Tiga Alasan Soeharto Mesti Ditolak Jadi Pahlawan Nasional Kata Politikus PDIP Guntur Romli

Soeharto dinilai cukup tercatat sebagai Presiden RI ke-2.

Republika
Ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR MPR RI di Jakarta, Jumat (22/5). Pasca turunnya Soeharto yang digantikan oleh BJ Habibie mahasiswa masih berunjukrasa di depan gedung wakil rakyat ini.
Rep: Teguh/Ronggo/Antara Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pencabutan nama Presiden Soeharto dari TAP MPR RI Nomor 11/MPR 1998 mendapatkan penolakan. Apalagi isu tersebut dibareng dengan usulan agar Soeharto menjadi pahlawan nasional.

Baca Juga


Politikus PDIP Guntur Romli menilai Soeharto tidak layak diangkat Menjadi Pahlawan Nasional. Ia cukup tercatat sebagai Presiden RI ke-2. Ada tiga alasan mengapa Soeharto tak pantas jadi pahlawan nasional.

Pertama yakni fakta kekerasan dan pembunuuhan massal yg melibatkan rezim Soeharto dari kasus '66, '66, '74, '80an seperti Petrus, kejahatan kemanusiaan di Timor Timur, Papua, Aceh dan lain sebagainya.

"Kedua yakni pembungkaman terhadap tokoh-tokoh dan gerakan-gerakan demokrasi yang melawan rezim Orde Baru, khususnya Peristiwa 27 Juli 1996," ujar Guntur dalam keterangan tertulis kepada Republika, Ahad (29/9/2024).

Ketiga yakni ada gerakan rakyat yang menumbangkan Soeharto pada 1998 karena terlibat KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) Soeharto tidak bisa diangkat jadi pahlawan karena tak hanya soal tercela tapi dosa-dosa kejahatan kemanusiaan itu.

"Fakta sejarah tidak bisa diubah bahwa Gerakan Rakyat Reformasi 98 itu tuntutannya turunkan Soeharto karena KKN," ujarnya.

Oleh karena itu, kata ia, Soeharto cukup tercatat dalam sejarah sebagai Presiden RI ke-2, tapi tidak boleh diangkat sebagai pahlawan nasional.

Sebelumnya Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai pencabutan nama Presiden Soeharto dari TAP MPR RI Nomor 11/MPR 1998 adalah pengkhianatan cita-cita reformasi. Dia pun mempertanyakan proses pencabutan itu.

 

"Kalau memang mau memperbaiki nama Presiden Soeharto, kan perlu ditempuh cara-cara yang lebih elegan ya dengan proses pengadilan terhadap Soeharto dan bagaimana kemudian apakah dia pantas kemudian dicabut ketetapan tersebut atau tidak," kata Feri kepada Republika, Sabtu (28/9/2024).

Menurut dia, MPR sebelumnya tidak pernah berupaya menampung aspirasi masyarakat soal hal tersebut, seperti ketika mereka ikut pemilu, berkampanye soal itu, sehingga rakyat bisa menentukan pilihannya, setuju atau tidak, dengan cara memilih mereka atau tidak.

"Jadi ini tiba-tiba, apalagi kalau dilihat mereka itu kan produk pemilu 2019. Dan di ujung masa akhirnya mereka memaksakan membuat ketetapan yang tidak pernah berupaya menampung keinginan dan kehendak publik terhadap rezim Soeharto dan 32 tahun di bawah kekuasaannya," jelas dia.

Menurut Feri, bukan berarti Soeharto dan keluarganya tidak berhak mendapatkan upaya untuk memperbaiki namanya. Tapi, prosesnya harus dilakukan dengan baik melalui mekanisme yang ada seperti pengadilan dan lain-lain. Dia melihat hal itulah yang tidak dilakukan oleh MPR kemarin.

"Tentu disebut produk hukum ketetapan MPR. Cuman apakah prosesnya benar? Nah itu yang kemudian dipertanyakan. Kalau produk hukum sih produk hukum. Kan lembaga resmi yang mengeluarkan. Tetapi setiap lembaga yang punya wewenang belum tentu benar dalam menggunakan wewenangnya," jelas dia.

Usulan pahlawan

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengusulkan Presiden Kedua RI Soeharto mendapatkan gelar pahlawan nasional dari pemerintahan baru. Hal itu disampaikan Bamsoet dalam Silaturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR RI bersama Keluarga Besar Presiden Kedua RI Jenderal Besar TNI (Purn) H. M. Soeharto di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Sabtu.

Dia mengatakan usulan gelar pahlawan nasional itu dengan memperhatikan besarnya jasa dan pengabdian Soeharto yang telah memimpin Indonesia selama 32 tahun. Ia juga mengungkit beberapa jasa Soeharto untuk Indonesia, misalnya, di bidang ekonomi.

"Beliau telah berusaha mengabdikan diri sebaik-baiknya dalam menjalankan tugas sebagai Presiden dan berjasa besar dalam mengantarkan bangsa Indonesia beranjak dari negara miskin menjadi negara berkembang," imbuh Bamsoet.

Kemudian, adanya surat jawaban Pimpinan MPR Nomor B-13721/HK.00.00/B-VI/MPR/09/2024 tanggal 24 September 2024 dalam menindaklanjuti surat Pimpinan Fraksi Partai Golongan Karya MPR RI Nomor PP.022/FPG/MPRRI/IX/2024, Perihal Pasal 4 TAP XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk ditegaskan oleh Pimpinan MPR RI bahwa Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 khususnya yang secara eksplisit menyebutkan nama mantan Presiden Soeharto agar dinyatakan sudah dilaksanakan, tanpa mencabut Ketetapan tersebut maupun mengurangi makna yang termaktub secara umum dalam Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998.

"Maka rasanya tidak berlebihan sekiranya mantan Presiden Soeharto dipertimbangkan oleh pemerintah yang akan datang dan oleh pemerintah mendapatkan anugerah gelar pahlawan nasional selaras dengan mendapatkan martabat kemanusiaan dengan peraturan perundangan," ujar Bamsoet.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler