Bukti-Bukti yang Buat Menkes Bertekad Seret Pelaku Perundungan di PPDS Undip ke Meja Hijau

Tim Investigasi Kemenkes sudah menyerahkan bukti-bukti ke Polda Jateng.

Republika/Kamran Dikarma
Suasana Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (15/8/2024).
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Kamran Dikrama, Antara

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menegaskan, bahwa dirinya serius mendorong kasus dugaan perundungan di Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, yang berujung pada kasus bunuh diri seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) untuk diproses secara hukum. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pun telah mengirim bukti-bukti ke pihak kepolisian.

"Bagaimana kasus bulliying itu nanti berkaitan isu hukum, saya serius, saya benar-benar yang ini saya akan dorong ke ranah hukum biar ada hukuman maksimal bagi yang melakukannya biar ada efek jeranya," kata Budi Gunadi di Kompleks Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito, Sleman, D.I Yogyakarta, belum lama ini.

Tanpa ada proses hukum terhadap kasus semacam itu, menurut Budi, sistem dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) akan sulit diperbailki. "Kalau tidak, ya pejabat petingginya saja enggak mau menerima gitu, ya bagaimana ini bisa diperbaiki sistemnya," kata dia.

Kendati belum menjawab secara gamblang terkait hasil investigasi kasus dugaan perundungan itu, Budi menyatakan telah sangat mengetahui apa yang terjadi dalam kasus itu. "Yang saya lihat sudah jelas sekali dari Whatsapp (WA)-nya," kata dia.

Budi mengaku mengantongi banyak informasi setelah bertemu langsung dengan keluarga mendiang Aulia Risma Lestari, mahasiswa PPDS Undip di Tegal, Jawa Tengah beberapa waktu lalu.

"Bukan hanya diary-nya, tapi chat dengan bapaknya, chat dengan ibunya, chat dengan adiknya, chat tantenya, semuanya sudah saya. Jadi, kalau saya pribadi, saya sudah tahulah apa yang terjadi. Saya sudah sangat tahu apa yang terjadi," ucap Budi.

Menurut Budi, hasil investigasi internal dari Kemenkes terkait kasus itu telah diserahkan ke kepolisian. Tim investigasi Kemenkes, katanya, telah mendapatkan sejumlah dokumen yang berhubungan dengan kasus itu mulai dari riwayat percakapan Whatsapp (WA), catatan, hingga rekaman.

"Itu kan para PPDS itu dipanggil juga kan, kemudian diarahkan atau bahasanya diintimidasi kan, harus begini, harus begini, harus begini, dapat juga kita rekamannya. Itu sudah ada semua. Sudah gamblang," ujar dia.

Menurut Budi, menghilangkan sama sekali praktik perundungan di PPDS merupakan mimpinya yang harus terwujud setelah upayanya menyelamatkan ayah mendiang Aulia Risma Lestari tidak berhasil. Ayah dari dokter Aulia wafat setelah menjalani proses rawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Cipto Mangunkusumo Jakarta, Selasa, sekitar pukul 01.00 WIB.

Menurut Budi, dirinyalah yang telah mengarahkan agar ayahanda mendiang dokter Aulia dirujuk di RSUP dr Cipto Mangunkusumo Jakarta sehingga mendapatkan perawatan lebih baik. Hal itu dilakukan Budi saat mengunjungi keluarga Aulia di Tegal yang lantas mengetahui bahwa kondisi kesehatan ayah mendiang dokter Aulia memprihatinkan.

"Yang saya harus lakukan nomor satu mencoba menyelamatkan bapaknya semaksimal mungkin, supaya bisa mengurangi derita dan tekanan keluarga tapi tidak berhasil. Seenggaknya mudah-mudahan tuh mimpi saya yang kedua bisa berhasil menghilangkan praktik bullying yang sangat tidak manusiawi ini dalam pendidikan dokter spesialis di kita secepat mungkin," ujar Budi.

Bullying di Program Pendidikan Dokter Spesialis - (Infografis Republika)

Tim Investigasi Kemenkes telah menyerahkan hasil penyelidikan terkait kematian Aulia Risma Lestari (ARL), mahasiswi PPDS Anestesia Undip, ke Polda Jawa Tengah (Jateng). Polda Jateng menyebut akan mendalami hasil temuan Tim Investigasi Kemenkes.

"Sudah kami sampaikan bukti-bukti ke Polda," ujar Inspektur Investigasi Kemenkes Valentinus Rudy Hartono saat ditemui awak media di Mapolda Jateng, Jumat (30/8/2024).

Saat ditanya apakah bukti yang diserahkan ke Polda Jateng termasuk rekaman suara keluhan ARL kepada ayahnya, Rudy tak menjawab secara langsung. "Semua bukti kita dalami dan sudah kita sampaikan ke Polda," jawab Rudy.

"Yang jelas kami upayakan semaksimal mungkin untuk mendapatkan data dan informasi, dan itu sudah kami dapatkan," kata Rudy menambahkan.

Sementara itu, Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Artanto mengungkapkan, kehadiran tim Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkes serta Itjen Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) ke Mapolda Jateng adalah untuk melakukan rapat koordinasi terkait pengungkapan kasus kematian ARL dan dugaan perundungan PPDS Anestesia Undip di RSUP Dr.Kariadi.

"Jadi kegiatan kita adalah saling koordinasi bahan hasil investigasi yang sudah dilakukan Kemenkes dan kita juga berkoordinasi terhadap hasil tersebut dan apa yang harus kita lakukan ke depan," ungkap Artanto.

Dia menambahkan, hasil temuan investigasi Kemenkes dan kepolisian bakal dianalisis. "Dan tentunya ini akan dirapatkan bersama lagi dan ditentukan apa hasil keputusannya," ujarnya.

Komik Si Calus : Kuliah - (Daan Yahya/Republika)

Wakil Rektor IV Undip, Wijayanto menyoroti berbagai hukuman yang diterima UNDIP sebagai buntut dari kasus meninggalnya mahasiswi PPDS Undip. Wijayanto mengibaratkan Undip sekarang seperti bebek yang lumpuh tak berdaya.

Baca Juga



Di dalam kasus PPDS, menurut Wijayanto, Undip sudah melakukan investigasi internal. Namun, kata dia, seperti disampaikan berkali-kali oleh rektor di berbagai kesempatan, Undip sangat terbuka dengan hasil investigasi dari pihak luar baik itu kepolisian maupun Kemenkes.

Jika memang terbukti ada perundungan, hukuman untuk pelakukanya jelas dan tegas, yaitu drop out (DO). "Namun, faktanya bahkan saat investigasi itu masih jauh dari kata selesai: penghakiman bahkan hukuman sudah dilakukan. Berkali-kali," ujar Wijayanto dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (31/8/2024).

Wijayanto menjelaskan, hukuman pertama berupa penutupan PPDS Undip. Penutupan itu dilakukan Kemenkes pada 14 Agustus 2024 jauh sebelum penyidikan itu rampung dan ada kata putus dari polisi dan apakah lagi pengadilan.

"Penutupan program studi itu tidak hanya merugikan 80-an para mahasiswa PPDS lainnya. Namun juga masyarakat yang mesti panjang mengantri karena kelangkaan dokter di RS Karyadi," ucap Wijayanto.

Lalu, hukuman kedua baru saja terjadi kemarin. Hukuman itu diberikan kepada Dr. Yan Wisnu, Dekan Fakultas Kedokteran Undip.

"Saya mengenalnya sebagai pria bersuara lirih, selalu ramah, tidak pernah meledak-ledak dan sangat hati-hati dan terukur dalam berkata-kata. Dapat dimengerti, dia adalah seorang dokter spesialis Onkologi. Saat saya periksa wikipedia, itu adalah cabang ilmu yang berurusan dengan studi, perawatan, diagnosa dan pencegahan kanker," kata Wijayanto.

Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip), Yan Wisnu Prajoko, memberikan keterangan kepada media di FK Undip, Semarang, Jawa Tengah, Senin (2/9/2024). - (Kamran Dikarma)



Beberapa kali Wijayanto bertemu dengan Yan Wisnu akhir-akhir ini. Kepada Wijayanto, Yan Wisnu mengaku mengalami banyak sekali doxing dan perisakan di berbagai akun media sosial yang dia miliki. Hari-hari ini, kata dia, Yan Wisnu merasa didera rasa cemas dan panik, stres, dan kelelahan.

"Di mata saya dia adalah sosok yang penuh integritas. Sulit saya membayangkan dia rela untuk melindungi pelaku perundungan dan mengorbankan nama baiknya sendiri. Mengorbankan puluhan mahasiswa yang lain dan, terutama, almamater undip yang teramat dcintainya. Apalagi ditambah semua perisakan yang dialaminya," jelas Wijayanto.

Namun, kata dia, pada siang hari kemarin, bahkan sebelum hasil investgasi keluar, Yan Wisnu sudah terlebih dulu diberhentikan praktiknya dari RS Karyadi. Yang melakukan pemberhentian itu adalah Direktur Rumah Sakit. "Kita mendengar Pak Dirut mendapat tekanan luar biasa dari Kementerian Kesehatan sehingga mengeluarkan keputusan itu. Di sini, Wijayanto pun segera teringat kasus yang menimpa Dekan Fakultas Kedokteran Unair yang diberhentikan oleh menteri karena berani kritis pada kebijakan pemerintah," kata dia.

Wijayanto mengatakan, hukuman dan penghakiman kepada PPDS dan Undip mungkin masih akan terus berlanjut. "Pak Rektor Undip menyebutnya "sitting duck" alias bebek yang lumpuh yang tidak berdaya melawan berbagai bahaya yang mengancam," ucap Wijayanto.

"Ya, semunya tertuju pada Undip dan hanya Undip. Bahkan meskipun pada kenyataannya, seperti jelas dalam berbagai dialog, jam kerja yang overload itu adalah kebijakan rumah sakit dan ini adalah ranah kebijakan Kementerian Kesehatan," jelas dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler