Perpustakaan Bait al-Hikmah, Simbol Peradaban Islam

Perpustakaan ini menjadi pusat intelektual paling maju dan berkembang pada masanya.

dok wiki
Aktivitas intelektual di Bait al-Hikmah, Baghdad, era Abbasiyah.
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baghdad, sejak dirintis pada paruh kedua abad kedelapan Masehi, menampilkan wajah Dinasti Abbasiyah sebagai pusat peradaban dunia. Sejarah menyaksikan, kerajaan Islam tersebut berhasil mengangkat Baghdad sebagai kota kosmopolitan paling maju pada masanya.

Baca Juga


Di sana, keberagaman budaya dirayakan di bawah kedaulatan islami. Penduduknya terdiri atas orang-orang Aramaik, Persia, Arab, serta pelbagai umat beragama, baik Muslim maupun non-Muslim. Semuanya hidup berdampingan secara aman dan damai.

Sultan Harun al-Rasyid (wafat 809) merintis perpustakaan besar yang dinamakannya Bait al-Hikmah (‘Rumah Kebijaksanaan’). Sesudah mangkatnya, lembaga ini semakin cemerlang di bawah kendali anaknya, Sultan al-Ma’mun. Bait al-Hikmah terus berkembang menjadi pusat koleksi pelbagai pustaka dari penjuru dunia, serta penerjemahan teks-teks pengetahuan ke dalam bahasa Arab.

Sultan Harun al-Rasyid dan penerusnya, Sultan al-Ma’mun, sangat mencintai ilmu pengetahuan. Mereka mengumpulkan begitu banyak naskah berbahasa Yunani, Cina, Sanskerta, Persia, dan lain-lain untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pada awalnya, naskah-naskah yang dialihbahasakan sebatas bertema kedokteran, matematika, dan astronomi. Akan tetapi, belakangan pelbagai bidang keilmuan lainnya turut diseriusi.

Rasa cinta penguasa Dinasti Abbasiyah terhadap buku begitu besar. Bahkan, beberapa perang besar yang dilakukan wangsa ini berakhir dengan perundingan yang mensyaratkan penyerahan buku. Misalnya, perang antara Abbasiyah dan Romawi Timur. Salah satu poin yang diwajibkan sultan Abbasiyah terhadap Byzantium adalah penyerahan naskah-naskah buah tangan astronom Yunani Kuno, Ptolemeus, kepada Bait al-Hikmah. Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, naskah-naskah tersebut dinamakan ulang sebagai Almagest.

Kota bundar Baghdad pada abad ke-10, puncak Kekhalifahan Abbasiyah. - ( Ilustrasi: Jean Soutif/Science Photo Library)

Karya ini dan dua buku lainnya, yakni Siddhanta dari India dan Zij-i Syahriyari dari Persia Kuno, kemudian menjadi masukan penting bagi para astronom Muslim mengeksplorasi lebih presisi lagi posisi benda-benda langit. Di samping itu, mereka juga mengadakan sejumlah koreksi besar atas hasil observasi astronom-astronom dari masa silam itu. Demikian dikutip dari buku karangan Joseph A Angelo, Encyclopedia of Space and Astronomy dan Science and Civilization in Islam karya Seyyed Hossein Nasr.

Di saat bangsa Eropa masih diliputi kebodohan dan mulai melupakan tradisi saintifiknya sendiri, dinasti-dinasti Muslim berlomba-lomba menyumbang pencerahan keilmuan kepada dunia. Baghdad menjadi kawah candradimuka untuk mengumpulkan dan mengembangkan pelbagai ilmu pengetahuan yang muncul dari kebudayaan-kebudayaan besar dunia.

Artinya, globalisasi pengetahuan bergeliat pesat di Perpustakaan Bait al-Hikmah. Fungsi lembaga ini tidak sekadar memenuhi keinginan penguasa Abbasiyah (Arab) untuk menerjemahkan teks-teks penting, melainkan juga ajang bertemunya sarjana-sarjana terkemuka dari penjuru dunia, baik itu Muslim maupun non-Muslim.

Dengan dukungan fasilitas negara, banyak ilmuwan brilian mempersembahkan karya-karya terbaiknya kepada kemanusiaan. Untuk menyebut beberapa nama, misalnya, sosok genius matematika, Al-Khwarizmi. Dia menulis Kitab al-Jabr saat bekerja di Bait al-Hikmah era Sultan al-Ma’mun. Dari buku tersebut, berkembanglah teori aljabar atau algoritma yang tanpanya kita semua mustahil memasuki abad internet.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler