Bolehkah Ibadah karena Mengharap Surga?

Keberadaan surga dan neraka disebutkan dalam Alquran.

Republika/Thoudy Badai
Ibadah kepada Allah (ilustrasi).
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Alquran, Allah menyatakan dengan tegas tujuan penciptaan manusia. Arti ayat itu, "Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku" (QS az-Zariyat: 56).

Baca Juga


Dalam beribadah, tentunya seorang Mukmin mesti ikhlas. Dalam arti, dirinya menyadari dengan sungguh-sungguh posisi sebagai hamba Allah. Dengan demikian, tunduk dan kepatuhannya hanya untuk Allah.

Di sisi lain, Alquran juga menyebutkan perihal surga dan neraka. Yang pertama itu adalah tempat untuk mereka yang diridhai Allah. Adapun yang belakangan merupakan seburuk-buruknya tempat kembali.

"Sungguh, orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan ke dalam neraka" (QS an-Nisa: 56).

Bagaimana hukumnya bila kita beribadah kepada Allah SWT karena mengharapkan surga dan menghindari neraka? Apakah itu berarti kita tidak ikhlas beribadah kepada-Nya?

Menurut Ustaz Bachtiar Nasir dalam rubrik tanya jawab Harian Republika, Alquran tidak pernah mempertentangkan antara ikhlas beribadah karena Allah di satu sisi dan pengharapan pada pahala dan surga-Nya di sisi lain. Begitu pula, antara hal itu dan ketakutan pada neraka dan siksa-Nya.

Bahkan, banyak ayat Alquran yang menegaskan hal itu. Dalam surah al-Furqan, misalnya, Allah menyebut ihwal pengharapan terhindar-dari-neraka sebagai sebuah ciri hamba-hamba Allah.

"Dan orang-orang yang berkata, 'Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab Jahanam dari kami, karena sesungguhnya azabnya itu membuat kebinasaan yang kekal, sungguh, Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman'" (QS al-Furqan: 65-66).

Di sisi lain, Allah menjanjikan bagi orang beriman dan beramal saleh balasan yang baik. Ganjaran tersebut adalah surga, yang di bawahnya mengalir sungai-sungai.

Bahkan, Nabi Ibrahim AS pernah berdoa kepada Allah untuk masuk surga dan memohon perlindungan dari kehinaan di hari pembalasaan, yaitu neraka.

Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW banyak yang menganjurkan kaum Muslimin untuk beribadah agar memperoleh nikmat surga Allah dan terhindar dari siksa neraka.

Misalnya, "Haji yang mabrur, tiada balasan baginya kecuali surga" (HR Bukhari-Muslim).

Bagaimana dengan kaum sufi? >>>

Dalam hal ini, Imam Ibnu al-Qayyim dalam kitab Madarij al-Salikin mengambil sikap pertengahan. Maksudnya, antara kaum sufi--yang kerap menyuarakan pentingnya ibadah hanya karena Allah "tanpa" mengharap surga--dan kaum yang mengkritik sufi.

Ibnu al-Qayyim menjelaskan, "Yang dimaksud dengan surga bukanlah nama bagi pohon atau buah, makanan dan minuman, bidadari, sungai-sungai, serta istana-istana megah. Kebanyakan orang salah dalam memahami surga sebab surga merupakan nama tempat bagi segala bentuk kenikmatan."

Ia meneruskan, "Nikmat surga yang paling tinggi adalah melihat wajah Allah dan berdekat-dekatan dengan-Nya. Melihat dan bertemu Allah, itulah intinya nikmat surga yang diharapkan orang beriman yang tidak dapat dibandingkan dengan nikmat-nikmat lain yang ada di surga."

Jadi, bagaimana mungkin dikatakan bahwa Allah disembah tidak untuk mengharapkan surga-Nya dan tidak karena takut pada neraka-Nya. Padahal, neraka itu adalah tempat bagi orang yang mendapat kemarahan dan kebencian Allah?

Dengan demikian, tidak usah dipertentangkan antara ikhlas beribadah kepada Allah dan mengharapkan surga Allah serta takut akan azab neraka-Nya.

Allah telah berjanji dalam Alquran, orang yang diridhai-Nya akan dimasukkan ke dalam surga. Adapun orang yang dimurkai dan dibenci-Nya akan dimasukkan ke dalam neraka. Janji Allah itu pasti karena Dia tidak pernah mengingkari janji-Nya.

sumber : Pusat Data Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler