Hak-Hak Istri atas Suami
Islam mengatur bahwa istri harus mendapatkan hak-haknya atas suami.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam mengatur bahwa seorang istri memiliki hak-hak yang dapat diperolehnya dari suaminya. Hakim bin Muawiyah al-Qusyairi dari ayahnya mendapatkan hadis tentang hal itu.
Nabi Muhammad SAW menyatakan, hak istri atas suaminya adalah bahwa sang suami memberikannya makan jika ia lapar. Istri juga berhak dibelikan pakaian yang diinginkan atau dibutuhkannya. Suami juga dilarang memukul wajah atau menjelekkan si istri.
Lewat hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Nasai itu, Abdul Qadir Manshur dalam Buku Pintar Fikih Wanita menyatakan, perempuan mempunyai hak untuk diperlakukan secara baik oleh suaminya. Semua itu terwujud baik dalam tingkah laku maupun tutur kata suami terhadap pasangannya.
Perlakuan baik terhadap perempuan mencakup tatanan moral sekaligus materiel. Soal larangan memukul wajah, misalnya. Ia mengutip pernyataan cendekiawan Muslim, al-Qami, yang menegaskan bahwa wajah yang dimaksudkan Rasulullah SAW adalah representasi seluruh anggota tubuh dan tabiat perempuan.
"Semua itu tak boleh dijelek-jelekkan oleh pasangannya," kata al-Qami.
Jadi, larangan itu mencakup pula sikap mencela, mengumpat, dan menggauli perempuan dengan cara yang tidak baik. Jangan memukul mereka, bermakna tak memukul mereka tanpa alasan kuat yang dibenarkan agama.
Alasan kuat itu, contohnya seorang istri bertindak membangkang atau melawan suaminya atau nusyuz. Kalangan ulama yang menganut Mahzab Syafii menyatakan, meski telah berbuat nusyuz, perempuan itu tak boleh dipukul. Ulama lain menjelaskan, kalaupun memukul tidak dengan keras dan melukai tubuh.
Ketika istrinya menghentikan pembangkangannya, haram bagi suami memukul istrinya. Abd al-Qadir Manshur melanjutkan, dalam Alquran surah an-Nisa ayat 19-21, Allah menganjurkan agar suami menggauli istrinya secara patut. Bila tak menyukai mereka, diminta bersabar.
Dalam Tafsir al-Baidhawi, ujar Manshur, menggauli dengan patut yang dipahami memperlakukan perempuan dengan baik adalah adil dalam bertindak serta sopan dalam bertutur kata terhadap mereka. Mereka perlu memperoleh pelajaran pula tatkala melakukan pembangkangan dan melawan.
Sayyid Sabiq menjelaskan, pembangkangan yang dilakukan perempuan dalam ranah rumah tangga bentuknya bisa menentang suami, tidak menaatinya, atau keluar rumah tanpa izin dari suaminya. Dalam kasus ini, suami berhak menasihati istrinya itu mengakhiri pembangkangan.
Pembangkangan yang melahirkan perseteruan yang menyebabkan kedua belah pihak tak saling berbicara, imbuh Sabiq, tak boleh berlangsung melebihi tiga hari. Ia bersandar pada ketentuan bahwa seorang Muslim dengan Muslim lainnya mestinya tak saling diam melebihi tiga hari.
Ia menyarankan perseteruan sebaiknya di dalam rumah saja, bukan di luar rumah. Ada tahapan untuk menghentikan nusyuz istri, yaitu didahului dengan nasihat agar istri menyadari kekeliruannya. Pisah ranjang adalah jalan kedua setelah nasihat diabaikan sama sekali.
Terakhir adalah memukulnya, tetapi tidak keras dan melukai. Suami harus menghindari wajah dan organ-organ vital perempuan. "Karena maksud pemukulan ini hanya memberikan pelajaran bukan menimbulkan cedera," kata Sabiq melalui karyanya, Fiqih Sunnah.