Sejarah Penulisan Hadits: Pernah Dilarang Hingga Dibolehkan Rasulullah

Hadis adalah sumber primer kedua dalam ajaran Islam.

MGROL100
Ilustrasi Hadis
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syekh Yusuf Qardhawi dalam Kaifa Nata’amalu ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah, menjelaskan, Sunnah Nabi Muhammad SAW merupakan penafsiran Alquran dalam praktik. Sebab, Allah SWT sendiri telah menegaskan, Rasulullah SAW adalah contoh bagi sekalian manusia. “Telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik bagi kalian” (QS al-Ahzab: 21).

Istilah lain untuk Sunnah Nabi SAW adalah hadis atau al-hadits. Secara kebahasaan, hadits memiliki sejumlah arti, yakni ‘baru’, ‘sesuatu yang dikutip’, serta ‘sesuatu yang sedikit dan banyak.’ Menurut Syekh Manna al-Qaththan dalam Mabahits fii ‘Ulumil Hadits, pengertian hadis adalah apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, dalam masa sebelum ataupun sesudah kenabiannya.

Apakah hadis ditulis beriringan dengan penulisan Alquran? Ternyata, bukan demikian halnya.

Sejak Nabi SAW menerima wahyu, sejumlah sahabat beliau menuliskan atau mencatat Alquran pada pelbagai alas, semisal pelepah kurma, lembaran kulit ternak, permukaan batu, dan sebagainya. Di antara banyak sahabat yang dikenal sebagai pencatat Alquran ialah Zaid bin Tsabit, Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, serta Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Alih-alih menginstruksikan atau menyarankan, Nabi SAW terlebih dahulu pernah melarang para sahabat untuk mencatat hadis.

Baca Juga


Al-Khudri meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu sekalian menulis apa pun dariku. Dan, barangsiapa yang menulis dariku selain Alquran, maka hapuslah” (HR Muslim).

Pada suatu ketika, Abu Hurairah dan beberapa Muslimin sedang menulis. Keduanya kemudian dilihat Rasulullah SAW.

“Apa yang telah kalian tulis?” tanya Nabi SAW.

“Perkataan (hadis-hadis) yang telah kami dengar darimu, ya Rasulullah,” jawab mereka.

“Kitab selain Kitabullah (Alquran)? Tidakkah kalian tahu, umat-umat sebelum kalian tidaklah tersesat kecuali karena telah menulis kitab-kitab bersama kitab Allah?” tanya beliau retoris.

Maknanya, Rasulullah SAW saat itu belum meridhai umat Islam untuk menuliskan apa pun yang bersumber dari diri beliau selain Alquran.

Barulah beberapa waktu kemudian... 

Barulah beberapa waktu kemudian, Nabi SAW membolehkan penulisan hadis meskipun secara terbatas. Beberapa sahabat yang mendapatkan kebolehan itu ialah, antara lain, Abdullah bin Amr bin Ash.

Putra Amr bin Ash itu menuturkan, “Aku telah mencatat segala yang kudengar dari Rasulullah SAW karena hendak menghafalnya. Mengetahui itu, kaum Quraisy melarangku seraya berkata, ‘Apakah kamu menulis segala sesuatu dari Rasulullah, sementara Rasulullah sendiri adalah manusia biasa yang bertutur baik saat marah dan ridha?’ Maka aku pun menghentikan aktivitas penulisan itu.

Namun, hal itu kemudian sampai kepada Rasulullah SAW. Aku melihat beliau mengangguk dan mengarahkan jarinya pada mulutnya seraya bersabda, ‘Tulislah. Demi Zat yang jiwaku dalam kekuasaan-Nya, tidak ada sesuatu yang keluar dari sini (mulut Nabi SAW) kecuali kebenaran.’”

Transisi dari adanya pelarangan kepada pembolehan menulis hadis-hadis dapat dipahami dengan konsep nasakh-mansukh. Maksudnya, instruksi Nabi SAW yang melarang penulisan hadis-hadis dihapus (mengalami nasakh) oleh beliau sendiri.

Kalau menilik pada sejarah, pelarangan menulis hadis itu berlangsung pada masa awal syiar Islam. Ketika Muslimin sudah mengingat dengan kuat Alquran, maka hilanglah kekhawatiran bahwa teks Kitabullah akan tercampur-baur dengan teks hadis. Jadi, penulisan hadis pun dibolehkan oleh Rasulullah SAW meskipun secara terbatas pada beberapa sahabat.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler