Soal Pajak Buat Bayar Utang, Prastowo Bantah Telah Rendahkan Pembayar Pajak
Pajak itu wajib, tapi gotong royong , yang tak mampu dibantu.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menepis tudingan bahwa pemerintah zholim terhadap pembayar pajak, terkait dengan utang negara. Ia juga menegaskan pemerintah tidak semena-mena mengenakan pajak.
Prastowo menyampaikan klarifikasi itu di akun X untuk merespons sejumlah netizen yang menganggap pembayaran pajak mereka telah diabaikan oleh pemerintah.
"Awalnya, saya mengunggah kutipan dari Paus 'jangan pernah berhenti dan lelah menabur meski kita tak akan memanen'. Ini kutipan dari Bunda Teresa yang intinya ingin menekankan semangat kasih dan melayani tanpa batas sebagai ekspresi iman yang otentik. Berbuat baik karena itu baik, tanpa motif mendapat imbalan atau pujian," ujar Prastowo.
Dari kicauan itu, kata ia, ada yang merespons, kira-kira berbunyi, “teruslah utang karena anak cucumu yang akan menanggung”.
Sinisme ini, menurut Prastowo, sah-sah saja meski keluar dari konteks awal. Terhadap respons ini ia menjelaskan serba ringkas. "Pertama-tama ingin mematahkan framing serba pesimis dan negatif, bahwa utang itu melulu beban dan akan memberatkan anak cucu," kata ia.
Prastowo tak menampik bahwa pemerintah membayar utang dari uang pajak. Pajak merupakan kontribusi wajib semua warganegara dan jenisnya banyak. "Saya Insya Allah cukup paham soal pajak ini meski bukan ahli. Karena tidak sedang membahas pajak secara spefisik, saya justru ingin menekankan aspek gotong royong melalui pajak ini," katanya.
Kedua, Prastowo menekankan kembali pajak dibayar oleh yang penghasilannya di atas PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak). Hal yang ia maksudnya dalam kicauan ini adalah mengacu ke PPh.
"Untuk apa? Menegaskan negara tak semena-mena. Meski pajak itu wajib, tapi gotong royong, yang mampu bayar, yang tak mampu dibantu. Maka ada perlindungan berupa PTKP.," kata Prastowo.
Penjelasan ini sekaligus mematahkan tuduhan umum bahwa pemerintah melalui pajak itu zolim. Ketiga, ia menegaskan tidak ada urunan rakyat dalam bentuk lain di luar pajak untuk mendukung perekonomian, termasuk membayar utang.
"Saya imbuhkan penjelasan. Kenapa saya tdk membahas PPN, Pajak Kendaraan, PBB, Pajak Restoran? itu semua sdh termasuk pajak yang saya sebutkan sebagai cara kita membayar utang - jenis apapun dan dibayar siapapun. Justru ini pengakuan tanpa syarat dan hormat kepada seluruh warganegara yg berkontribusi berapapun itu," ujar Pranowo.
Adapun soal PTKP sebagaimana penjelasan di atas, menurut Prastowo menunjukkan suatu aspek keadilan.
Pun skema perlindungan lain, seperti pengecualian barang/jasa tidak kena PPN, ada NJOP tidak kena pajak utk PBB, ada batasan omset restoran untuk pajak restoran serta sebagainya.
"Ini untuk menekankan bahwa negara tak semena-mena. Bahkan PTKP kita termasuk yang tertinggi di ASEAN, tarif PPh cenderung turun selama 30 tahun terakhir kecuali untuk kelompok superkaya, UMKM dikenai pajak 0,5 persen dan UMKM beromset tdk melebihi 500 juta tak bayar pajak dll," jelasnya.
Menurut Prastowo, pajak dan utang itu komplementer. Idealnya suatu negara mengandalkan penerimaan pajak. Namun sering tak mencukupi apalagi kebutuhan belanja meningkat seperti waktu Covid. Maka utang ditarik untuk menutup kebutuhan. Utang sendiri, kata ia, netral dan lazim di hampir semua negara. "Isunya pada tata kelola yang baik dan penggunaan utang utk kegiatan produktif."
Maka, jelas Prastowo, melulu melihat utang sebagai beban itu tidak tepat. Karena utang juga bisa dimanfaatkan untuk kegiatan produktif (membangun infrastruktur dasar, penyediaan layanan publik, investasi sektor pendidikan/kesehatan dll). Melalui utang, pemerintah mampu memanfaatkan opportunity karena ekonomi terus tumbuh.
"Harapannya ini konsisten dan makin baik shg kue ekonomi yang membesar menciptakan potensi penerimaan pajak yg meningkat. Kontribusi pajak kita sepanjang masa, sejak lampau, kini, dan mendatang. Maka sistem perpajakan pun dibangun agar semakin adil, transparan. Yang tak mampu dilindungi."