Menlu Iran Bertemu dengan Pangeran Saudi di AS, Apa yang Dibahas?

Kedua diplomat tinggi itu juga membahas seputar perkembangan terbaru di jalur Gaza.

Tangkapan layar IRNA
Pertemuan Menlu Iran dengan Menlu Arab Saudi di New York, Ahad lalu.
Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID,NEW YORK CITY — Menteri Luar Negeri Saudi Pangeran Faisal bin Farhan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi pada Ahad (22/9/2024) di sela-sela sidang ke-79 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat.

Baca Juga


Kedua menteri membahas hubungan antara kedua negara dan bagaimana mereka akan meningkatkannya di berbagai bidang dan tentang kelanjutan koordinasi dan konsultasi antara kedua negara untuk memantau kemajuan hubungan mereka. Kedua diplomat tinggi itu juga membahas seputar perkembangan terbaru di jalur Gaza.

Pertemuan tersebut juga dihadiri oleh perwakilan tetap Arab Saudi untuk PBB Abdulaziz Al-Wasil, Direktur Jenderal Kantor Menteri Luar Negeri Abdulrahman Al-Dawood, dan penasihat Menteri Luar Negeri Mohammed Al-Yahya.

Setelah pertemuan dengan Pangeran Faisal, Araghchi juga melakukan pertemuan diplomatik dengan beberapa koleganya seperti Abdallah Rashid Bou Habib (Lebanon), Bakhtiyor Saldov (Uzbekistan), Ivan Kondov (Bulgaria). Araghchi tiba di New York pada Jumat malam. Ia telah bertemu dengan sejumlah pejabat PBB serta menteri luar negeri dari beberapa negara lainnya termasuk Bahrain, Kuwait, dan Kuba.

 

Normalisasi hubungan kedua negara..

 

Iran yang selama ini dikenal bermusuhan dengan Arab Saudi, pada 10 Maret 2023, sepakat menormalisasi kembali hubungan diplomatiknya setelah hampir tujuh tahun bersitegang. Ditengahi Cina dalam sebuah pembicaraan di Beijing, kedua negara sepakat saling membuka kedutaan besarnya kembali.

Para pejabat kedua negara lalu melanjutkan bertemu di Oman, terutama membahas situasi di Yaman, di mana kedua negara berkonflik untuk menjadi pendukung dua kubu di sana.

Normalisasi hubungan Arab Saudi-Iran menohok kekuatan-kekuatan besar yang selama ini menjadi pemain utama di Timur Tengah, khususnya Amerika Serikat dan Israel, terlebih kesepakatan itu dicapai di Cina yang justru sedang berseteru dengan Amerika Serikat di hampir semua medan politik global.

Ini ‘kudeta diplomatic”  Cina terhadap Amerika Serikat dan Barat yang memandang kawasan ini sebagai pelataran politiknya.

Iran dan Arab Saudi memilih Cina bukan saja dianggap netral, tetapi juga hubungan ekonomi kedua negara dengan Cina yang kian rapat.

Memilih Beijing juga melukiskan adanya pergeseran orientasi hubungan luar negeri Iran dan Arab Saudi yang lebih ‘menengok ke timur’, ke Asia, khususnya Cina, yang menjadi pasar ekonomi terbesar di dunia.

Dalam konteks misalnya, di mata Arab Saudi, Cina memiliki kemampuan yang tak bisa dimiliki Amerika Serikat, yakni membeli minyak mentah Arab Saudi 2 juta barel per hari yang tak bisa dilakukan Amerika Serikat.

Yang paling menarik dari perkembangan ini adalah keinginan Riyadh dan Teheran dalam menormalisasi hubungan setelah berseteru keras dalam banyak hal.

Sejak Revolusi Islam Iran pada 1979, hubungan kedua negara terus bergolak, kendati ada masa-masa singkat mereka membangun hubungan yang lebih konstruktif.

Di samping Mesir, Israel, dan Turki, kedua negara berlomba menjadi pemimpin Timur Tengah. Bersama Turki, kedua negara bersaing menjadi pemimpin dunia Islam.

Persaingan mereka lebih merupakan pertarungan ideologis antara Syiah dan Sunni yang tak pernah padam sejak berabad-abad silam.Itu semua tercermin dalam konflik-konflik sektarian di Lebanon dan banyak tempat lainnya, termasuk Pakistan. 

Terlebih di Suriah, Irak dan Yaman yang berbatasan langsung dengan Arab Saudi. Irak juga berbatasan langsung dengan Iran.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler