Menkes Vs Undip: Berikut Perang Narasi Dugaan Penyebab Kematian Dokter Aulia Risma Lestari
Polda Jateng tengah melakukan penyelidikan kasus kematian dokter Aulia Risma Lestari.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Kamran Dikrama, Antara
Polda Jawa Tengah (Jateng) saat ini masih melakukan penyelidikan kasus kematian dokter Aulia Risma Lestari, peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Muncul dugaan, Aulia meninggal bunuh diri usai mengalami perundungan saat menjadi residen di RS Kariadi.
Diberitakan sebelumnya, jasad Aulia Risma ditemukan di tempat indekosnya di Jalan Lempongsari, Kota Semarang, Jateng, pada Senin (12/8/2024). Aulia diduga menyuntikkan cairan anastesi ke dalam tubuhnya sendiri sebelum meninggal dunia.
Pada pekan lalu, pihak Polda Jateng menggelar rapat koordinasi dengan perwakilan dari Kementerian Kesehatan (Kesehatan). Tim investigasi dari Kemenkes pun sudah menyerahkan berbagai bukti-bukti terkait kematian Aulia Risma ke penyidik.
Di tengah publik menunggu hasil penyelidikan dari Polda Jateng, terjadi 'perang narasi' antara Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dan pihak Undip. Dalam pernyataan-pernyataannya, Budi menyiratkan bahwa dirinya meyakini Aulia Risma meninggal bunuh diri akibat mengalami perundungan. Adapun, Undip membantah praktik perundungan di PPDS, namun berkomitmen untuk tetap kooperatif terhadap proses penyelidikan di kepolisian.
Dalam pernyataan terbarunya di sela peresmian Gedung Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof Ngoerah Denpasar, Bali, Senin (2/9/2024), Budi menilai perundungan yang menimpa Aulia Risma Lestari sudah keterlaluan. Karena diduga melecehkan banyak aspek baik psikologis, seksual, bahkan terjadi pemerasan hingga mengakibatkan Aulia bunuh diri.
"Perundungan ini kan sudah keterlaluan, dirundung secara fisik dan mental, sexual harrasment (pelecehan seksual), diminta uang juga," ucap Budi.
Budi menyatakan perundungan yang dialami oleh Aulia Risma Lestari karena kurangnya komitmen dari para pemangku kepentingan dalam menyelesaikan persoalan. Menurutnya, praktik perundungan di internal kampus sudah terjadi puluhan tahun dan tidak pernah dievaluasi dan dibenahi.
"Perundungan ini sudah puluhan tahun tidak pernah bisa diselesaikan secara tuntas, karena memang kurang komitmen dari para stakeholder. Saya sendiri sejak menjabat ini kali ketiga, saya meminta agar ini dihilangkan," kata Budi.
Budi pun terus mendorong proses hukum kasus dugaan perundungan dan pemerasan di Undip Semarang yang berujung pada bunuh diri Aulia Risma. Budi menginginkan ada efek jera dari proses hukum kasus ini.
"Karena itu sudah masuk, saya mau kasi ke polisi saja. Biar langsung dipidanakan saja supaya semuanya jelas, orang-orangnya juga tahu dan ada efek jeranya," kata Budi.
Dia mengatakan proses hukum terhadap pelaku yang diduga menjadi biang kerok dari peristiwa perundungan di lingkungan kampus Universitas Diponegoro Semarang hingga tragedi bunuh diri calon dokter spesialis itu bertujuan agar memberikan kepastian hukum kepada korban. Selain itu, proses hukum dilakukan agar semua pihak tidak menganggap perundungan merupakan hal yang wajar untuk mendidik calon dokter yang tangguh.
Ia mencontohkan pendidikan TNI-Polri juga pilot ditempa dengan latihan yang keras untuk tangguh bukan dengan cara perundungan seperti itu. Karena itu, kata dia, anggapan sesat seperti itu dihilangkan agar tidak menjadi kebiasaan di dalam dunia pendidikan.
"Tidak benar bahwa perundungan itu dipakai alasan untuk menciptakan tenaga-tenaga yang tangguh," kata Budi.
Berbicara terpisah, Wakil Rektor IV Undip Wijayanto, menginginkan adanya investigasi komprehensif dalam kasus kematian Aulia Risma Lestari. Alih-alih menyoroti dugaan praktik perundungan, Wijayanto menempatkan perhatiannya pada jam kerja berlebih yang harus dijalani peserta PPDS anestesia.
"Sebenarnya akarnya kan ada kebijakan dari (RSUP) Kariadi, yang juga kebijakan Kemenkes sebenarnya, bahwa jam kerja itu minimal 80 jam seminggu. Jadi bisa luar biasa berlebihan," katanya kepada awak media seusai menghadiri apel di Fakultas Kedokteran (FK) Undip, Semarang, Jawa Tengah, Senin (2/9/2024).
Menurutnya, dengan kebijakan tersebut, seorang dokter anestesia, termasuk kelompok residen, bisa bekerja 24 jam sehari. "Ini aturan dari (RSUP) Kariadi yang arahannya dari Kemenkes. Praktik itu yang membuat siapa pun yang ada di sana, mau dokter PPDS, mau dokter senior, semua akan mengalami bekerja dalam tekanan yang luar biasa," ucap Wijayanto.
Wijayanto menduga, jam kerja eksesif para peserta PPDS anestesia tidak hanya terjadi di RSUP Dr. Kariadi. Wijayanto meyakini kondisi tersebut juga berlangsung di RS-RS besar yang menjalin kerja sama dengan FK-FK di Indonesia.
"Jadi tidak hanya di (RSUP) Kariadi. Hanya saja Kariadi salah satu contoh di mana overwork kerja itu luar biasa," katanya.
Wijayanto mengungkapkan, buntut kasus kematian ARL, saat ini Undip tengah mengevaluasi penyelenggaraan PPDS di RSUP Dr. Kariadi. "Kita evaluasi, semua kemungkinan sedang kita pertimbangkan dengan baik," ujarnya.
Dia menyebut Undip juga memiliki RS, yakni RS Nasional Diponegoro (RSND). "Ya kan kita punya rumah sakit sendiri, yang juga bagus banget sebenarnya. Kita bisa gunakan itu. Tapi kan ini masalahnya adalah hubungan kesejarahan dengan Kariadi, yang itu menurut saya tidak bisa diputus begitu saja," ucap Wijayanto.
Salah satu senior Aulia Risma Lestari di PPDS Anastesi Undip, Angga Rian (37 tahun), membantah dugaan perundungan terhadap dokter Aulia Risma Lestaria. Angga mengungkapkan, terdapat 85 mahasiswa PPDS Anestesia Undip yang melaksanakan pendidikan di RSUP Dr. Kariadi, Semarang, Jawa Tengah (Jateng).
Saat ini Angga adalah mahasiswa semester tujuh atau senior Aulia yang merupakan mahasiswi semester lima. Hal pertama yang dibantah Angga adalah dugaan praktik pemalakan yang dilakukan oknum senior PPDS Anestesia Undip terhadap para juniornya.
"Pemalakan itu tidak ada," ujar Angga.
Angga kemudian menyinggung soal kewajiban mahasiswa junior PPDS Anestesia membelikan makanan untuk para seniornya. Angga mengklaim, pemberian makanan untuk para senior bersifat gotong royong.
Angga mengatakan, layanan operasi di RSUP Dr. Kariadi berlangsung 24 jam. Dia menyebut para dokter residen anestesia tidak disediakan makan malam oleh pihak RS.
"Sementara residen ini posisinya masih di kamar operasi menjalani pembiusan. Satu sistemnya adalah kita dibelikan makanan dan itu akan berlanjut seperti itu terus sampai program operasinya bisa selesai," ucapnya.
Menurut Angga, karena Aulia Risma terhitung sebagai mahasiswi PPDS Anestesia Undip senior, makanan almarhumah pun disediakan para juniornya. "Jadi memang pembagian makan itu dibantu adik (junior) paling kecil agar yang di kamar operasi tetap bisa di kamar operasi menjalani pembiusan," katanya.
Dia mengungkapkan, dalam sehari, program pembiusan di kamar operasi RSUP Dr. Kariadi bisa mencapai antara 120 sampai 140. Kemudian program pembiusan di luar kamar operasi sebanyak 20 hingga 30.
Angga mengatakan, karena uang yang dihimpun digunakan untuk membeli makanan seluruh dokter residen anestesia, satu mahasiswa junior bisa patungan sebesar Rp10 juta per bulan. "Tapi ini tidak tentu. Kadang-kadang saya tidak iuran juga karena uang kasnya masih penuh," ujarnya.
"Dan kalau masih ada sisa (kas), itu dikembalikan," tambah Angga.
Angga mengklaim bahwa mahasiswa yang tidak membayar iuran untuk penyediaan makanan juga tidak akan mengalami perundungan. Dia mengungkapkan bahwa iuran yang dikeluarkan mahasiswa junior berlangsung selama satu semester.
"Jadi ketika next semester, kita tidak mengeluarkan iuran lagi. Karena yang membelikan kita makan yang juniornya," katanya.
Angga pun membantah kabar bahwa mahasiswa PPDS anestesia semester satu tidak boleh berkomunikasi dengan mahasiswa senior yang sudah berada di semester tiga ke atas, termasuk hanya boleh memberi jawaban afirmatif seperti "Siap, Mas/Mbak".
"Dulu kebetulan saya dapat yang sangat terbuka. Itu terserah saja (komunikasinya)," ucapnya.