Amich Alhumami, dan Kampus Pangeran William - Kate Middleton (2-Habis)

Amich Alhumami merupakan pakar dan praktisi pendidikan dengan jam terbang tinggi.

Erdy Nasrul/Republika
Amich berbicara dalam sebuah forum internasional mewakili Pemerintah Indonesia di Busan Korea Selatan.
Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak pihak menyangka bahwa kemampuan multitalenta Amich Alhumami sedemikian rupa di tingkat global, regional, dan nasional, diasah dan diasuh dalam lingkungan elite perkotaan. Setidaknya, tumbuh kembang dari latarbelakang keluarga kaya. Semua anggapan ini keliru!

Akseptabilitas golongan dalam struktur sosial

Tumbuh dalam tradisi santri di Pondok Pesantren Maskumambang Gresik, sebuah pesantren salafiyah yang kemudian mengalami modernisasi dan bahkan pimpinannya, K.H. Faqih Maskumambang, merupakan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Amich Alhumami menempuh perjalanan intelektual yang unik.

Ia aktifis HMI Cabang Bandung pertengahan dekade 1980an yang juga menjadi salah satu Ketua PB HMI 1990-1992, era ketua umum Ferry Mursyidan Baldan. Kelak, ia terlibat dalam organisasi Persyarikatan Muhammadiyah. Relasi sosial budayanya menjangkau organisasi kemasyarakatan aliran nasionalis-sekuler dan kelompok non-Muslim yang tergabung dalam organisasi sosial-keagamaan yang lain.

Latarbelakang sosial budaya, pemikiran, dan pendidikannya mencakup spektrum yang luas, sudah seperti studi antar-peradaban dunia. Dalam spektrum geostrategi, mencakup wilayah Timur-Barat, yang selalu ia kontekstualkan dalam lanskap Geostrategi Indonesia, sebuah cara pandang, sudut pandang, jarak pandang, dan resolusi faktor internal dan eksternal diversitas Indonesia sebagai negara kesatuan (uniteralisme).

Amich menjadi pembicara di sebuah forum Kementerian Agama. - (Erdy Nasrul/Republika)

Keunikan tersebut menunjukkan bahwa Anggota Dewan Pakar Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani Pengurus Pusat Muhammadiyah 2022-2027 ini dapat menjadi representasi organisasi sosial keagamaan Islam mainstream: NU dan Muhammadiyah. Latar belakang, pengalaman panjang sosial-kultural yang berbasis kuat pada pendidikan pesantren dan ormas keislaman, serta pengalaman studi di dunia Barat, kelak membentuk diri Amich Alhumami berkembang menjadi Manusia Indonesia yang utuh.

Dengan khazanah sosial-kultural yang kaya itu, ia menyelami pemikiran dan suasana kebatinan serta mewakili aspirasi kalangan Muslim lintas organisasi, sehingga tampaknya dapat menjadi jembatan penghubung antara kelompok aliran nasionalis dan sosialis-sekuler. Dalam realitas sosial politik di Indonesia, peran jembatan atau agen penghubung ini penting, karena tiga DNA golongan besar NKRI (Islam, Nasionalisme, Sosialisme), sampai hari ini masih diwarnai polarisasi sosial-politik; seolah tidak pernah bisa menjadi suatu organisme yang bersenyawa dalam ‘satu tarikan nafas’.

Dengan rendah hati Amich Alhumami tidak memvonis benar-salahnya tiga DNA ini, yang rumit dikonvergensi atau menjadi organisme, yang juntrungnya akan semakin mengental friksi politik. Menurutnya, secara sosiologis dan praksis politik, fenomena polarisasi tersebut merupakan faktor alamiah dan lumrah belaka. “Fenomena ini harus dipandang sebagai khazanah kehidupan kebangsaan yang kaya dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia,” tegasnya.

Melalui IPMas, ia meyakini menjadi indikator pembangunan non ekonomi yang menjadi salah satu rujukan utama memotret kondisi kualitas SDM dan masyarakat di tanah air untuk stabilitas sosial yang luas. “Di antara kualitasnya, pembangunan yang esensial harus dikembangkan untuk menghargai keragaman dan perbedaan, membangun harmoni sosial, serta mengukuhkan solidaritas sosial dan daya rekat masyarakat,” papar Wakil Ketua I/Penanggungjawab Pilar Pembangunan Sosial-Tim Pelaksana Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SGD’s) Indonesia ini.

Santri tulen Maskumambang Gresik

Dari kecil Amich merasakan bagaimana pendidikan berjalan dari peran ayahnya, Humam Adnan, yang mengajar di mushola dan masjid sekitar Kampung Siraman Kelurahan Sembung Anyar, Kecamatan Dukun, Gresik, Jawa Timur. Humam merupakan anak tokoh masyarakat di sana, yaitu KH. Adnan.

Kakek, ayah, anak ini merupakan santri tulen Maskumambang Gresik, pesantren para intelektual-aktifis pergerakan Indonesia modern di pesisir timur Jawa, yang berdiri sejak 1859 oleh KH. Abdul Djabbar, ayahnya KH. Faqih Maskumambang. Adnan, kakek Amich, berguru langsung kepada KH. Faqih Maskumambang. Humam Adnan, ayahnya Amich, berguru kepada anak Kiai Faqih, yaitu KH Ammar Faqih. Amich Alhumami berguru kepada KH. Nadjih Ahjad, menantu KH. Ammar Faqih.

Tampak rantai sanad keilmuan dan nasab sambung-menyambung antar-keturunan ini melalui ekstafet kepemimpinan Pesantren Maskumambang Gresik. Dari KH. Faqih Maskumambang, yang setelah wafatnya diteruskan oleh KH. Ammar Faqih; kemudian diteruskan oleh KH. Nadjih Ahjad.

Humam Adnan, ayah Amich, meneruskan jejak sang guru, yang mencerahkan cakrawala wawasan, pengetahuan, mental dan spiritual anak-anak dan warga sekitar tempat tinggal. Sambil berdakwah, Humam bercocok tanam, beternak, dan berdagang. Tutur kata dan perangai kesehariannya menjadi inspirasi banyak orang di kampung tersebut. Mereka menjadi termotivasi untuk mencontoh akhlak Humam Adnan.

Saking mulia akhlak dan kebijaksanaannya, seorang lurah di sana, Haji Imam Rasyidi, menikahkan putrinya, Mukhlisah, dengan Humam Adnan. Cinta keduanya menjadi energi dakwah Islam di Kampung Siraman, yang kemudian menyebar lebih luas lagi hingga Kelurahan Sambung Anyar, Kecamatan Dukun, Gresik, Jawa Timur.

Pasangan Humam Adanan dan Mukhlisah dikenal sebagai guru dan sangat aktif dalam dunia pendidikan. Keduanya mengajar keimanan dan ngaji Al-Qur’an, mendidik baca-tulis, serta mencontohkan akhlak mulia kepada lingkungan masyarakat Desa Siraman dan Sambung Anyar.

Baca Juga



Kasih sayang keduanya melahirkan sembilan putra-putri. Yang pertama dan kedua merupakan lulusan IAIN Bandung dan IAIN Surabaya. Namun yang ketiga, Amich Alhumami, berbeda, yang di kemudian hari si anak introvert ini menempuh jalannya sendiri.

Tumbuh di lingkungan keluarga santri sekaligus pendidik, sejak kecil Amich dicerahkan dengan pengetahuan dan tradisi keislaman yang unik. Di Kecamatan Dukun, masyarakat Muslim di sana terafiliasi kepada Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sekaligus.

Meski berbeda dalam sejumlah hal jalan syariat (seperti doa iftitah, doa qunut, penentuan hari raya, dan lain-lain), keduanya saling menguatkan untuk membangun daerah. “Saya menyaksikan sendiri bagaimana keduanya saling melengkapi dan menguatkan pembangunan di kampung, menjaga tradisi luhur, persatuan, dan penguatan ekonomi,” imbuh Amich Alhumami.

Seperti Kakek Adnan dan Bapak Humam, Amich yang belajar di Maskumambang Gresik sejak sekolah dasar sampai SMU, pernah suatu ketika berkeinginan belajar kepada orang lain di lembaga pendidikan lain. Sang ayah, Humam Adnan, tidak mengizinkannya, dengan alasan untuk menjaga sanad keilmuan yang bersambung kepada ulama Maskumambang Gresik.

Setelah menyelesaikan Madrasah Aliyah Maskumambang, Amich tidak langsung kuliah. Selama setahun, anak ketiga dari pasangan Humam Adnan dan Mukhlisah ini membantu orang tua ngangon wedus, jualan es keliling kampung serta menitipkan jajanan buatan ibunda ke pedagang pasar. Amich di masa kecil dan remaja juga bercocok tanam membantu sang ayah.

Amich merasakan sentuhan Humam dan Mukhlisah yang begitu tulus mendoakan dan membekalinya dengan motivasi untuk terus belajar. Barulah setelah itu Humam Adnan dan Mukhlisah merestui Amich melanjutkan pendidikan di rantau. Melalui proses seleksi mahasiswa, Amich Alhumami menjadi mahasiswa program studi Filsafat dan Sosiologi Pendidikan Institut Kejuruan Ilmu Pendidikan/IKIP Bandung (sekarang Universitas Pendidikan Indonesia/UPI) tahun 1984-1989.

Mentor dari intelektual hebat

Menjadi mahasiswa IKIP Bandung, Amich sempat bertanya-tanya, “Filsafat dan Sosiologi ini makhluk apa ya, belajar ilmu apa ini.” Di tengah kegelisahan demikian, ia tercerahkan melalui dua dosennya, Prof. Muhammad Djawad Dahlan; satu lagi pembimbing skripsinya, Muhammad Isa Sulaiman. Dua dosen ini sangat memahami kegelisahan para mahasiswa IKIP Bandung kala itu. Keduanya menyarankan para mahasiswa untuk tetap belajar hingga tamat. Setelah itu dibolehkan melanjutkan studi ke jenjang magister dan doktoral sesuai keinginan, bahkan sampai ke luar negeri.

Di akhir masa kuliah sarjana, Amich menyusun tugas akhir skripsi tentang konsep fitrah manusia dalam Islam. Ketika itu dia mendapatkan rujukan Kitab Tafsir Ibnu Katsir. Dia bedah buku ini, khususnya berkaitan dengan fitrah manusia. Dari situ Amich mengetahui bahwa manusia adalah makhluk pembelajar, yang selalu punya rasa ingin tahu; kemudian mendapatkan ilmu yang menjadi bekal membangun peradaban luhur.

Di sela-sela kuliah, Amich Alhumami terjun menjadi aktivis HMI Cabang Bandung, yang kelak menjadi stimulus kepribadiannya yang introvert untuk menjadi lebih terbuka. Maklum, lingkungan HMI dekade 1980an kala itu di tengah pergolakan politik asas tunggal Pancasila dan pemerintahan represif Orde Baru, menjadi ‘taman pembelajaran’ yang sungguh mengasyikan.

Di lingkungan HMI Cabang Bandung dan lintas cabang, Amich tumbuh menjadi aktifis pembelajar, penggerak pergerakan terutama kaderisasi SDM, serta salah satu motor kolaborator keilmuan-aktivisme kemahasiswaan.

Tanpa disadari, Amich memiliki banyak kolega sesama aktifis mahasiswa, dosen, dan tokoh pergerakan dari lintas perguruan tinggi dan organisasi masyarakat (ormas), terutama sejak ia terjun menjadi Ketua PB HMI 1990-1992. Ia bersama kawan-kawan terasa sangat ‘menikmati’ pemikiran mereka berupa pergerakan.

Berbekal aktivis HMI, Amich membangun silaturahmi dengan KH Engkin Zaenal Muttaqin (192-1985), ajengan kharismatik yang pernah menduduki posisi petinggi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia juga mendapat asupan pemikiran keIslaman dan Keindonesiaan dari cendikiawan Muslim ternama, Nurcholish Madjid (1939-2005), serta Bang Imad alias Muhammad Imaduddin Abdulrahim (1931-2008), tokoh pergerakan terkenal di Jawa Barat. Bersama tokoh-tokoh hebat itulah Amich mendapatkan energi pergerakan yang kolaboratif melibatkan banyak pihak untuk membangun bangsa.

Pemikir Babon Rujukan Amich

Setelah purna kepengurusan PB HMI, Amich Alhumami melanjutkan studi ke jenjang magister Antropologi Budaya Universitas Indonesia (1992-1994). Sepanjang dekade 1990an menjadi era produktif pertama dirinya menulis dalam menguji pemikiran progresifnya.

Telah membaca sejarah Revolusi Inggris, Prancis, Amerika, dan Kawasan Latin beserta pergolakan politik Timur Tengah pada dekade 1980-1990an, terutama Revolusi Iran, dalam aurora pemikiran Keindonesiaan-Keislaman, gaya penulisan dan pemikiran Amich Alhumami banyak dipengaruhi para tokoh nasional yang bukan saja pendidik, tetapi filosof. Mereka ini para begawan pemikiran dan praktik sosial.

Pemikiran Amich banyak dipengaruhi oleh Daoed Joesoef (1926-2018), Nurcholish Madjid (1939-2005), Ignas Kleden (1948-2024), Daniel Dhakidae (1945-2021), dan Clifford Geertz (1926-2006). Pergolakan pemikirannya, ia tuangkan berupa artikel ilmiah di media massa. Sepanjang dekade 1990an, artikel analisisnya berserakan di Kompas, Republika, Pelita, Media Indonesia, Tempo, Gatra, dan sebagainya. Kelak, pada dekade 2000an, ia kolomnis The Jakarta Post.

Minat kajiannya mencakup isu-isu penting pada area penelitian yang luas. Terdiri dari studi pembangunan sosial dan pembangunan ekonomi; pembangunan, konflik sosial, dan resolusi konflik; antropologi pembangunan dan antropologi ekonomi; kebudayaan dan pemberdayaan masyarakat; pendidikan, pendidikan keguruan, dan pembelajaran; pendidikan kewargaan dan hak-hak sipil; demokrasi politik dan tata kelola kelembagaan; korupsi dan Gerakan Anti-Korupsi; serta Islam, organisasi masyarakat sipil, civic democracy.

Seperti halnya Burhanuddin Abdullah, ekonom Indonesia yang produktif menulis sejak dekade 1980an yang kelak kumpulan artikelnya terbit dengan judul “Menanti Kemakmuran Negeri: Kumpulan esai tentang pembangunan sosial ekonomi Indonesia” (Gramedia Pustaka Utama, 2006) dan “Jalan Menuju Stabilitas: Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan” (LP3S, 2006), Amich Alhumami sejauh ini dalam proses menerbitkan ratusan artikel ilmiahnya di media massa dan jurnal ilmiah nasional dan internasional. Judulnya singkat: “Investasi Pendidikan”.

Membaca draft bukunya yang hampir rampung 100 persen, karya tersebut merefleksikan pemikiran Amich yang menyambung kausalitas pendidikan dan ekonomi secara lebih mutakhir yang ia proyeksikan untuk memperkuat konsepsi Transformasi Sosial Indonesia Emas 2045.

Melalui karya tersebut, tampaknya peraih penghargaan salah satu Penulis Terbaik Bidang Pendidikan dari Kemdikbud RI tahun 2005 dan 2006 ini melakukan konvergensi filosofis, strategis, dan taktis pembangunan sosial budaya dan ekonomi politik melalui teori-teori yang ia pahami selama ini dengan realitas aneka kebijakan sebagai terapan sosialnya.

CPDS, Bappenas, dan kesetaraan pendidikan

Bermukim tetap di Jakarta sejak awal dekade 1990an karena menjadi pengurus PB HMI 1990-1992, Amich Alhumami pernah satu kosan dengan Hajriyanto Thohari, yang kini menjadi politisi senior Partai Golkar dan Dubes RI di Beirut.

Latar belakang sebagai aktifis-intelektual, telah membuka jalan lapang dan peluang lebar bagi dirinya untuk berinteraksi dengan aneka komunitas intelektual di dunia akademia, lembaga riset, pusat kajian, wadah pemikir (think tank), industri, dan bahkan partai politik.

Semua itu telah ditempa oleh pergolakan zaman. Ia bergabung di Center for Policy and Development Studies (CPDS), suatu lembaga kajian prestisius yang menghimpun para intelektual publik sangat terpandang dengan reputasi cemerlang. Dalam usia 25–30 tahun, ia bertindak sebagai Sekretaris Eksekutif CPDS (1990–1995).

Wadah pemikir ini secara rutin melakukan kajian dan diskusi setiap pekan, yang dihadiri elite-elite intelektual, para aktifis dan tokoh pergerakan, serta beberapa perwira tinggi, yang oleh para jurnalis disebut “tentara pemikir.” Sebagai think tank, CPDS secara rutin membuat analisis dan menghasilkan policy brief, suatu rekomendasi kebijakan yang disampaikan kepada pejabat publik yang duduk di lembaga pemerintahan, petinggi negara, dan militer. Kala itu, logistik dan jaringan kerja CPDS didukung penuh oleh Mayjen TNI Prabowo Subianto.

Mendekati terbitnya fajar reformasi, Amich Alhumami bergabung dengan Bappenas pada 1997 setelah tamat Magister Antropologi Budaya UI 1992–1994. Manteri Bappenas kala itu dijabat oleh Ginandjar Kartasasmita. Kala itu, sebagai staf perencana, Amich dimentori langsung oleh Fasli Jalal, yang baru saja meraih gelar Ph.D Ilmu Gizi Masyarakat di bidang Epidemiologi dan Program Studi Asia Tenggara dari Universtas Cornell, Ithaca, New York.

Selain itu, mentor Amich di Bappenas adalah Prof. Widjojo Nitisastro (1927–2012), dikenal dengan arsitek utama perekonomian Orde Baru; kemudian Prof Hidayat Salim (1945-2023), pakar Agroteknologi Universitas Padjajaran; serta sejumlah doktor dan profesor jebolan ITB, IPB, UI, dan sejumlah kampus ternama di Indonesia.

Sebagaimana yang dikenal, Bappenas era Presiden Soeharto merupakan ‘otak’ perancang dan pengendalian seluruh bidang dalam pembangunan nasional. Mereka yang berkarier di sini direkrut dari SDM terbaik semua Departemen dan Lembaga Negara. Kekhasan Bappenas dekade 1990an, Amich bersama kolega dan para mentornya, sama-sama memiliki semangat juang membuka akses pendidikan dan kesehatan kepada semua masyarakat.

Dari persinggungan lintas keilmuan dan pengalaman biokrasi sebagaimana peran para mentornya, merupakan persemaian gairah besar Amich dalam mengonvergensi pendidikan yang memang menjadi garis tegas kompetensi keilmuan dan pengalaman praktik dunia biokrasi, dengan sektor lainnya seperti ekonomi, kesehatan, gizi, kebudayaan, Iptek, keagamaan, keperempuanan-anak-remaja, kepemudaaan, dan pelayanan dasar lainnya.

Itulah fase pertama yang membuka cakrawala wawasan dan ilmu pengetahuan Amich dalam perhelatan sistem pendidikan nasional. Kompleksitas dunia pendidikan, bukan melulu persoalan kurikulum, metode pengajaran atau didaktik-metodik, materi belajar, dan berbagai hal teknis lainnya, melainkan mencakup spektrum yang sangat luas. Semua ini terangkum dalam portofolio Kedeputian PMMK Bappenas, yang kini justeru tengah dijabat oleh dirinya.

Bersama orang-orang hebat di Bappenas, lintas K/L beserta para akademisi lintas kampus dan wadah pemikir di tanah air, Amich secara intensif membuat kebijakan pendidikan, suatu wasilah yang membuka akses masyarakat lemah meningkatkan kualitas SDM, sehingga kelak mereka bangkit dari keterpurukan. Dia diajarkan bagaimana menganalisis kesenjangan pendidikan di satu daerah dengan daerah lainnya.

Bersama para ahli lintas keilmuan dan bidang profesi, Amich terlibat menggodok program sarjana mengajar di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Ini merupakan program pengabdian sarjana pendidikan untuk membantu percepatan pembangunan pendidikan di daerah 3T. Dampaknya sungguh terasa. Generasi muda yang semula enggan melanjutkan studi, berubah. Mereka bersemangat untuk belajar ke jenjang lebih tinggi lagi; menjadi sarjana dan bersemangat membangun kampung halaman.

Melalui program ini, area pedalaman semakin terbangun. SDM di sana perlahan membaik walau tidak cepat; orang-orang lemah mulai berubah. Ternyata, orang-orang lemah atau kaum marginal ini, kelak mendapatkan pekerjaan yang lebih layak setelah program tersebut masuk ke desanya. SDM mereka menjadi lebih terampil, kesejahteraannya meningkat, pertumbuhan SDM dan ekonomi desa-desanya menggeliat. Meninjam paradigma filantropi, kebijakan tersebut berupaya mentransformasikan SDM dari semula mustahiq (penerima zakat) menjadi muzakki (penunai zakat).

Berguru di Dunia Barat

Tamat Magister Antropologi Budaya UI 1992-1994, Amich Alhumami terdorong untuk menyelami keilmuan dan pembelajaran ke kawasan yang jauh dari Indonesia. Tujuannya Amerika Serikat (AS), masih untuk studi magister. Jadi dia punya double master (M.A dan M.Ed). Untuk mencapai dorongan ini, dia terlebih dulu memperdalam bahasa Inggris yang telah dipelajari di bangku Madrasah Aliah Maskumbang Gresik dan IKIP Bandung.

Setelah merasa siap, Amich meminta rekomendasi cendikiawan Muslim, Prof. Azyumardi Azra (1955-2022), untuk belajar ke Amerika. Profesor Azra tentu saja telah mengenal Amich. Bukan saja sekedar juniornya di lingkungan aktifis HMI, tetapi Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1998-2006 ini mengenal pemikiran Amich melalui tulisan artikel ilmiah yang ditulis Amich di berbagai media massa.

Kala itu, Profesor Azra yang kelak meraih gelar Commander of The Most Excellent Order of the British Empire (CBE) dari Britania Raya (2010), memberikan catatan dalam rekomendasinya, “He is a young promising Indonesian Scholar.” Membaca tulisan tangan ini, Amich merasa sangat senang dan bangga, salah satu manifestasi pengakuan intelektualitas dari tokoh pemikir seperti Prof. Azra.

Memperdalam Bahasa Inggris di Boston University, Amich Alhumami berlabuh melanjutkan studi Education Policy George Mason University di Virginia (2001–2003). Inilah kampus peraih nobel James M Buchanan (1986) dan pemikir Barat yang cemerlang Francis Fukuyama, penulis “The End of History and The Last Man”.

Hampir sekampus dengan Pangeran William dan Kate Middleton

Tamat dari George Mason University di Virginia, Amich kembali kerja rutin di Kementerian PPN/Bappenas dengan jabatan Kepala Sub-Bagian SMU dan Madrasah Aliyah (2004–2006) dan Perencana Muda Bidang Pendidikan (2006–2007). Di interval periode tersebut, berkat dorongan intelektual seperti Bachtiar Effendy dkk, Amich tergerak untuk menuntaskan jenjang pendidikan doktornya sebelum kelak ia menjabat sebagai Kepala Sub-Direktorat Pendidikan Tinggi Bappenas (2012–2016).

Kali ini pilihannya jatuh ke negeri Inggris. Mulanya dia ingin kuliah di Saint Andrew di Scotlandia, tempat belajar Prince of Wales William dan istrinya Kate Middleton, pasangan yang kini menjadi pewaris tahta Kerajaan Inggris. Sayangnya, hanya karena hawa di sana dingin luar biasa, persoalan iklim ini membuatnya harus memilih tempat lain: University of Sussex, UK.

Universitas yang berdiri sejak 1961 itu telah menghasilkan para politisi, ilmuan, ekonom, dan jurnalis dunia. Sekedar menyebutkan nama, seperti Thabo Mbeki, Presiden Afrika Selatan 1999-2008; Festus Mogae, Presiden Republik Botswana 1998-2008; Guy Scott, Wakil Presiden Republik Zambia 2011-2014 dan Presiden 2014-2015; Shamshad Akhtar, Sekretaris Ekskeutif Komisi Ekonomi dan Sosial PBB; Mateusz Szczurek, Menteri Keuangan Polandia 2013-2015; Helen Boaden, mantan Direktur BBC; dan sebagainya.

Di universitas ini, Amich Alhumami menamatkan studi doktoralnya dalam Ilmu Antropologi Sosial (2007–2011). Ia bergabung dengan International Development Studies (IDS) terbaik di dunia. Banyak tokoh dari wadah pemikir (think tank) di sejumlah negeri Barat-Timur yang belajar di sana untuk melahirkan kebijakan yang memberikan pengaruh besar kepada kehidupan.

Dari mulai bangun sampai tidur, Amich banyak menghabiskan waktu membaca buku dan laporan, menulis dan meneliti, serta bergaul dengan beragam orang dari masing-masing benua. Bersama mereka, Amich berdiskusi, membangun gagasan, serta menghasilkan aneka penelitian.

“Duduk bersama para profesor, ilmuan, dan aktifis di Sussex itu seru. Tidak ada rasa sungkan, karena semua terasa egaliter dalam kapasitas keilmuan dan pengalaman masing-masing kolega,” kenang Amich. Sikap egaliter ini kelak mempertebal keyakinannya bahwa semua orang di dunia ini, yang miskin maupun kaya, sama-sama berhak mendapatkan kualitas pendidikan.

Suatu hari setelah dirinya membawa kado titel Ph.D Social Anthropology, orang tuanya pernah menyampaikan komentar kakek, Mbah Adnan. “Mbah dulu pernah mengatakan kepada Ayah Humam dan Ibu Mukhlisah, ‘Anakmu sekolahe nyundul langit’.” Belajarnya tinggi serta memberikan manfaat kepada orang banyak demi kemajuan Indonesia.

Paket lengkap tokoh SDM Indonesia

Memotret ketokohan Amich Alhumami, meminjam ungkapan Prof. JM Muslimin, Ketua Program Studi Doktor Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, adalah ‘paket lengkap’ tokoh SDM Indonesia kontemporer, yang mirip dengan tokoh pendidikan dan kebudayaan Indonesia, seperti Daoed Joesoef dan Malik Fadjar.

Kedunya merupakan tokoh sentral di dunia pergerakan yang mengabdi di lapangan pendidikan. Mereka bukan saja Mendikbud, tetapi guru, pendidik, pakar dan bahkan filsuf, yang punya pemahaman secara utuh, mendalam, serta menyeluruh atas aneka permasalahan pendidikan, kebudayaan, Iptek, dan ekonomi politik di Indonesia.

Setelah masa keemasan mereka berakhir, rasanya sulit mencari sosok Mendikbud bereputasi setara dengan figur-figur ideal yang mewakili zaman masing-masing, dari sedikit saja nama yang telah disebutkan di atas. “Transisi Mendikbud era Orde Baru ke reformasi 1998, satu nama yang sanggup menyamai reputasi kedua Mendikbud itu (Daoed Jusuf dan Malik Fadjar) adalah Fuad Hassan,” sebut JM. Muslimin di Jakarta kepada Republika satu pekan lalu.

Menurut Guru Besar Ilmu Politik Hukum UIN Jakarta ini, Amich Alhumami memiliki kemiripan pemikiran dan kebijakan dengan tiga tokoh di atas. Sepanjang mengenal Amich sejak pertengahan dekade 1990an serta ‘menimati’ ratusan artikel tulisannya di media massa dan jurnal ilmiah nasional dan internasional, JM. Muslimin mengakui bahwa Amich memiliki landasan pemikiran filosofis yang kuat tentang geostrategi Indonesia untuk pembangunan sosial budaya.

“Pemikiran filosofis ini, kemudian diterjemahkan oleh Bung Amich ke dalam praktik kebijakan publik yang bersifat operasional dan original; mirip Daoed Jusuf, Fuad Hassan dan Malik Fadjar” lanjut JM.Muslimin. Ia mencontohkan pada berbagai kebijakan Amich dalam mengatasi ketidakadilan dan ketidakmerataan pendidikan berupa SD sampai SMU Terbuka di setiap zona dengan berbagai infrastruktur yang lengkap dan handal, termasuk Iptek.

Contoh lainnya berupa sekolah-sekolah formal berbasis talenta yang merata di setiap zona Indonesia Barat, Tengah, dan Timur; seperti sekolah talenta kepemimpinan, Iptek, keagamaan, ekonomi, dll. Untuk perluasan dan pemerataan akses pendidikan, ada beasiswa Bidimiksi. Amich Alhumami terlibat dalam penyusunan program bantuan biaya pendidikan dari pemerintah RI ini yang ditujukan untuk membantu calon mahasiswa dari keluarga kurang mampu secara ekonomi.

Dalam proses transformasi kelembagaan perguruan tinggi pasca 1998, Amich menjadi salah satu arsitek kebijakan publik sekitar 60-an sekolah tinggi menjadi institut dan universitas, baik perguruan tinggi keagamaan maupun konvensional, untuk menuju level universitas internasional. Peneliti Senior Lembaga Studi Etika Usaha (LSPEUI) pimpinan Fachry Ali ini, mengasistensi secara langsung pelaksanan transformasi perguruan tinggi.

Perubahan menjadi institut dan universitas merupakan wasilah untuk memfasilitasi anak bangsa mendapatkan pendidikan berkualitas. Kelak, mereka meneruskan estafet pembangunan dan kepemimpinan negeri ini menuju zaman kejayaannya: Indonesia Emas 2045.

“Pencapaian positif SDM Indonesia pasca 1998 untuk semua golongan di tanah air, ada peran penting Amich dari belakang layar yang mengorkestrasi kebijakan publik lintas K/L sepanjang kariernya di Bappenas sejak 1997,” cetus JM. Muslimin.

Keberpihakan politik anggaran pendidikan bagi kaum marginal serta pemerataan infrastruktur pendidikan dan pembelajaran yang bersumber dari APBN, termasuk hibah luar negeri, menjadi salah satu contoh paling menonjol dari ketokohan biokrasi Amich Alhumami di Bappenas. “Ini merupakan sensifitas intelektualitas-aktifis dirinya yang fasih mendesain politik anggaran dan kelembagaan pembangunan sosial budaya,” sambung JM. Muslimin.

Dalam pemikiran ekonomi, Amich Alhumami laksana Daoed Jusuf. Walau Mendikud 1978 -1983 studi ekonomi di Prancis, hal ini tidak mengubah aliran ekonomi dirinya yang dianut Indonesia, yaitu “ekonomi gotong-royong” dan bukan liberalisme. Ekonom Indonesia generasi paling awal yang mentransmisikan keseimbangan aliran ekonomi Barat dan Indonesia adalah Soemitro Djojohadikoesoemo, yang didintifikasi sebagai kelompok Sosialis Kanan.

“Simak tulisan-tulisan Bung Amich di media massa yang berhubungan dengan dunia pendidikan dan ekonomi sejak dekade 2000an sampai kini. Ia banyak mengulas pembiayaan pendidikan sebagai public good sebagai umpan balik industri dan pasar kerja; bukan private good sebagaimana paham liberalisme pendidikan dan ekonomi,” urai JM. Muslimin.

Kesan para kolega baru

Belakangan, selain salah satu tokoh kunci program makan siang bergizi gratis, Mahkamah Konstitusi pada Agustus 2024, menjadikan Amich Alhumami sebagai saksi ahli utama judical review (JR) pasal-pasal dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Panja Anggaran Pendidikan Komisi X DPR RI juga menunjuk Amich sebagai panelis diskusi kelompok terpumpun “Menggugat Kebijakan Anggaran Pendidikan” pada 07/9/2024.

Mereka yang menyaksikan tayangan video kedua persidangan tersebut tampak terpukau dengan paparan Amich. Pantas saja, hampir di setiap momen paparan, Amich selalu menjadi highlight di media massa. Hal ini dirasakan oleh sejumlah tokoh yang baru berjumpa secara fisik dengannya, seperti Sylvana Maria, Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2022-2027.

“Penguasaan beliau terhadap detail kebijakan dalam sistem pendidikan nasional ini yang oke banget,” kesan Sylvana terhadap ketokohan Amich, saat ditemui Republika di Kantor KPAI di Jakarta, beberapa hari lalu.

Ada kesan unik yang baru-baru ini terungkap di Kantor Bappenas, Kamis (12/09/2024), ketika Amich Alhumami menerima rombongan tamu dari Pondok Pesantren Tazakka Batang, Jawa Tengah, sekaligus pengurus Assalam fil Alamin (ASFA) Foundation, salah satu lembaga filantropi terbesar di Indonesia yang membeasiswakan ribuan sarjana di dalam dan luar negeri.

Kesan uniknya dirasakan oleh KH. Anang Rikza Masyhadi, pimpinan Tazakka Batang dan Ketua Dewan Pengawas Syariah Lazis ASFA Foundation. Sekitar tahun 1999-2003, ketika Kiai Anang masih studi di Universitas Al-Azhar Kairo, dirinya sering menulis artikel ilmiah sebagai bahan diskusi. Kiai Anang baru menyadari, ternyata dirinya sudah sering mengutip artikel-artikel ilmiah Amich Alhumami, terutama tentang investasi SDM.

“Kini, 20 tahun kemudian, kami bertemu tatap muka mendiskusikan tema yang sama dalam kapasitas masing-masing, membangun sinergi dan kolaborasi utk berpikir SDM bangsa di masa depan menuju Indonesia Emas 2045,” ujar KH. Anang Rikza Masyhadi.

Memang, kalau orang pintar dan penuh dedikasi dalam perjuangan, akan selalu dipertemukan melalui arti penting sebuah visi besar. Mereka akan saling berinteraksi dalam gelombang pemikiran walau tanpa tatap muka, kemudian terhubung tatap muka dalam mewujudkan Indonesia baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

AMICH ALHUMAMI

Tempat, Tanggal Lahir : Gresik, 7 Juli 1965
Agama : Islam
Status Perkawinan : Kawin

Pendidikan

2007 – 2011 :Ph.D.(S3) in Social Anthropology, University of Sussex, UK
2001 – 2003 : M.Ed. (S2) in Education Policy, George Mason University, USA
1992 – 1994 : M.A.(S2) Antropologi Budaya, Universitas Indonesia, Jakarta
1984 – 1989 : Sarjana/Drs (S1) Filsafat dan Sosiologi Pendidikan IKIP (UPI) Bandung
1980 – 1983 : Madrasah Aliyah, Pondok Pesantren Maskumambang, Gresik, Jawa Timur
1977 – 1980 : Madrasah Tsanawiyah, Pondok Pesantren Maskumambang, Gresik
1971 – 1977 : Madrasah Ibtidaiyah, Pondok Pesantren Maskumambang, Gresik

Jabatan Struktural

Maret 2023-sekarang Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan
2020–2023 Direktur Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan
2019–2020 Direktur Pendidikan dan Agama
2016–2019 Direktur Pendidikan Tinggi, Iptek, dan Kebudayaan
2012–2016 Kepala Sub-Direktorat Pendidikan Tinggi
2006–2007 Perencana Muda Bidang Pendidikan
2004–2006 Kepala Sub-Bagian SMU dan Madrasah Aliyah
2000–2001 Kepala Sub-Bagian Pendidikan Luar Sekolah
1999–2000 Kepala Sub-Bagian Pendidikan Agama
1997–1998 Staf Perencana

Jabatan Fungsional (Mutakhir)

2023-sekarang: Wakil Ketua I/Penanggungjawab Pilar Pembangunan Sosial, Tim Pelaksana Nasional-Kelompok Kerja Nasional-Tim Pakar dan Sekretariat Nasional Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SGD’s) Tahun 2020–2024.

2023-sekarang: Ketua Kelompok Kerja Transformasi Sosial Tim Pelaksana Koordinasi Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 & Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029.

2022-sekarang: Dosen mata kuliah Education & Society, Faculty of Education, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok, Jawa Barat

2021-sekarang: Ketua Gugus Kerja Manajemen Talenta Nasional (MTN), lintas 17 Kementerian & Lembaga Negara (K/L).

2020-sekarang: Wakil Ketua Tim Pelaksana pada Tim Percepatan Penurunan Stunting (TP2S), Lintas K/L di bawah koordinasi Wakil Presiden RI.

Organisasi Sosial Kemasyarakatan

2024–2029 Ketua Harian Dewan Pengurus Pusat, Gerakan Usaha Pembaruan Pendidikan Islam (GUPPI)

2022–2027 Anggota Dewan Pakar Pimpinan Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani, Pengurus Pusat Muhammadiyah

2021 –2026 Ketua Badan Pengurus Yayasan Harapan Mukhlisin Indonesia (YAHMI)

2021–2027 : Ketua Umum Dewan Narasumber Tingkat Nasional (DNTN)
Majelis Nasional Korps Alumni HMI (KAHMI)

2005–sekarang Peneliti Senior Lembaga Studi Etika Usaha (LSPEUI), Pimpinan Fachry Ali

1990–1995 Sekretaris Eksekutif Center for Policy and Development Studies (CPDS), Pimpinan Dewan Pembina Mayjen TNI Prabowo Subianto

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler