Untuk itu, ia mendorong kepada seluruh masyarakat Indonesia, baik para pemangku kepentingan terkait maupun seluruh warga untuk bersama-sama memperkuat diri untuk bisa beradaptasi dan mengantisipasi fenomena gempa megathrust, sebagai upaya mitigasi diri dari bencana besar, yang dapat menyelamatkan banyak nyawa manusia.
Menurut Rahma, persiapan dalam menghadapi gempa megathrust menjadi pekerjaan rumah (PR) seluruh elemen negara, baik pemerintah maupun masyarakat agar dapat meminimalisasi korban terdampak. "Secara jujur kayaknya kita masih punya banyak PR untuk meningkatkan kesiapan kita (dalam menghadapi gempa megathrust)," katanya.
Rahma mengatakan kepanikan menjadi salah satu penyebab tingginya korban jiwa dalam sebuah bencana alam. Dalam konteks gempa bumi, jelas dia, kepanikan umumnya disebabkan oleh tingginya kemungkinan bangunan runtuh, yang menyebabkan warga panik dan berlarian tak beraturan.
Berkaca pada Jepang, kata Rahma, bangunan yang dibangun telah memiliki standar khusus, sehingga hal tersebut dapat menjamin bahwa bangunan tersebut tahan terhadap gempa bumi.
"Nah kita di Indonesia mungkin enggak merasa yakin dengan bangunan ataupun rumah yang kita tempati, sehingga mungkin satu kita punya insecurity terhadap bangunan, yang kedua kita juga panik," ujarnya.
Di samping itu, Rahma menilai masyarakat Indonesia juga memiliki bayangan traumatis terhadap gempa yang pernah terjadi di Aceh pada 2004 silam. Di mana gempa tersebut juga diiringi dengan gelombang tsunami, yang mengharuskan setiap orang untuk berlarian keluar rumah.
Upaya mitigasi bencana, ungkap dia, bisa diawali dengan upaya berbasis sains, teknologi, dan inovasi, seperti pembuatan rumah tahan gempa dan modernisasi sistem peringatan dini, sembari terus melakukan sosialisasi jalur evakuasi saat bencana alam terjadi kepada seluruh lapisan masyarakat.
"Insya Allah itu bisa mengurangi kepanikan, dan juga kita akan merasa lebih siap dalam menghadapi gempa megathrust ini," ucap Rahma.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan pentingnya penyesuaian gaya rumah untuk mengantisipasi dampak gempa megathrust. Menurut BMKG, Indonesia memiliki titik-titik gempa megathrust yang perlu diwaspadai dan berpotensi menimbulkan bencana.
"BMKG selalu berupaya melakukan edukasi ya, bagaimana menghadapi ini -megathrust-, bukan saja pada masyarakat, tetapi juga pada pemangku kepentingan, para pengambil keputusan, agar pola hidup, gaya hidup, gaya membangun rumah bangsa Indonesia ke depan ini juga bisa menyesuaikan," kata Deputi Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto saat ditemui di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Senin.
Tri menegaskan, masyarakat tidak perlu panik atas informasi terkait gempa megathrust. Karena, menurutnya, BMKG selama ini secara terus-menerus sudah memberikan edukasi dan informasi terkait mitigasi yang perlu dilakukan masyarakat untuk menghadapi kemungkinan bencana tersebut.
"Pertama, masyarakat jangan panik, justru kalau panik salah. Masyarakat harus terliterasi dengan baik, kemudian mengikuti arahan-arahan dari sumber-sumber resmi BMKG. Masyarakat harus semakin banyak tahu, bagaimana kita menghadapi potensi-potensi seperti itu," ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati meminta pemerintah daerah agar menyiapkan tata ruang yang aman dan mampu menampung masyarakat sebagai upaya mitigasi bila gempa megathrust terjadi di Indonesia.
"Bagaimana menyiapkan masyarakat dan pemerintah daerah sebelum terjadi gempa dengan kekuatan tinggi yang mengakibatkan tsunami. Pemerintah daerah itu sudah diajak bersama-sama menyiapkan infrastrukturnya, menyiapkan sistemnya, adakah jalur evakuasi nya, adakah tempat shelter evakuasi," kata Dwikorita belum lama ini.
Kemudian, kata dia melanjutkan, zona-zona rawan seperti daerah dekat laut dan pantai juga perlu dikosongkan dan tidak didirikan banyak bangunan. "Pemda diharapkan juga menyiapkan tata ruang di sana. Di pantai itu dibatasi, jangan dibangun bangunan-bangunan. Kalau sampai dibangun hotel, hotelnya harus siap menghadapi (megathrust), diwajibkan bangunannya mampu tahan 8,5 magnitudo," katanya.
Dwikorita Karnawati mencontohkan Pemda DIY merupakan salah satu pemda yang telah menyiapkan tata ruang yang aman menghadapi potensi gempa megathrust lewat pembangunan Bandar Udara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo.
"Yogyakarta International Airport itu sudah disiapkan untuk menghadapi Megathrust. Jadi dibangun insya Allah desainnya dirancang tahan gempa 8,5 magnitudo. Megathrust dan elevasinya lebih tinggi dari elevasi tsunami. Jadi kalau sedang berada di Bandara YIA, kalau ada gempa, ada tsunami, jangan keluar gedung. Tempat paling aman di situ, lari ke lantai mezzanine dan lantai 2 dan ada Crisis Center untuk masyarakat mampu menampung 2.000 orang, bandara-nya itu menampung 10.000 orang," katanya.
Anggota Komisi V DPR RI Syahrul Aidi Maazat meminta BMKG menyiapkan langkah mitigasi apabila gempa megathrust terjadi di Indonesia. Salah satu tujuannya untuk mencegah kepanikan di masyarakat.
"Perlu dilibatkan seluruh komponen pemerintahan yang ada sehingga tidak menjadi kepanikan. Oleh karena itu, kalau ini memang akan terjadi, harus ada mitigasi, harus ada persiapan menghadapi ini," kata Syahrul, pekan lalu.
Selain langkah mitigasi, ia juga meminta BMKG agar memberikan informasi berdasarkan data yang akurat terkait dengan potensi terjadinya gempa megathrust itu. "Kita berharap pemerintah harus bijak dalam memberikan informasi," ucapnya.
Sementara itu, masyarakat pun harus bijak dalam menerima informasi. Ia mengimbau agar masyarakat tidak menerima begitu saja informasi mengenai gempa Megathrust dari pihak tidak terpercaya.
"Kita minta masyarakat juga harus bijak dalam menerima informasi ini," ucapnya.
Adapun, anggota Komisi VIII DPR RI My Esti Wijayati mengusulkan pemerintah agar menambah anggaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) guna mengantisipasi apabila terjadi gempa megathrust.
"Kami cukup menyesalkan karena anggaran untuk BNPB ini hanya sekitar Rp1 triliun. Anggaran yang sangat rendah ketika kita bicara megathrust," kata Esti.
Menurutnya, penambahan anggaran juga diperlukan untuk membiayai edukasi kepada masyarakat dalam menghadapi gempa megathrust. "Kalau ini terjadi, masyarakat harus dilatih apa? Itu juga perlu anggaran yang kemudian memang harus kita siapkan. Bagaimana memberikan edukasi kepada masyarakat, mulai sekarang siapkan misalnya surat-surat berharga yang dimiliki masyarakat, harus ditempatkan di mana," kata dia menjelaskan.
Ia berharap dengan adanya penambahan anggaran itu BNPB dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dapat bersinergi untuk mengedukasi masyarakat terkait mitigasi bencana hingga daerah pelosok. Dengan demikian, kata dia, saat bencana alam terjadi tidak timbul kepanikan hingga penanganan bencana tersebut selesai.